Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Pagi datang dengan kabut tebal khas Pangalengan. Stella bangun siang, tubuh masih sakit tapi mata sudah lebih jernih. Anya membawakan bubur dan teh hangat, duduk menemani sambil Stella makan pelan-pelan, setiap suapan seperti perjuangan.
Elang menunggu sampai Stella selesai makan sebelum bertanya. "Lo... lo siap cerita apa yang terjadi?"
Stella mengangguk, meletakkan mangkuk. Ia meraih tas laptop yang bahkan saat tidur tidak pernah lepas dari jangkauan, membukanya dengan tangan yang masih sedikit gemetar.
"Setelah saya kirim email ke Bapak, mereka masuk paksa. Lima orang. Bukan polisi—preman bayaran kayaknya. Mereka cari laptop saya, tapi saya udah sembunyiin di bawah kasur dan keluarin laptop kantor yang kosong. Mereka ambil laptop itu, pikir mereka menang."
"Terus gimana lo kabur?"
"Mereka bawa saya ke mobil. Mau dibawa entah kemana. Tapi pas macet di lampu merah, saya buka pintu dan lari. Mereka kejar tapi jalanan rame, saya masuk gang-gang yang mereka nggak hafal. Saya orang Jakarta asli, Pak. Saya tau shortcut yang bahkan Google Maps nggak tau." Senyum tipis muncul di bibir pecahnya—senyum yang menyakitkan tapi bangga.
Elang merasakan rasa hormat yang luar biasa pada gadis di depannya. "Lo luar biasa, Stella. Lo tau itu kan?"
"Saya cuma ngelakuin yang bener, Pak." Stella membuka laptop, mengetik password—layar menyala menampilkan desktop penuh folder. "Dan ini hasilnya. Ini kenapa saya bertahan."
Ia membuka folder pertama. Video. Tanggal: 15 Januari, dua tahun lalu—setahun sebelum Elang ditangkap.
Dalam video itu, rekaman CCTV yang diambil dari sudut atas ruang meeting—ruang meeting Garuda Investama yang sangat Elang kenal, meja panjang tempat ia dulu pimpin rapat dengan tim. Tapi sekarang yang duduk di kepala meja adalah Brian. Dan di seberangnya, pria Asia dengan kacamata bulat—Mr. Lim.
"Main-in volume, Pak," Stella berkata pelan.
Elang memutar volume ke maksimal. Suara Brian terdengar jelas—suara yang dulu Elang anggap suara sahabat, sekarang terdengar seperti ular yang mendesis.
"Jadi kita sepakat, Mr. Lim. Lo dateng ke Jakarta, pura-pura jadi investor dari SilverStone. Gue kasih lo semua detail perusahaan. Lo buat seolah-olah ada merger. Gala dinner besar. Dan pas acara puncak..." Brian tertawa—tertawa yang membuat bulu kuduk Elang berdiri. "Polisi dateng. Bukti palsu udah gue siapkan. Elang dikurung, gue ambil alih perusahaan. Bersih."
"Dan uang saya?" Suara Mr. Lim—atau siapapun pria itu sebenarnya—dingin dan bisnis.
"Lima miliar. Cash. Ke rekening Cayman lo. Begitu Elang masuk penjara, uang ditransfer. Deal?"
"Deal."
Video berhenti.
Ruangan terdiam. Elang menatap layar dengan mata yang tidak berkedip, rahang terkunci begitu keras sampai gigi bergemeretak. Tangannya mengepal di pangkuan, kuku menggali telapak tangan sampai meninggalkan tanda bulan sabit merah.
"Ada lagi, Pak." Stella membuka folder lain. Chat screenshot—WhatsApp dengan nama kontak "Z".
Elang tidak perlu ditanya untuk tahu siapa Z itu. Zara.
Chat tertanggal lebih awal lagi—dua tahun sebelum penangkapan. Sebelum pertunangan. Sebelum semua janji cinta palsu itu.
**Brian:** *Elang mulai curiga gue ambil dana investor buat proyek samping. Gimana?*
**Z:** *Tenang. Gue pegang dia. Dia terlalu cinta sama gue buat curiga gue.*
**Brian:** *Lo yakin? Gue butuh dia buta total minimal setahun lagi buat siapkan jebakan.*
**Z:** *Easy. Gue tunangin dia. Buat dia merasa aman. Pria jatuh cinta itu bodoh, bro. Mereka lihat apa yang mereka mau lihat.*
**Brian:** *Hahaha. Lo jahat. That's why gue suka lo.*
**Z:** *Kita jahat berdua. Power couple kan? 😉*
Elang berhenti membaca. Layar laptop menjadi blur karena tangannya gemetar terlalu keras. Atau mungkin karena matanya penuh dengan sesuatu yang ia tolak untuk akui sebagai air mata.
"Mereka... mereka rencanakan ini sejak lama," suaranya keluar serak, hampir tidak terdengar. "Setahun sebelum pertunangan. Dua tahun sebelum penangkapan. Mereka mainkan aku seperti... seperti boneka."
"Pak—" Stella mulai, tapi Elang mengangkat tangan, meminta diam sejenak karena jika ia mendengar simpati sekarang, ia akan benar-benar pecah.
Ia bangkit dari kursi, berjalan ke jendela. Menatap kebun teh di luar yang tenang dan hijau—begitu kontras dengan badai yang mengamuk di dadanya. Tangannya menekan kaca jendela, mendinginkan telapak yang terasa terbakar.
Di belakangnya, Anya dan Stella bertukar pandang khawatir. Anya berdiri perlahan, melangkah mendekati Elang tapi tidak terlalu dekat—memberi ruang tapi juga kehadiran.
"Akang..." suaranya pelan, hati-hati.
"Gue pikir..." Elang berbicara tanpa menoleh, suara datar dengan cara yang lebih menakutkan dari teriakan. "Gue pikir Brian khilaf. Gue pikir dia tergoda sama kesempatan. Gue pikir Zara... gue pikir dia lemah, dia takut, dia milih yang aman. Tapi ternyata bukan. Ini bukan keputusan dadakan. Ini bukan kesalahan. Ini rencana. Rencana yang disusun dengan hati-hati, dengan detail, dengan... dengan kesabaran."
Ia akhirnya menoleh, dan Anya mundur selangkah—bukan karena takut, tapi karena terkejut. Mata Elang yang biasanya hangat atau kosong atau lelah, sekarang dingin. Dingin dengan cara yang membuat suhu ruangan terasa turun beberapa derajat. Mata predator yang sudah memutuskan untuk berburu.
"Mereka mainkan gue selama bertahun-tahun. Mereka ketawa sambil merencanaain kejatuhan gue. Mereka tidur nyenyak sambil gue membusuk di penjara." Suaranya tetap datar, tapi setiap kata dipilih dengan presisi pisau bedah. "Dan gue di sini, di Pangalengan, belajar jadi orang baik lagi. Belajar potong bawang. Belajar sholat dengan tulus. Sementara mereka di Jakarta, hidup mewah dari uang yang mereka curi dari gue."
"Akang..." Anya mencoba lagi, tapi entah kenapa kata-kata tidak datang. Karena pria di depannya sekarang bukan mas yang kemarin minta ajarin masak. Bukan mas yang nangis karena bawang. Ini seseorang yang berbeda—atau mungkin, seseorang yang selama ini tersembunyi dan baru sekarang muncul ke permukaan.
"Teh Stella," Elang berkata tanpa mengalihkan tatapan dari Anya, "lo punya semua bukti ini. Lo bisa bawa ke polisi. Ke media. Ke pengadilan. Lo bisa menang secara legal."
"Tapi Pak—"
"TAPI," Elang memotong, dan kali ini suaranya keras—keras dengan amarah yang sudah tiga tahun ditekan, sudah tiga tahun difermentasi sampai menjadi sesuatu yang lebih pekat dan lebih berbahaya dari kemarahan biasa, "legal itu lambat. Legal itu mahal. Legal itu bisa dibeli sama orang kayak Brian. Dan gue udah ngerasain gimana hukum itu berpihak pada yang punya uang."
Ia berbalik menghadap jendela lagi, tangan mengepal di sisi tubuh. "Mereka harus bayar. Bukan cuma uang. Bukan cuma penjara. Mereka harus merasakan apa yang gue rasakan: kehancuran total. Kehilangan segalanya. Jatuh dari puncak ke dasar dengan kecepatan yang bikin tulang patah."
Keheningan mengisi ruangan. Stella menatap laptopnya dengan wajah pucat. Anya menatap punggung Elang dengan mata yang berkaca-kaca—bukan karena takut, tapi karena sedih. Sedih melihat pria yang sudah mulai sembuh, sekarang kembali digigit racun dendam.
"Akang," Anya akhirnya berbicara, suara gemetar tapi berusaha stabil, "balas dendam teh moal nyembuhin Akang. Cuma bakal nambahan hate yang beracun."
Elang diam lama. Begitu lama sampai Anya pikir ia tidak akan menjawab. Tapi akhirnya, ia berbicara—pelan, dingin, dan sangat, sangat yakin:
"Mungkin. Tapi kadang, beracun itu lebih baik daripada terus jadi korban."
Dan Anya tahu, dengan kepastian yang menyakitkan, bahwa pria yang memotong bawang dengan canggung kemarin sudah mati. Yang tersisa adalah sesuatu yang lebih gelap, lebih tajam—sesuatu yang dibentuk oleh penjara, pengkhianatan, dan bukti tak terbantahkan bahwa kadang, dunia memang kejam pada orang baik.
bersambung