Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.
Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.
Lukisan itu baru. Sangat baru.
Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.
Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.
Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Hari Ketika Ia Lahir"
Rasa nyeri itu datang dini hari, pelan namun pasti, seperti gelombang yang tak bisa ditolak. Luna terbangun dengan napas tersengal, telapak tangannya refleks menyentuh perut yang terasa mengeras.
“Nathan…” suaranya gemetar.
Nathan yang tertidur setengah sadar langsung bangun. Satu tatapan sudah cukup. Ia melihat cara Luna menggigit bibirnya, cara matanya mencoba tetap tenang.
“Kontraksi?” tanyanya, meski ia sudah tahu jawabannya.
Luna mengangguk.
Nathan bergerak cepat—terlalu cepat untuk seseorang yang biasanya santai. Tas persalinan diambil, jaket disambar, kunci mobil hampir terjatuh karena tangannya gemetar.
“Tarik napas. Ikuti aku,” katanya sambil memegang bahu Luna, matanya tak lepas dari wajah istrinya.
Di mobil, Luna menggenggam tangan Nathan erat setiap kali nyeri datang. Nathan tidak melepasnya sedetik pun, meski harus menyetir dengan satu tangan.
“Kamu kuat,” katanya berulang kali, seperti mantra. “Aku di sini. Kita hampir sampai.”
Di ruang bersalin, waktu terasa memanjang. Jam di dinding berdetak tanpa belas kasihan. Rasa sakit itu tidak lagi bisa dilukiskan—bukan hanya di tubuh, tapi juga di hati. Ada rasa takut, ada kelelahan yang menyesakkan.
Nathan berdiri di samping ranjang, memegangi tangan Luna, membiarkannya mencengkeram, bahkan ketika kukunya menekan kulitnya sampai perih.
“Jangan lepaskan aku,” Luna terisak.
“Tidak akan,” jawab Nathan tanpa ragu. “Aku di sini. Lihat aku.”
Setiap dorongan adalah perjuangan. Setiap napas adalah keputusan untuk bertahan satu detik lagi. Luna hampir menyerah saat tubuhnya terasa tidak lagi miliknya.
“Aku capek…” bisiknya.
Nathan menunduk, dahinya menyentuh kening Luna. Suaranya bergetar, namun tegas.
“Kamu tidak sendirian. Aku bangga sama kamu. Dengar itu? Putri kita menunggu.”
Tangis Luna pecah—bukan karena sakit, melainkan karena ia merasa dilihat, dipegang, dan dicintai sepenuhnya di titik paling rapuh hidupnya.
Dan akhirnya—di tengah teriakan terakhir dan napas yang terputus-putus—tangis kecil terdengar memenuhi ruangan.
Tangis pertama.
Tangis kehidupan.
“Selamat,” kata bidan dengan senyum lega. “Putri Anda lahir dengan sehat.”
Nathan terdiam. Air mata jatuh begitu saja saat ia melihat makhluk kecil itu—kulit kemerahan, jari-jari mungil, dan dada yang naik turun pelan.
Namun ia tidak langsung menoleh pada bayinya.
Ia menoleh pada Luna.
Wajahnya pucat, rambutnya basah oleh keringat, napasnya masih berat. Nathan menggenggam wajah Luna dengan kedua tangan, mencium keningnya berkali-kali.
“Kamu luar biasa,” katanya dengan suara pecah. “Terima kasih… terima kasih sudah berjuang.”
Saat bayi itu akhirnya diletakkan di dada Luna, dunia seolah berhenti. Luna menatap putrinya dengan mata penuh air, senyum kecil yang lahir dari kelelahan dan cinta yang tak terukur.
“Dia cantik,” bisiknya.
Nathan mengangguk. “Seperti kamu.”
Keluarga dan teman datang silih berganti, membawa ucapan selamat, bunga, dan mata yang berbinar. Semua ingin melihat sang bayi, menggendong, memotret, memuji.
Namun di antara keramaian itu, Nathan selalu kembali ke satu tempat: sisi Luna.
Ia memastikan istrinya minum, menarik selimutnya dengan hati-hati, menolak halus ketika seseorang terlalu lama membuat Luna kelelahan.
“Biarkan dia istirahat,” katanya lembut tapi tegas. “Dia baru saja melalui hal besar.”
Malam itu, saat ruangan akhirnya sepi, Nathan duduk di samping ranjang. Luna menggendong bayinya, sementara Nathan memegang tangan Luna dengan erat.
“Kita sudah sepakat soal nama,” ucap Luna pelan.
Nathan tersenyum, menatap putri kecil mereka.
“**Amara Kirana**,” katanya. “Amara—yang kuat. Kirana—cahaya.”
Luna mengangguk, air mata kembali jatuh. “Nama yang indah.”
Nathan menunduk, mencium dahi Luna sekali lagi.
“Kamu yang memberi arti pada nama itu. Kamu yang mengajarinya arti kekuatan.”
Di tengah dunia yang kini berfokus pada bayi kecil bernama Amara Kirana, Nathan tahu satu hal pasti:
Putrinya lahir dari cinta.
Namun istrinya—Luna—adalah alasan cinta itu ada.
Dan untuk Nathan, menjaga Luna bukanlah kewajiban.
Itu adalah pilihan yang akan ia ulang setiap hari, tanpa ragu.
Hari-hari setelah kelahiran Amara Kirana berjalan pelan, seperti aliran sungai yang tenang. Tidak selalu mulus, tidak selalu mudah, tetapi penuh makna kecil yang mengikat mereka semakin erat sebagai keluarga.
Apartemen yang dulu sunyi kini dipenuhi suara tangisan lembut, gumaman kecil, dan langkah kaki Nathan yang sering terjaga di tengah malam. Ia belajar bangun tanpa mengeluh—bahkan sebelum Luna sempat membuka mata.
“Biar aku saja,” katanya setiap kali Luna mencoba bangkit dengan tubuh yang masih nyeri. “Kamu istirahat.”
Nathan mengganti popok dengan gerakan kikuk, mengayun Amara dengan hati-hati seolah ia terbuat dari kaca. Kadang ia salah posisi, kadang Amara tetap menangis, tetapi ia tidak menyerah. Ia berbicara pada putrinya seolah mereka sedang berdiskusi serius.
“Papa juga baru belajar,” bisiknya. “Kita sama-sama ya.”
Luna sering memperhatikan dari tempat tidur, hatinya penuh. Ada kelelahan, ada rasa sakit yang belum sepenuhnya hilang, namun ada kebahagiaan yang begitu nyata—melihat pria yang mencintainya berubah menjadi ayah dengan kesungguhan yang sama.
Pagi-pagi mereka sederhana. Sinar matahari masuk lewat jendela, menyentuh lantai dan sofa kecil. Luna menyusui Amara di kursi dekat jendela, sementara Nathan menyiapkan sarapan—kadang terlalu asin, kadang terlalu manis, tapi selalu dibuat dengan niat.
“Kamu makan dulu,” katanya, meletakkan piring di meja kecil dekat Luna. “Aku bisa sambil gendong Amara.”
Ia selalu memastikan Luna makan, minum, dan beristirahat. Bukan karena diminta, melainkan karena ia ingat setiap detik perjuangan di ruang bersalin itu. Baginya, kebahagiaan Amara dimulai dari kesehatan ibunya.
Malam-malam menjadi waktu favorit Nathan. Setelah Amara tertidur, ia akan duduk di samping Luna, memijat pelan bahu dan punggungnya.
“Kamu capek hari ini?” tanyanya.
Luna mengangguk jujur. “Tapi bahagia.”
Nathan tersenyum. “Aku juga.”
Akhir pekan mereka diisi hal-hal kecil: berjalan pelan di taman dengan stroller, membeli es krim yang kemudian dimakan bergantian karena Amara terbangun, atau hanya duduk di bangku taman sambil memandangi langit.
Nathan sering berhenti sejenak, menatap Luna dan Amara dengan ekspresi yang tak bisa ia sembunyikan.
“Apa?” tanya Luna suatu kali.
“Aku cuma… bersyukur,” jawabnya. “Kadang aku takut bangun dan ini cuma mimpi.”
Luna menggenggam tangannya. “Kalau mimpi, kita mimpi bersama.”
Amara tumbuh menjadi bayi yang tenang. Ia sering berhenti menangis saat mendengar suara Nathan. Setiap kali Nathan pulang kerja, ia langsung mendekatkan wajahnya ke Amara.
“Halo, cahaya Papa,” katanya. “Hari ini kamu baik?”
Dan Amara akan menggerakkan tangannya kecil, seolah menjawab.
Mereka tidak hidup mewah. Tidak ada rumah besar atau liburan mahal. Namun ada kejujuran, ada kehadiran, ada cinta yang dipilih setiap hari.
Suatu malam, Luna bersandar di bahu Nathan, Amara tertidur di dadanya.
“Aku tidak pernah membayangkan hidup bisa setenang ini,” ucap Luna pelan.
Nathan mencium rambutnya. “Karena ketenangan itu kita bangun bersama.”
Di tengah dunia yang terus berubah, mereka hidup dalam versi kebahagiaan mereka sendiri—bukan tanpa luka, tetapi penuh pemulihan.
Dan Luna tahu, di dalam kehidupan yang ia pilih ini, ia tidak hanya dicintai.
Ia dihargai.
Ia dijaga.
Ia pulang.