Wira adalah anak kecil berusia sebelas tahun yang kehilangan segalanya, keluarga kecilnya di bantai oleh seseorang hanya karena penghianatan yang di lakukan oleh ayahnya.
dalam pembantaian itu hanya Wira yang berhasil selamat karena tubuhnya di lempar ibunya ke jurang yang berada di hutan alas Roban, siapa sangka di saat yang bersamaan di hutan tersebut sedang terjadi perebutan artefak peninggalan Pendekar Kuat zaman dahulu bernama Wira Gendeng.
bagaimana kisah wira selanjutnya? akankah dia mampu membalaskan kematian keluarganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdul Rizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kinanthi
Beberapa saat sebelum Wira mendengar tangisan tersebut, terlihat barisan para pendaki yang terdiri dari 6 orang tiga perempuan dan tiga laki laki.
Mereka semua adalah para mahasiswa dan mahasiswi salah satu kampus yang berada di Surabaya, mereka semua saat ini sedang dalam perjalanan turun kebawah.
Paling depan di terdiri dari para laki laki yang bernama Angga, Juanda dan Rahman. Sementara yang barisan paling belakang adalah para perempuan yang bernama Sera, Hera, dan Kinanti.
"Seru juga ya naik gunung, ternyata pemandangannya indah!" Ucap Kinanti.
"Haha... apa aku bilang, seru kan naik gunung.." sahut Angga laki laki yang berdiri di barisan ketiga.
"Kalian tau ngga sih tadi di puncak aku ngga sengaja ketemu sama pendaki lain yang wajahnya mirip banget sama opa opa korea!" Ucap Kinanti sembari tersenyum sumringah.
"Oh ya? Beruntung banget kamu Kinanti!" Sahut Hera.
Angga terlihat memasang wajah kesal ketika dirinya di cueki oleh Kinanti.
Puk!
Sebuah tangan mendarat di pundak Angga, tangan itu adalah tangan Rahman, Rahman kemudian berbisik, "sudahlah Bro, kalau memang jodoh ngga bakal kemana." Bisiknya dengab suara lirih agar tidak di dengar Kinanti.
Ya Angga sebenarnya selama ini menyukai Kinanti karena parasnya Kinanti yang sangat cantik, rambut hitam panjang dan kulitnya yang putih seluruh salju bahkan hampir tidak ada noda membuat Angga tidak bisa melupakan bayang bayang Kinanti di benaknya.
"Iya! Lihat nih aku juga tadi sempat foto dan kenalan sama dia!" Ucap Kinanti sembari mengeluarkan ponsel dan menunjukan fotonya bersama seorang pendaki laki laki yang sangat mirip dengan opa korea.
Namun apa yang tidak di sadari Kinanti bungkus permen jahe yang ia simpan di saku jaketnya terjatuh ketika dia mengeluarkan ponselnya.
"Eh iya, beneran mirip! Beruntung banget kamu Kinanti, btw siapa namanya? Apa Kamu sempat minta nomernya?" Tanya Hera.
Kinanti terlihat senyum terus menerus, dia kemudian berucap, "aku ngga minta nomer hpnya, tapi aku minta nama ignya. Kalian tahu ngga dia ternyata juga sekampus sama kita! Tapi jurusannya dia teknik mesin!" Jawab Kinanti.
"Hah?! Beneran kamu Kinanti? Kok aku ngga pernah lihat dia ada di sekitar kampus." Ucap Sera.
"Aku juga ngga pernah lihat dia di kampus, sempat juga aku tanyain kenapa dia ngga pernah kelihatan di kampus, katanya dia ngga terlalu suka bergaul makanya dia sehabis kelas langsung pulang dan ngga pernah kelihatan!" Ucap Kinanti.
"Hmm, pantes aja. Tapi Kinanti kamu belum jawab siapa nama dia." Ucap Hera.
"Eh iya lupa, kalau ngga salah namanya Gibran." Jawab Kinanti dengan wajah polos.
Baik Sera, Hera maupun Angga, Juanda dan Rahman mengedutkan matanya mendengar nama orang itu.
"Gi... Gibran?" Tanya Hera sekali lagi.
"Iya, memangnya kenapa?" Tanya Kinanti dengan heran.
"Tidak, tidak apa apa aku hanya kaget saja kok bisa namanya sama persis seperti emm.... 19 juta lapangan pekerjaan."
"Ohh... maksudmu anaknya pak Mulyono, walaupun namanya sama tapi kalau di bandingkan mukanya bakalan kebanting!"
"Prit! Prit! Jangan keras keras Kinanti nanti kalau dia dengar omongan kamu bisa bisa kamu di kick dari negara!" Sahut Sera.
Sontak Kinanti menutup mulutnya dengan ekspresi yang di buat takut.
Berbeda dengan Sera, Hera, dan Kinanti rombongan Angga, Juanda dan Rahman lebih banyak diamnya.
Juanda dan Rahman memang diam, namun tidak dengan Angga, dia terus menerus menggerutu dalam hatinya.
"Sebenarnya sampai kapan kamu akan sadar dengan perasaanku Kinanti? Aku memiliki segalanya, masa depanku terjamin karena aku adalah Tuan Muda keluarga Dinata bahkan aku memiliki banyak sekali uang, aku bisa memberikanmu apapun namun mengapa kamu selalu menghindari dariku, apa salahku? Apakah aku salah jika ingin menjalani hubungan denganmu?" Gerutu Angga dalam hatinya.
hati angga benar benar terbakar oleh api cemburu, bagaimana tidak? Dia selama ini menyukai Kinanti, dia selalu berusaha mendekati Kinanti, bahkan yang merencanakan mendaki Gunung Lawu adalah dia, dan segala biayanya di tanggung oleh Angga.
Tidak hanya itu beberapa kali Angga kerap membantu Kinanti, baik dari segi finansial maupun sosial.
Namun siapa sangka setelah semua effort yang di berikan Angga kepada Kinanti, Kinanti tidak kunjung menyadari bahwa angga menyukai dirinya, dan secara terang terangan kini Kinanti malah membicarakan tentang laki laki lain di depan Angga.
Semua orang di sana terus berjalan menuruni Gunung Lawu, hingga akhirnya mereka hampir sampai di pos kedua.
Semua orang terlihat tersenyum sumringah ketika hampir sampai ke di pos kedua, kaki mereka sudah sangat letih dan sudah tidak sabar untuk istirahat.
Kinanti sendiri dari barisan ini berjalan di paling belakang, sementara di depannya ada Sera barulah Hera, kemudian Angga, Juanda dan Rahman.
Kinanti terlihat berjalan sembari memandangi burung burung gereja yang bertengger di atas dahan pohon.
Dug!
Karena tidak memperhatikan jalan Kinanti tersandung dan tubuhnya terjatuh begitu saja di tanah.
"Awww.... isshh..!!" Kinanti merintih kesakitan sembari melihat telapak tangannya yang terluka.
"Hera, Sera tolong bantu aku ber--" mata Kinanti melebar dengan ekspresi tidak percaya ketika mendapati kelompoknya tidak ada di depannya.
Kinanti mengedarkan pandangannya ke segala arah, "Loh? Bukannya aku sudah melewati tempat ini?" Tanya Kinanti dalam hatinya dengan ekspresi panik.
Kini dia menyadari bahwa dirinya berada di tempat di mana dia menunjukan foto Gibran kepada teman temannya.
Matanya mengedar mengelilingi tempat ini, kemudian dia berucap, "Tidak salah lagi ini adalah tempat tadi!" Ucap Kinanti.
Kinanti langsung meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Sera, namun naas tidak ada sinyal di tempat tersebut.
Mau tidak mau Kinanti berlari ke bawah untuk turun dengan harapan menemukan pendaki lain atau mungkin bisa bertemu dengan kelompoknya.
Namun setelah beberapa saat Kinanti berlari dia malah mendapati keanehan yang lebih parah lagi, jalannya yang ia pijak bukanya menurun namun malah menanjak.
Kinanti berhenti sejenak, dia mengusap keringat yang mengalir di pelipisnya, "perasaan jalan turun ke arah ini? Namun kenapa malah tanahnya menanjak seolah mendaki kembali ke atas?" Tanya Kinanti dalam benaknya dengan ekspresi tidak percaya.
Kinanti kemudian membalikkan badannya dan berjalan ke arah sebaliknya, jalannya di arah sebaliknya memang menurun namun lama kelamaan jalanan tersebut juga menanjak seolah mendaki ke atas.
"Hah! Hah! Hah!" Nafas Kinanti memburu, dia benar benar panik pada saat ini, bagaimana tidak? Kini dia kembali ke tempat sebelumnya, tempat di mana dia memamerkan foto Gibran kepada teman temannya, tidak hanya itu Kinanti juga melihat langit di tempat ini sangat berbeda langit di tempat ini seolah hanyalah hamparan awan yang Tiada ujungnya, sama sekali tidak terlihat adanya langit biru di atas Kinanti.
Tanpa Kinanti sadari dia mulai meneteskan air matanya karena panik bercampur takut, "hiks... huhuhu!!!" Suara tangisan daru mulut Kinanti itulah yang di dengar oleh Wira ketika Wira hendak keluar dari Hutan Gunung Lawu.
Apa yang tidak di ketahui oleh Kinanti, seorang kakek tua dengan udeng di kepalanya dan tampak seperti bangsawan jawa terlihat mengamati Kinanti dari kejauhan.
Kakek tua itu terlihat berdiri dan menggelengkan kepalanya secara perlahan, "manusia memang makhluk yang bodoh, setelah di berikan pelajaran seperti ini dia masih saja belum sadar kesalahannya yang membuang sampah sembarang, padahal tinggal dia pungut saja sampah itu maka dia bisa kembali ke dunianya..." ucapnya.
Kakek tua itu menghela nafas panjang, kemudian dia berucap, "kita lihat apa yang akan kamu lakukan selanjutnya? Apakah kamu akan menerima nasibmu dan hanya bisa menangis di tempat ini?"
"Atau justru kamu akan menyadari kesalahanmu dan mengambil sampah itu." Imbuhnya lagi dengan dingin.