Raska adalah siswa paling tampan sekaligus pangeran sekolah yang disukai banyak gadis. Tapi bagi Elvara, gadis gendut yang cuek dan hanya fokus belajar, Raska bukan siapa-siapa. Justru karena sikap Elvara itu, teman-teman Raska meledek bahwa “gelar pangeran sekolah” miliknya tidak berarti apa-apa jika masih ada satu siswi yang tidak mengaguminya. Raska terjebak taruhan: ia harus membuat Elvara jatuh hati.
Awalnya semua terasa hanya permainan, sampai perhatian Raska pada Elvara berubah menjadi nyata. Saat Elvara diledek sebagai “putri kodok”, Raska berdiri membelanya.
Namun di malam kelulusan, sebuah insiden yang dipicu adik tiri Raska mengubah segalanya. Raska dan Elvara kehilangan kendali, dan hubungan itu meninggalkan luka yang tidak pernah mereka inginkan.
Bagaimana hubungan mereka setelah malam itu?
Yuk, ikuti ceritanya! Happy reading! 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Super Cuek
Matahari siang itu benar-benar tidak bersahabat. Panasnya seperti dendam masa lalu.
Lapangan sekolah mendidih. Angin pun malas lewat. Rumput terlihat ingin resign dari tugasnya sebagai pelindung tanah. Namun jam pelajaran olahraga baru saja dimulai.
“Baik, anak-anak! Hari ini kita ambil nilai lari maraton!” seru Pak Danu, guru olahraga bertubuh layaknya atlet pensiun yang sempat mencoba jadi calon legislatif, tapi gagal karena kalah modal buat serangan fajar.
“Siap!” Pekiknya sendiri sambil meniup peluit.
Semua siswa bersiap di garis start. Kecuali satu orang.
Elvara Divya Putri.
Gadis seratus kilo penuh harga diri. Wajahnya cantik polos, pipi tembam, kulit putih, rambut dikuncir asal-asalan. Tubuhnya subur, makmur, dan kaus olahraganya sudah seperti menjerit minta tolong dari tadi.
Teman satu timnya tampak seperti ingin menangis. Bukan karena panas, tapi karena nasib.
Talenta Elvara: ranking satu sejak SD.
Kelemahannya: praktek olahraga.
Julukan seantero sekolah: Gasekil (Gadis Seratus Kilo).
Tapi Elvara? Cuek.
Kalau ditanya soal berat badan, jawabnya simpel:
“Ya udah lah. Berat gue cuma angka. Yang penting otak gue bertenaga.”
Sementara itu, teman-temannya menghela napas panjang. Dramatis. Seolah masa depan mereka bergantung pada nilai lari hari itu.
“Pak, kami protes,” keluh salah satu siswa, wajah hampir mewek. “Masa satu tim sama Gasekil lagi? Otomatis kalah, Pak. O-to-ma-tis.”
Yang lain ikut menghela napas, menatap Elvara seperti menatap sumber penderitaan nasional.
Elvara berdiri dengan tangan di pinggang sambil mengunyah permen jahe.
“Santai aja, Sis. Nilai praktik doang.”
“APA?!”
Salah satu teman setimnya hampir teriak. “Santai?! Ini masuk nilai RAPOR, Gasekil!”
Elvara hanya mengangkat bahu. Tidak merasa bersalah. Tidak merasa tertekan.
Dia chill.
Kayak hidup ini cuma tempatnya numpang makan bakso.
Di kejauhan, Raska Wijanata duduk santai di tribun.
Pangeran sekolah.
Rambut rapi. Seragam licin. Sepatu putih bersih. Kalau masuk drama Korea atau China, dia pasti jadi pemeran cowok kaya berhati dingin tapi sebenarnya penuh luka batin.
Namun soal akademik?
Ranking dua.
Dan siapa ranking satu?
Ya. Elvara.
Raska dikelilingi tiga temannya yang sok keren padahal hati rapuh.
“Eh, eh, liat tuh. Gasekil ikut marathon,” celetuk Gayus, yang tidak korupsi uang pajak, tapi korupsi uang warung ibunya buat nongkrong di kafe.
“Dijamin tamat timnya,” ujar Asep, anak juragan empang yang hobinya nyawer biduan tiap Sabtu malam.
“Auto kalah,” timpal Vicky, cowok berlesung pipi yang entah kenapa gonta-ganti pacar meski tampang standar hemat.
Mereka tertawa sambil menepuk bahu Raska.
Asep bersuara, “Bro, itu cewek yang bikin lo gagal ranking satu.”
“Saingan lo bukan cowok ganteng lain, tapi Gasekil,” tambah Gayus.
Vicky ikut manas-manasi, “Lo kalah sama cewek yang kalau lari napasnya kayak babii marah.”
Raska tidak menjawab. Tapi matanya berkedip cepat.
Sakit. Menusuk. Dalam.
Elvara mendengar semuanya.
Tapi ya… tetap cuek.
Ia cuma mengedip sekali, lalu balik mengunyah permen jahe yang pedesnya hampir selevel mulut ibunya kalau menegur pelanggan yang ngutang gak bayar-bayar.
Fokus hidup Elvara cuma tiga:
Belajar.
Ranking.
Bantu warung Ibu biar kuota internet lancar jaya dan tidak buffering cuma gara-gara nyangkut di pohon mangga.
Dunia boleh gonjang-ganjing.
Raska boleh kebakaran jenggot.
Satu lapangan boleh ribut seperti pasar senggol.
Tapi selama nilainya aman, warung masih laku, dan permen jahe masih ada di saku, hidup Elvara baik-baik saja.
“Siap… LARI!” teriak Pak Danu.
Peluit melengking.
Semua siswa langsung melesat seperti dikejar Shopee Flash Sale.
Elvara juga ikut melesat. Tapi versi lambat.
Sangat lambat.
Se-lambat adegan slow-motion dengan soundtrack mellow padahal matahari cerah terik.
Ritme larinya:
Tap…
Tep…
Tap…
Heh…
Heh…
“Gue… capek…”
Napasnya terdengar seperti kipas angin tua yang sudah 12 tahun tidak ganti oli dan hampir pensiun dini.
Teman-teman satu timnya di garis finish mulai membaca doa keselamatan agar napas Elvara tidak putus di tengah jalan.
Tim lawan sudah merayakan kemenangan kecil-kecilan.
Siswa lain nonton sambil makan es lilin, santai seolah ini hiburan gratis antrean panjang.
Sepuluh menit kemudian…
Napas Elvara resmi terdengar seperti kipas angin rusak yang digoyang-goyang.
Peserta lain udah selesai, minum, bahkan ada yang sempat selfie.
Elvara?
Masih di tikungan ketiga.
Teman satu timnya menatap dengan ekspresi, “Kenapa hidup gue gini amat, Tuhan…”
Peluit Pak Danu hampir berbunyi lagi buat kelas berikutnya.
Akhirnya, Pak Danu, dengan langkah seorang bapak yang pasrah pada takdir, menghampiri Elvara. Ekspresinya sayang… sekaligus sedih.
Seperti bapak yang melihat ayam peliharaannya berusaha terbang.
“El, kamu ini anak cerdas. Nilai akademik kamu luar biasa. Guru-guru bangga. Tapi kesehatan juga penting. Coba nanti diet ya. Sayang kalau masih muda udah kena masalah.”
Elvara berhenti, menghapus keringat pakai lengan baju.
“Siap, Pak. Saya usaha.”
Nada setenang menjawab soal pilihan ganda.
Lapangan hening.
Lalu…
Muncul suara yang jelas-jelas dikirim semesta untuk bikin keributan.
Roy Wijanata.
Bukan Roy yang ribut soal ijazah palsu. Tapi adik tiri Raska, yang mulutnya kalau dibiarin bisa memecah perdamaian dunia.
Wajah Roy begitu licik dan tenang. Kayak kucing yang sok manis padahal baru saja nyolong ikan di dapur.
“Gaseras itu satu-satunya cewek di sekolah ini yang nggak ngefans sama lo Raska,” ucapnya sok polos tapi niatnya busuk.
Gayus langsung menimpali, “Gimana mau ngejar cinta kalau lari aja ngos-ngosan?”
Tawa meledak.
Roy tersenyum makin puas. “Semua siswi lain klepek-klepek lihat lo Raska. Tapi dia? Dingin. Gimana mau disebut pangeran sekolah kalau masih ada rakyat jelata yang kebal pesona?”
Vicky menambahkan, “Gasekil itu cewek pertama yang punya mental anti-pesona pangeran. Langka banget.”
Semua mata otomatis menoleh ke satu orang.
Raska.
Pangeran sekolah itu jelas kaget, tapi gengsinya setinggi Monas, jadi dia cuma mendengus pura-pura nggak peduli.
Asep bersiul. “Bener juga sih. Masa pangeran sekolah masih ada yang kebal? Aib, Bro.”
Roy makin menjadi-jadi. Ia melipat tangan, menaikkan dagu dengan gaya sok bangsawan yang baru saja menang audisi sinetron.
“Kalau Gasekil aja, cewek yang bahkan nggak ada satu pun makhluk hidup di sekolah ini yang naksir dia, cuek sama lo…” Roy sengaja jeda, menatap teman-temannya yang sudah siap ngakak.
“…mending hapus aja gelar Pangeran Sekolah itu.”
Tawa pecah.
Gayus sampai tepuk paha.
Asep nyaris tersedak cilok.
Vicky mengangkat alis, seolah berkata, iya juga sih.
Raska merem sebentar.
Satu detik. Dua detik.
Itu bukan merem pasrah. Itu merem menahan amarah supaya tidak melempar Roy ke tempat sampah organik.
Di tengah semua keributan itu, Elvara hanya mengusap keringat, lalu menoleh sekilas ke arah mereka dengan tatapan paling datar yang pernah ada di sejarah umat manusia.
Tatapan itu berkata jelas: “Masalah lo, bukan hidup gue.”
Raska refleks melirik balik, entah kenapa merasa… kalah.
Tanpa beban, Elvara berjalan melewati kerumunan sambil mengipas-ngipas dirinya.
“Pak, saya minum dulu. Haus.”
Seolah dia bukan barusan jadi bahan gosip satu lapangan.
Seolah dunia nggak punya yang namanya pendapat orang lain.
Seolah hatinya bisa disetel menjadi mode: tidak peduli.
Semua orang terdiam melihat tingkah cueknya.
Level cuek yang bahkan Zen Master pun ingin belajar.
Pak Danu hanya menghela napas, bingung harus bangga atau stres.
Sementara itu, seorang siswi berbisik penuh kagum:
“Gila… ternyata yang punya mental baja bukan cuma tentara. Gasekil juga.”
***
Jam istirahat berbunyi.
Raska pergi ke belakang sekolah, tempat rahasia favoritnya, untuk belajar sambil menikmati angin semilir. Bukan perpustakaan seperti siswa teladan lain. Dan bukan kelas seperti Elvara yang hidup damai tanpa peduli omongan manusia.
Ia baru membuka halaman ketiga ketika ketenangannya pecah.
Gayus, Asep, dan Vicky datang tergopoh-gopoh seperti baru kabur dari debt collector.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Ayo Raska kamu semangat untuk sembuh,,dan Elvara tempat ternyamanmu🤣
Raska selama ini berarti berusaha sendiri mengatasi masalah traumanya dengan konsultasi ke dokter Wira.
Tanya jawab antara dokter Wira dengan Raska - kesimpulannya - trauma Raska belum pulih.
Ya betul itu pak Nata, Roy iri terhadap Raska. Kalah segala-galanya maka mau mencurangi kakak tirinya.
Raska...yang tahu sengaja atau tidak sengaja nabrak - ya Bella.
Elvara pribadi yang baik, tidak mau menuduh. Tapi yang pasti kamu sengaja di tabrak Bella - biar kamu jatuh ke dalam kolam. Bella mungkin tidak menyangka ketika nabrak kamu - dirinya mental - kecebur juga 😄.
Elvaraaaaaa...jujur amat 😂.
Tuh lihat reaksinya trio komentator 😂.
Raskaaaaa....jujur juga 😂👍🏻👍🏻.
Trio komentator langsung meledak ibaratnya sedang menyaksikan tanding sepak bola jagoannya tembus gawang 😄.
Raska kupingnya memanas - Elvara biasa...tanpa ekspresi bergumam - "Drama banget kalian." 😄.
Weeeeh Bella nguping.
Waduh masih ada lain kali - rencana jahat apa lagi Bella ??
Bella mimpimu cuma mimpi - mana ada jadi kenyataan - Raska tidak mungkin pilih kau.
Tiga temannya mengkhawatirkan kondisi Raska. Mereka bertiga peduli - kalimat yang keluar dari masing-masing cukup menghibur. Yang di rasa Raska ketegangan sedikit melonggar - menggeleng halus, bergumam lirih - "...kalian emang nyebelin." Ini bentuk ungkapan Raska yang "POSITIF," terhadap ke tiga temannya yang selalu ada untuknya.
( ***Ini Author mesti bikin cerita kelanjutan mereka berempat sampai masing-masing punya keluarga, pertemanan berlanjut 😄. )
Roy mimpinya ketinggian.
Elvara masih seperti biasa yang dilakukan ketika jam istirahat. Duduk di bawah pohon, membaca buku, sambil ngemil - kripik.
dan semoga si Roy selalu gagal dalam semua hal😄
Aku Sudah menduga, novel ini beda dari yang sebelumnya. Novel kali ini, selain memberikan pelajaram tentang ketulusan cinta, juga ada melibafkan Para medis juga.
Seperti Dokter Wira, Dokter Pesikiater Raska, Karen itu sangat mengguncang kejiwaan Raska, yang telah dia tanggung sejak usia 10 tahun. Untung saja Raska berusaha berobat, jika tidak, penyakitnya makin parah dan membuat tempramen Raska meningkat, yang bisa-bisa membuat dia tidak bisa tidur nyenyak, dan itu bisa mebuat dia menjadi emosional, bahkan mungkin bisa melempar barang-barang di Apartemen nya, jika sudah parah.
Mantap kak Nana... 🙏🙏🙏😁