Di hari pernikahannya, Andi Alesha Azahra berusia 25 tahun, dighosting oleh calon suaminya, Reza, yang tidak muncul dan memilih menikahi sahabat Zahra, Andini, karena hamil dan alasan mereka beda suku.
Dipermalukan di depan para tamu, Zahra hampir runtuh, hingga ayahnya mengambil keputusan berani yaitu meminta Althaf berusia 29 tahun, petugas KUA yang menjadi penghulu hari itu, untuk menggantikan mempelai pria demi menjaga kehormatan keluarga.
Althaf yang awalnya ragu akhirnya menerima, karena pemuda itu juga memiliki hutang budi pada keluarga Zahra.
Bagaimanakah, kisah Zahra dan Althaf? Yuk kita simak. Yang gak suka silahkan skip!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membalas Mantan
Pagi itu Zahra turun tangga dengan tergesa-gesa. Ia sudah mengenakan celana jeans biru, jaket kulit hitam, dan rambut cokelatnya dibiarkan tergerai. Tanpa menengok ke dalam rumah, ia langsung berseru dari depan pintu.
“Pa, Ma! Ara keluar dulu, ya!”
Di ruang makan, Papa Sultan, Mama Rani, dan Althaf yang sedang sarapan serempak menoleh.
Papa Sultan langsung mengerutkan kening. “Ara! Minta izin dulu sama suamimu. Ingat, kau sudah menikah.”
Langkah Zahra terhenti seketika. Ekspresi wajahnya berubah masam, seperti anak kecil yang baru ditegur. Ia menghela napas panjang, lalu berjalan ke meja makan dengan langkah paling malas yang ia punya.
Ia berdiri tepat di depan Althaf, memegangi strap tasnya, lalu berkata dengan santai, “Pak KUA, aku pergi dulu, ya. Assalamualaikum, Pak KUA.”
Papa Sultan memukul ringan meja. “Ara! Dia itu suamimu. Bukan Pak KUA. Ganti panggilannya.”
Zahra memutar bola matanya, kesal setengah mati. Namun sebelum ia membalas, Althaf yang sejak tadi hanya diam menatapnya, akhirnya berbicara.
“Tidak apa-apa, Pa. Wa’alaikumussalam. Pergilah!”
Zahra langsung menepuk tangan, bahagia bukan main. “Nah! Dengar, kan? Althaf aja enggak marah, kok, Pah!”
Papa Sultan hanya menggeleng pasrah.
“Ya sudah tapi cium tangan suamimu dulu sebelum pergi.”
Zahra langsung mencebik. “Memangnya harus?”
Papa Sultan menatapnya serius. “Ya iyalah. Sekarang tanggung jawab Papa sudah berpindah ke Althaf.”
Zahra menghela napas berat, seolah bebannya seberat dunia. Namun akhirnya ia mengulurkan tangan, lalu mencium punggung tangan Althaf dengan malas-malas.
Mama Rani tidak bisa menahan diri untuk menggoda. “Jangan cium kening lagi, ya.”
Zahra sontak memerah. “Maa!”
Tawa kecil langsung terdengar dari semua yang menyaksikan. Zahra buru-buru menarik tasnya.
“Aku pergi dulu!” serunya sebelum berlari keluar rumah, hampir tersandung karpet.
Pintu tertutup, menyisakan gelak tawa kecil dari Papa dan Mama, serta senyum kecol di sudut bibir Althaf.
*
*
Brak!
Sebuah meja berguncang hebat.
“Apa?!”
Suara keempat sahabat Zahra, menggema di seluruh kafe anak muda itu, membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran.
Zahra hanya bisa menutup wajahnya, malu sekaligus pasrah telah menceritakan drama pernikahan darurat yang dialaminya kemarin.
Anita mengepalkan kedua tangannya, wajahnya merah padam. “Kurang ajar banget tuh Reza sama Andini! Pengen kujedotin kepala mereka ke tembok, biar benjiol sekalian!”
Ayu langsung mengangguk keras. “Bener! Bikin gedek! Itu juga orang tuanya Reza kolot banget. Emang apa salahnya beda suku? Selama enggak beda keyakinan, ya sah-sah aja. Banyak kok yang beda suku sampai akhir hayat tetap bahagia.”
Ia menunjuk dirinya sendiri. “Kakakku sama kakak iparku aja beda suku, tetap langgeng tuh!”
Iind ikut menyamber, suaranya meninggi.
“Aku dari awal udah curiga sama dua orang itu! Dan ternyata apa? Mereka selingkuh! Teman laknat! Mana mereka mutusin saat hari akad lagi, ih geram.”
Semua mengangguk penuh emosi.
Salsa, yang paling kalem, justru menggenggam tangan Zahra dengan lembut. “Tapi kamu harusnya bersyukur, Ra. Allah tunjukin sebelum kalian nikah. Dan untungnya kamu nikah sama Pak KUA yang cakep itu, bukan si Reza.”
Zahra mencebik. “Cakep sih tapi tetep aja kaget, Salsa.”
Anita mencondongkan tubuh, menatap Zahra tajam. “Terus kamu mau diem aja? Mereka udah bikin kamu malu, loh!”
Yang lain serempak mengangguk, langsung mengompori.
Salsa menunjuk Zahra kuat-kuat. “Ara … masa anak Badung, si pembuat onar waktu SMA dan kampus cuma diem disakitin?”
Iind langsung mengangkat tangan seperti orator. “Ra, kami yo setuju kalo kamu kasih balasan ke mereka. Karma itu lama. Kita kasih karma instan aja sekalian!”
Ayu menggebrak meja kecil mereka sambil mengangguk cepat. “Setuju! Setuju banget! Ara harus move dan kasih pelajaran!”
Zahra terdiam beberapa detik. Matanya sempat meredup, luka semalam masih jelas terasa. Lalu bibirnya membuka, “Ya … enggak mungkin lah aku enggak kasih mereka pelajaran.”
Tiba-tiba matanya berkilat penuh dendam, seperti mode gangster aktif.
Ia baru mau bicara lagi ketika Anita tiba-tiba menatap ke arah sekelompok anak SMA di meja sebelah.
Anak-anak itu sedang menonton drama Korea The Penthouse 2 di laptop.
Mata Anita langsung berbinar terang, seperti menemukan wahyu dari langit. “Guys! Aku punya ide!”
Semua menoleh dengan cepat. “Apa?”
Anita menunjuk layar laptop itu dramatis.
“The Penthouse 2.”
Satu detik hening.
Kelimanya saling pandang seperti pasukan mafia yang baru mendapat misi rahasia.
Dan kemudian lima gadis itu tersenyum menyeringai muncul bersamaan.
Iind berdiri sambil menenteng tasnya, penuh semangat bagai jenderal perang. “Ra! Siapkan helikopter! Kita berangkat sekarang!”
Zahra memelototkan mata.
“Helikopter dari mana, goblok?”
Iind mengibaskan tangan. “Bapakmu kan orkay! Ya mintalah! Yang penting kita otw! Kebetulan mereka lagi ngunduh mantu di rumahnya Reza.” Sambil memperlihatkan ponselnya, status Andini beberapa waktu lalu.
Tangan Zahra mengepal kuat, Andini bahkan tidak merasa bersalah sama sekali mengupload foto pernikahan yNg habis rebutan itu.
“Aku juga pengen kasih hadiah untuk mereka,” kata Zahra semakin semangat membara.
Lima perempuan itu berdiri bersamaan.
Anita menepuk bahu Zahra. “Ayo, Ra. Mari kita ajarkan bagaimana rasanya menyakiti orang yang salah.”
Zahra mengangkat dagu, matanya menyipit penuh tekad. “Ayo.”
*
*
Di acara ngunduh mantu yang meriah itu, deretan kursi tamu tersusun rapi di halaman rumah keluarga Reza. Tenda terbentang luas.
Hiasan janur kuning melengkung di gerbang masuk, dan aroma masakan tradisional tercium dari dapur.
Musik gamelan pelan mengisi udara, membuat suasana terlihat anggun sekaligus hangat.
Di antara keramaian itu, Mirna, ibu Reza, tampak mondar-mandir dengan senyum lebar. Ia mengenakan kebaya hijau lengkap dengan selendang emas, berjalan menyambut setiap tamu yang datang.
Seorang ibu paruh baya menghampirinya sambil menepuk lengan Mirna ringan.
“Ya ampun, Jeng Mirna,” katanya dengan nada penuh rasa penasaran. “Menantunya kok beda yo, dengan yang kemarin kami lihat? Yang kemarin itu sopo namanya? Zahra, yo?”
Senyum Mirna kaku sesaat, sebelum ia mengibaskan tangannya anggun.
“Ah, yang itu,” ujarnya meremehkan. “Ora cocok. Kalian tahu sendiri to, beda suku. Dia tidak paham adat istiadat keluarga kita, sama sekali.”
Tamu itu mengangguk-angguk seolah mengerti. Dua ibu lain yang berdiri di sekitar mereka ikut mendekat, menyimak dengan penuh minat.
Mirna melanjutkan dengan nada sok tahu, “Lagipula, kalau dipaksakan, paling juga ujung-ujunge yo cerai. Itu wes sering terjadi. Nenek-nenek kita dari dulu yo bilang ngono.”
Salah satu temannya langsung menimpali, “Benar juga yo, Jeng. Memang lebih baik mencari menantu yang sejalan pemikiran dan budaya kita.”
Yang lain ikut menyahut, “Iyo, Mirna sudah mengambil keputusan sik tepat. Toh, saiki delok Reza terlihat lebih cocok sekali karo Andini.”
Mirna tersenyum semakin lebar. Ada kesombongan dalam sorot matanya. “Pas banget gawe Reza.” katanya bangga. "Andini itu anak baik, sopan karo ngerti carane menghormati keluarga. Tepat sekali untuk Reza."
Mereka semua tertawa kecil, suara yang terdengar lebih seperti sindiran terselubung daripada candaan tulus. Mirna menengok ke arah pelaminan, di mana Reza dan Andini sedang berfoto dengan para tamu.
Tatapannya berbinar puas, seolah semua berjalan persis seperti yang ia rencanakan.
Acara foto bersama baru saja dimulai. Reza dan Andini berdiri di pelaminan dengan senyum bahagia, sementara para tamu berbaris menunggu giliran. Di tengah suasana yang ramai itu, tiba-tiba terdengar suara berdengung dari kejauhan.
Awalnya terdengar pelan, lalu semakin keras dan suaranya semakin dekat.
Beberapa tamu menoleh ke langit. Seorang bapak-bapak memicingkan mata. “Eh … itu suara apa, ya?”
Suara baling-baling helikopter makin jelas terdengar, menggulung udara kering musim kemarau. Debu dan pasir mulai beterbangan, membuat beberapa ibu-ibu menutup wajah dengan selendang.
Mirna yang tadinya tersenyum manis langsung mengerutkan kening. “Loh … loh … apa ini?” serunya panik ketika selendang emasnya ikut berkibar liar.
lagian altaf kalau pisah sama zahra juga emang nya altaf mau sama anak situ?🤔
ortu nya Zahra kapan datang sih ke kampung Altaf, biar warga kampung pada mingkem
heran deh, bikin emosi aja😡
kalau tau identitas Zahra, yakin deh tu Mak Mak pada melongo
🤦🤦