Ia adalah Echo bernama Jae, idol pria berwajah mirip dengan jake Enhypen. Leni terlempar kedua itu dan mencari jalan untuk pulang. Namun jika ia pulang ia tak akan bertemu si Echo dingin yang telah berhasil membuat ia jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hidangan yang Dingin
Setelah konfrontasi sebelumnya, dinamika antara Leni dan Jae berubah perlahan. Ancaman karantina yang sempat menekan kini mereda, digantikan oleh rasa saling membutuhkan dan kepercayaan yang tumbuh diam-diam. Leni membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar fan impulsif yang berbahaya, melainkan seseorang yang mampu membaca data, melihat celah, dan bekerja dengan fokus tajam.
Jae pun tampak mulai memandang Leni bukan lagi sebagai ancaman, bukan pula sebagai gema dari masa lalunya, tapi sebagai mitra. Sebagai seseorang yang bisa ia ajak bekerja sama.
“Baiklah, Nona Manajer Minimarket,” ujar Jae suatu pagi, menyerahkan kembali kunci mobil dan kartu akses padanya. “Kau boleh keluar, tapi hanya untuk urusan J-Cosmetic. Dan kau harus menjawab semua panggilan dariku.”
Leni tersenyum—senyum yang benar-benar asli. “Aku menghargainya, Jae-ssi. Tenang saja, tidak akan ada sentuhan listrik lagi.”
Sejak hari itu, mereka mulai bekerja berdampingan. Leni mendapatkan akses ke server keuangan J-Cosmetic, dibantu Manajer Park yang tidak berani macam-macam karena perintah langsung dari Jae. Sementara Jae, di sela-sela jadwal syutingnya, membantu menerjemahkan istilah hukum yang rumit.
Keakraban tumbuh tanpa mereka sadari. Jae ternyata penyuka kopi hitam yang begitu pahit hingga Leni yakin itu bukan minuman manusia. Sebaliknya, Leni bekerja paling efisien saat ditemani playlist K-Pop ceria—hanya saja ia menyembunyikan fakta bahwa separuh playlist itu milik ENHYPEN. Jae selalu menolak kalau nama grup itu disebut.
Ada tawa kecil ketika Leni salah menyebut istilah bisnis Korea. Ada gumaman geli ketika Jae mendengarkan cerita tentang drama supplier nakal di minimarket tempat Leni bekerja. Dan ada jeda tenang ketika keduanya tenggelam dalam data, angka, dan file yang saling menyambung seperti serabut cerita.
Kepercayaan terbentuk sedikit demi sedikit. Kecemburuan Jae mereda.
Hingga suatu malam, setelah Leni menyelesaikan laporan lengkap tentang keanehan Phantom Corp dan pola korupsi yang ia temukan, Jae memutuskan untuk merayakannya.
“Sebagai imbalan atas kerja kerasmu, malam ini biar aku yang memasak,” ujarnya sambil mengenakan apron.
“Kau bisa masak?” Leni menaikkan alis.
“Lebih baik dari yang kau kira,” jawab Jae santai. “Japchae dan bulgogi.”
Meja makan di apartemen itu terlihat jauh lebih hidup malam itu. Japchae yang ditumis sempurna, bulgogi lembut, dan nasi hangat—semua disajikan rapi seperti di restoran mewah. Leni makan dengan lahap, rasa rindu pada masakan rumah seolah meletup di dadanya.
Di tengah suapan, Leni berkata pelan, “Di duniamu mungkin berbeda, tapi di duniaku… aku selalu makan dengan Ibu. Di meja kerja. Bau kue basah baru matang. Tidak mewah, tapi hangat.”
Jae tidak menertawakan atau mengomentari. Ia hanya mengangguk, seolah mengerti lebih dari yang ia tunjukkan.
“Aku jarang makan dengan siapa pun,” ujarnya kemudian. “Di sini, makanan sering dingin sebelum aku sempat menyentuhnya.”
Leni hendak merespons, tetapi ada sesuatu yang mengganjal. Ia memperhatikan piring Jae. Japchae miliknya masih mengepulkan uap, sedangkan yang di piring Jae… tidak sama sekali. Tanpa pikir panjang ia menjulurkan tangan, menyentuh mangkuk nasi di depan Jae.
Dingin.
Seperti baru keluar dari kulkas.
Leni mengangkat tatapan. “Jae-ssi… kenapa makananmu tidak panas?”
Jae terdiam. Pupilnya tak bergerak, seolah tersangkut di tengah pikirannya. Leni memperhatikan lagi—mata itu tidak berkedip. Sudah lama sekali.
“Kau tidak berkedip,” katanya pelan.
Jae meletakkan sumpit. Suaranya tenang, namun terdengar seperti seseorang yang sudah lelah menyembunyikan sesuatu.
“Aku sudah mengatakan bahwa aku Echo, Leni. Tapi sepertinya kau belum benar-benar mengerti artinya.”
Ia mengangkat tangannya. Kulitnya, untuk sesaat, bergetar seperti piksel yang kehilangan resolusi. Cahaya samar membentuk retakan halus sebelum kembali normal.
“Aku tidak merasakan panas,” lanjut Jae. “Aku hanya meniru. Aku tidak butuh tidur seperti manusia. Dan kalau aku tidak memikirkannya, aku… tidak berkedip.”
Leni merasa perutnya mengerut. Realitas yang ia pegang seperti bergeser satu sentimeter dari porosnya.
“Jadi selama ini… kau hanya berpura-pura makan denganku?”
“Aku mencoba,” jawab Jae. “Untuk membuatmu nyaman.”
Keheningan menggantung seperti kabut dingin.
“Ketika kau dekat dengan Jake,” tambahnya, “realitasku melemah. Dia adalah pusat gravitasi. Dia manusia. Aku hanya gema.”
Leni menatap makanan hangat di depannya, lalu piring Jae yang dingin. Sensasi asing merayap di tengkuknya. Bukan takut. Lebih seperti kesadaran bahwa dunia yang ia masuki jauh lebih rapuh daripada yang ia kira.
“Makan malam yang aneh, Jae-ssi,” katanya akhirnya. “Aku tidak tahu aku sedang makan dengan… gema.”
“Sekarang kau tahu.” Jae berdiri dan membereskan piringnya. “Dan besok kita akan menggunakan bukti Phantom Corp untuk menekan Paman Kang. Kita butuh kendali penuh sebelum Resonansi Puncak datang.”
Ia berjalan ke arah dapur. Siluetnya tampak padat, tapi Leni tidak bisa menghilangkan bayangan samar yang sempat memudar barusan.
Untuk pertama kalinya sejak memasuki dunia baru ini, Leni merasa bahwa di balik semua data, kecerdasan, dan kecemburuan Jae, ada satu kebenaran yang tidak bisa ia abaikan.
Jae bukan manusia.
Dan realitasnya mungkin sewaktu-waktu bisa hilang.
...****************...