NovelToon NovelToon
Istri Terbuang

Istri Terbuang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Janda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: ummushaffiyah

Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3 — Beban yang Terus Bertambah

Langit malam itu kelam ketika Farhan pulang. Suara pintu dibuka pelan, berbeda dari biasanya. Zahwa yang sedang merapikan cucian langsung menoleh. Ada sesuatu di wajah suaminya—kelelahan bercampur rasa bersalah.

Farhan meletakkan tas kerjanya, duduk di tepi kasur, dan menunduk lama sebelum bersuara.

“Wa,” katanya lirih, “gaji aku bulan ini… dipotong.”

Zahwa diam sejenak, mencoba menangkap nada suaranya sebelum menjawab. “Dipotong? Kenapa, Han?”

Farhan mengusap wajahnya. “Aku… bikin kesalahan besar di kantor. Data shipment salah input. Nilainya ratusan juta. Perusahaan rugi. Jadi sebagian gaji aku dipotong buat tanggung jawab.”

Zahwa berhenti melipat baju. Ia tahu Farhan ceroboh, tapi ia juga tahu suaminya bukan orang jahat. Kesalahan seperti itu pasti menekan batin Farhan.

“Berapa banyak yang dipotong?” tanya Zahwa lembut.

“Setengah…” jawab Farhan. Suaranya pecah. “Aku benar-benar minta maaf, Wa. Aku tahu kebutuhan rumah makin banyak… tapi gaji aku bulan ini cuma sisa sedikit banget.”

Tanpa ragu, Zahwa duduk di sampingnya. Ia mengusap punggung suaminya dengan tenang. “Nggak apa-apa, Han. Namanya kerja, pasti ada salahnya. InsyaAllah ada rezeki dari arah lain.”

Farhan menatap Zahwa, wajahnya berantakan, tapi Zahwa tetap tersenyum lembut. Senyum yang selalu berhasil membuat laki-laki itu lupa betapa banyak ia menyakiti perempuan yang kini duduk di sampingnya.

Di balik senyumnya, Zahwa menyimpan satu kenyataan pahit:

tabungannya akan habis lagi bulan ini.

Tapi ia tetap tidak mengeluh.

Tidak pernah.

---

Keesokan harinya, badai lain datang.

Abang pertama Farhan menelepon keluarga lewat grup keluarga. Pesannya panjang, penuh keluhan soal kondisi ekonomi.

“Gimana kalau ruko depan itu kita jual aja? Harga pasaran lagi naik. Bisa dapat 10 miliar harusnya. Lumayan buat bagi-bagi.”

Ruko itu sebenarnya milik almarhum ayah mereka. Sekarang ruko itu disewakan, uang kontrakannya digunakan sebagian untuk kebutuhan Bu Nina dan sebagian untuk beli obat Rita yang tidak murah. Sejak Rita sakit, ruko itu jadi tulang punggung biaya hidup rumah besar itu.

Abang kedua langsung menjawab santai.

“Terserah aja. Kalau Ibu setuju, aku ikut.”

Seolah menjual aset keluarga adalah hal biasa.

Tak lama, Farhan menimpali:

“Iya, aku juga ikut kata Ibu.”

Seolah harga 10 miliar hanya angka biasa di grup chat.

Bu Nina akhirnya mengirim pesan:

“Jangan buru-buru. Uang kontrakan itu buat obat Rita. Kalau dijual, Ibu harus gimana?”

Pesan itu sunyi…

Tidak ada yang membalas untuk waktu lama.

Zahwa melihat Farhan menatap layar ponselnya dengan gelisah.

“Aku nggak tahu lah,” gumam Farhan. “Mereka bilang kayak lagi kesusahan, tapi istrinya Abang kedua itu beli HP baru. Anak-anaknya empat-empatnya punya HP baru. Dari mana coba kalau bukan uang Ibu?”

Zahwa hanya menunduk.

Ia tahu, meski semua orang bilang tidak tahu, akhirnya … Tangan Zahwa yang akan kembali diminta membantu.

Firasat itu terbukti hanya beberapa jam kemudian.

Bu Nina memanggilnya saat sedang membersihkan dapur.

“Zahwaaa, sini bentar.”

Zahwa menghampiri. Bu Nina memberikan sebuah map berisi foto ruko depan.

“Kamu tolong iklanin ini ya. Bilang sama tetangga-tetangga kamu yang suka cari investasi. Harganya 10 miliar. Tidak boleh kurang.”

Zahwa terdiam. “10 miliar, Bu? Itu harga—”

“Sudaahh… kamu kan banyak kenalan di komplek. Iklan aja dulu. Kamu kan pinter ngomong, pinter jualan. Masa ini aja susah.”

Zahwa ingin bilang bahwa ia tidak pernah berhubungan dekat dengan tetangga untuk urusan sebesar ini. Ia bahkan tidak tahu bagaimana memulai—tapi Zahwa tidak berani menolak.

“Baik, Bu…” jawabnya pelan.

Ketika Bu Nina sudah pergi, Zahwa memegang map itu lama. Tangannya bergetar.

Rumah kontrakan ruko itu adalah satu-satunya sumber hidup Rita.

Kalau dijual… siapa yang akan menanggung biaya obat Rita?

Zahwa tahu jawabannya: kemungkinan besar dirinya lagi.

Dan jika tidak ada yang mau beli dengan harga 10 miliar?

Ia pasti yang akan disalahkan.

Sore itu, Zahwa duduk di kamar sambil menatap ponselnya. Ia mengambil foto ruko, mengetik deskripsi iklan seadanya, tapi hatinya terasa berat.

Farhan masuk dan duduk di sampingnya.

“Wa… kamu nggak apa-apa?” tanya Farhan.

Zahwa menunduk pelan. “Kalau ruko itu dijual, obat Rita gimana, Han?”

Farhan terdiam.

Ia tidak punya jawaban.

“Kita ikut keputusan keluarga aja,” katanya akhirnya. “Tapi kamu bantu ya iklannya.”

Zahwa mengangguk.

Dalam dunia Farhan, semua keputusan selalu kembali pada satu orang—ibunya. Dan Zahwa hanya pelengkap yang harus ikut mengurus apa pun yang diputuskan.

Farhan menyandarkan kepala di bahu Zahwa. “Makasih ya, Wa… kamu selalu bantu keluarga aku.”

Keluarga kamu, bukan keluarga kita.

Itu kalimat yang menyayat, tapi Zahwa tetap tersenyum.

“InsyaAllah semua ada jalannya,” jawabnya lirih.

Namun malam itu, Zahwa menangis pelan tanpa suara,

bertanya pada dirinya sendiri:

Berapa banyak lagi yang harus aku pikul, sementara bahuku semakin rapuh?

1
Hafshah
terus berkarya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!