NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

# **BAB 34: KETIKA TUBUH MENYERAH SEBELUM HATI**

Senin pagi, hari kedelapan sejak pertengkaran. Alara bangun dengan kepala yang berdenyut sakit—migrain yang sudah ia rasakan sejak tiga hari lalu tapi ia abaikan. Tubuhnya terasa berat, mata perih karena kurang tidur, perut mual karena sudah dua hari ia hampir tidak makan.

Tapi ia tetap bangun. Tetap bersiap. Tetap pergi ke kantor.

Karena bekerja adalah satu-satunya hal yang membuat pikirannya tidak terus-terusan ke Nathan. Ke rumah yang terasa seperti neraka dingin. Ke pernikahan yang terasa seperti retak yang tidak bisa diperbaiki.

Alara turun tangga dengan langkah yang sedikit goyah—mencoba tidak terlihat lemah. Nathan sudah di ruang makan—seperti biasa sekarang, mereka sarapan di waktu yang sama tapi tidak bicara.

Nathan mengangkat wajah begitu Alara masuk—dan terdiam.

Alara terlihat... pucat. Sangat pucat. Bibir kering, mata yang cekung dengan lingkaran hitam yang tidak bisa disembunyikan make up, tubuh yang terlihat lebih kurus walau baru seminggu.

"Alara," panggil Nathan—khawatir langsung terdengar di suaranya. "Kamu... kamu sakit?"

"Aku baik." Jawaban otomatis yang sudah jadi mantra Alara.

"Tapi kamu terlihat—"

"Aku bilang aku baik, Nathan." Alara memotong—nada yang lelah, yang tidak mau diperdebatkan.

Nathan ingin protes—tapi ia tidak punya hak. Tidak setelah apa yang terjadi. Jadi ia hanya menatap Alara dengan kekhawatiran yang dalam sementara Alara makan beberapa suap—atau lebih tepatnya, berpura-pura makan—sebelum pergi ke kantor.

---

**KANTOR, JAM 10 PAGI**

Alara duduk di mejanya dengan kepala yang semakin berdenyut keras. Layar laptop di depannya terasa sangat terang—menyakiti mata. Ia sudah minum obat sakit kepala tapi tidak membantu.

"Alara, kamu yakin baik-baik aja?" Rian bertanya untuk ketiga kalinya pagi itu. "Kamu terlihat sangat pucat."

"Aku baik, Rian. Cuma kurang tidur." Alara memaksa tersenyum—senyum yang terasa berat.

"Kamu harus istirahat. Seriously. Kamu keliatan kayak—"

"Rian, please. Aku hanya butuh fokus kerja. Tolong." Ada nada memohon di suara Alara—memohon untuk tidak dikhawatirkan, untuk tidak ditanya-tanya.

Rian menghela napas tapi tidak desak lagi. Ia kembali ke mejanya—tapi sesekali melirik Alara dengan khawatir.

Jam 11, Alara berdiri untuk ambil air—tapi begitu berdiri, dunia tiba-tiba berputar. Sangat cepat. Sangat keras.

Kakinya goyah—ia mencoba pegangan di meja tapi tangannya meleset.

"Alara!" Rian berteriak—langsung berlari.

Tapi terlambat.

Alara jatuh—tubuhnya merosot ke lantai dengan bunyi yang membuat semua orang di divisi menoleh. Matanya tertutup, tubuh tidak bergerak.

"ALARA!" Rian berlutut di samping Alara—mengguncang bahu Alara dengan panik. "Alara, bangun! Bangun!"

Tidak ada respons.

"TOLONG! ADA YANG PINGSAN!" Rian berteriak—suaranya keras, penuh panik.

Orang-orang langsung mengerumuni—ada yang telepon medis, ada yang coba bangunkan Alara, ada yang—

"Hubungi Nathan! Cepat hubungi Pak Nathan!" perintah Pak Hendra yang baru datang.

---

**LANTAI 28, RUANG CEO**

Nathan sedang meeting dengan klien—membahas proyek baru—ketika sekretarisnya masuk dengan wajah panik.

"Pak Nathan, maaf mengganggu tapi—"

"Nggak lihat aku lagi meeting?" Nathan menatap kesal.

"Tapi Pak, ini urgent—Nona Alara pingsan di kantornya—"

Nathan berdiri seketika—kursi terdorong keras ke belakang. Jantungnya berhenti sedetik.

"APA?!"

"Nona Alara pingsan, Pak. Sekarang masih di lantai 15—"

Nathan tidak menunggu kalimat selesai. Ia berlari keluar ruangan—tidak peduli klien yang terkejut, tidak peduli meeting yang tertunda—hanya satu yang ada di pikirannya: Alara.

Ia turun tangga darurat—lebih cepat dari lift—dengan napas tersengal dan jantung yang berdetak sangat keras. Setiap anak tangga terasa seperti ribuan tangga. Setiap detik terasa seperti jam.

*Kumohon. Kumohon biarkan dia baik-baik aja.*

Sampai di lantai 15, ia melihat kerumunan orang di divisi desain. Nathan menerobos dengan kasar—mendorong orang-orang yang menghalangi.

"MINGGIR!"

Orang-orang langsung memberi jalan—dan Nathan melihat.

Alara terbaring di lantai—tubuh yang kurus, wajah yang pucat seperti mayat, mata tertutup, tidak bergerak.

Rian duduk di sampingnya dengan wajah panik—tangan mengipas-kipas Alara dengan kertas.

Nathan jatuh berlutut di samping Alara—tangan gemetar menyentuh wajah Alara yang dingin.

"Alara," panggilnya—suara yang bergetar hebat. "Alara, bangun. Kumohon bangun."

Tidak ada respons.

Nathan menyentuh nadi Alara di leher—masih ada, tapi lemah. Napasnya pendek-pendek.

"AMBULANS SUDAH DIPANGGIL BELUM?!" Nathan berteriak pada siapa saja yang mendengar.

"Sudah, Pak! Sedang dalam perjalanan—"

"BERAPA LAMA LAGI?!"

"Lima menit—"

"TERLALU LAMA!" Nathan mengangkat Alara dalam gendongannya—bridal style—dengan gerakan yang hati-hati tapi cepat. Tubuh Alara terasa sangat ringan—terlalu ringan—di tangannya.

"Aku bawa dia ke rumah sakit sekarang!" Nathan sudah berjalan cepat menuju lift.

"Pak, ambulans—"

"AKU BILANG SEKARANG!"

Tidak ada yang berani protes lagi.

---

**DI MOBIL, PERJALANAN KE RS**

Nathan menyetir dengan satu tangan—tangan yang lain menggenggam tangan Alara yang dingin dan lemah. Ia mengebut—melanggar lampu merah, menyalip kiri-kanan, tidak peduli klakson yang membunyinya.

"Bertahan, Alara. Kumohon bertahan," bisiknya berkali-kali—suara yang bergetar, mata yang mulai berkaca-kaca.

Alara tidak bergerak—hanya terbaring di kursi penumpang dengan kepala yang bersandar, napas yang terdengar berat.

"Aku minta maaf," bisik Nathan—air matanya mulai jatuh. "Aku minta maaf untuk semuanya. Untuk pertengkaran. Untuk membandingkan. Untuk... untuk nggak lihat kamu sakit. Kumohon... kumohon bangun. Kumohon jangan tinggalin aku."

Tidak ada jawaban. Hanya napas yang lemah.

Nathan menginjak gas lebih dalam—mobilnya melaju dengan kecepatan berbahaya—tapi ia tidak peduli. Yang penting adalah Alara. Hanya Alara.

---

**RS SILOAM, UGD**

Nathan masuk dengan Alara di gendongannya—berteriak pada siapa pun yang ia lihat:

"TOLONG! ISTRIKU PINGSAN! TOLONG DIA!"

Perawat dan dokter langsung menghampiri—membawa brankar. Nathan meletakkan Alara dengan hati-hati—tangan tidak mau lepas dari tangan Alara.

"Pak, kami harus bawa dia ke ruang pemeriksaan—"

"Aku ikut—"

"Pak, mohon tunggu di luar. Kami akan—"

"AKU BILANG AKU IKUT!" Nathan hampir berteriak—mata memerah, napas tersengal.

Dokter menatap Nathan dengan tatapan yang... mengerti. "Baik. Tapi Bapak harus tenang. Istri Bapak butuh Bapak tenang."

Nathan mengangguk—mencoba mengontrol napas yang memburu, tangan yang gemetar.

Mereka membawa Alara ke ruang pemeriksaan—Nathan mengikuti dari samping, tangan tidak lepas dari tangan Alara.

Dokter memeriksa—mengecek tekanan darah, detak jantung, suhu. Wajahnya serius.

"Tekanan darah rendah. Detak jantung lemah. Suhu sedikit tinggi—kemungkinan ada infeksi. Dan..." Dokter menekan perut Alara dengan lembut—Alara merintih pelan walau tidak sadar. "...perutnya kosong. Kapan terakhir istri Bapak makan proper?"

Nathan terdiam—karena ia tidak tahu. Seminggu ini mereka tidak bicara. Ia tidak tahu Alara makan atau tidak. Ia tidak tahu—

"Pak?" Dokter menunggu jawaban.

"Aku... aku tidak tahu," bisik Nathan—suara yang penuh rasa bersalah.

Dokter menatapnya dengan tatapan yang... tidak menghakimi tapi prihatin. "Istri Bapak mengalami kelelahan ekstrem, malnutrisi, dan kemungkinan stress yang sangat tinggi. Kami harus rawat inap untuk observasi dan pemberian nutrisi lewat infus."

"Lakukan apa pun. Yang penting dia selamat." Nathan menatap dokter dengan tatapan yang putus asa.

"Dia akan selamat. Tapi Bapak harus pastikan—setelah ini—istri Bapak istirahat cukup, makan teratur, dan... mengurangi stress." Dokter berhenti sejenak, menatap Nathan dengan tatapan yang bermakna. "Stress emosional bisa lebih berbahaya dari stress fisik."

Nathan mengangguk—mengerti maksudnya. Ini salahnya. Ini semua salahnya.

---

**RUANG RAWAT INAP, JAM 3 SORE**

Alara dipindahkan ke ruang rawat inap VIP—ruangan yang tenang dengan tempat tidur yang nyaman, jendela besar yang memandang kota.

Nathan duduk di kursi samping tempat tidur—tidak pernah lepas genggaman tangan Alara yang terpasang infus. Ia menatap wajah Alara yang masih pucat, mata yang masih tertutup.

"Aku minta maaf," bisiknya untuk kesekian kalinya—suara yang serak. "Aku minta maaf karena... karena nggak sadar kamu sakit. Karena terlalu sibuk dengan egoku sendiri sampai nggak lihat kamu... kamu hancur."

Air matanya jatuh—jatuh ke tangan Alara yang ia genggam.

"Kumohon bangun. Kumohon buka mata. Aku... aku janji akan berubah. Aku janji akan lepas dari masa lalu. Aku janji akan lihat kamu—beneran lihat kamu—bukan bayangan siapa pun. Kumohon... kumohon kasih aku kesempatan."

Tangan Alara bergerak sedikit—sangat sedikit—tapi Nathan merasakannya. Jantungnya berdegup kencang.

"Alara?" panggilnya dengan harap-harap cemas.

Perlahan—sangat perlahan—mata Alara terbuka. Sedikit. Berat. Tapi terbuka.

"Nathan...?" Suara yang sangat pelan, sangat lemah.

"Aku di sini." Nathan mendekatkan wajahnya—mengelus rambut Alara dengan lembut. "Aku di sini. Kamu aman sekarang."

Alara menatapnya dengan mata yang sayu—mencoba fokus. "Aku... aku di mana...?"

"Rumah sakit. Kamu pingsan di kantor. Kamu..." Suara Nathan bergetar. "Kamu kelelahan. Stress. Dan... dan itu salahku."

"Bukan..." Alara menggeleng lemah. "Bukan salahmu..."

"INI SALAHKU!" Nathan meninggi—tapi bukan marah, tapi putus asa. "Aku yang bikin kamu stress. Aku yang bikin kamu nggak makan. Aku yang—"

"Nathan..." Alara mengangkat tangannya yang lemah—menyentuh pipi Nathan yang basah air mata. "Jangan nangis..."

"Aku hampir kehilangan kamu," bisik Nathan—suara yang hancur total. "Waktu aku lihat kamu pingsan... aku... aku merasa duniaku runtuh. Dan aku sadar—aku sadar kalau aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku nggak mau hidup tanpa kamu."

Alara menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Tapi kamu masih takut..."

"Aku tahu." Nathan menggenggam tangan Alara yang menyentuh pipinya—menggenggam erat. "Tapi aku akan lawan ketakutan itu. Aku janji. Karena kehilangan kamu... kehilangan kamu lebih menakutkan dari apa pun."

Air mata Alara jatuh—mengalir ke samping wajahnya yang masih terbaring.

"Aku lelah, Nathan," bisiknya—suara yang penuh luka. "Aku sangat lelah."

"Aku tahu. Dan aku minta maaf." Nathan mencium tangan Alara—ciuman yang lama, yang penuh penyesalan. "Istirahat. Aku akan di sini. Aku nggak akan kemana-mana."

Alara menutup mata lagi—terlalu lelah untuk bicara lebih banyak. Tapi tangannya menggenggam tangan Nathan—genggaman yang lemah tapi ada.

Dan Nathan duduk di sana—duduk sepanjang sore, malam, sampai subuh—tidak pernah lepas genggaman, tidak pernah beranjak.

Karena ia hampir kehilangan Alara sekali.

Dan ia tidak akan membiarkan itu terjadi lagi.

Tidak peduli harus melawan hantu masa lalu apa pun.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 35]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!