NovelToon NovelToon
Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri
Popularitas:395
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”

Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.

Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 — Surat dari Masa Lalu

Malam tiba di SMA Adhirana, membawa serta udara dingin dan keheningan yang tebal. Setelah Zio dibawa ke UKS dalam kondisi setengah sadar—terus menggumamkan tahun 2019 dan ‘loker yang tertawa’—Naya dan Reina bersembunyi di toilet perempuan Gedung Lama.

Reina menyalakan lampu senter ponselnya, menyorot ke amplop tua di tangannya. Ia harus membaca ulang surat dari Aksa.

Naya berdiri di pintu, bertindak sebagai pengawas yang gugup. “Reina, Daren pasti lagi cari kamu. Dia kayaknya nggak mau kita ke ruang bawah tanah.”

“Jelas dia nggak mau,” balas Reina, matanya fokus pada tulisan tangan Aksa yang tergesa-gesa.

Reina kembali membaca bagian terpenting:

Jangan percayai Daren. Dia tahu lebih banyak, tapi dia menyimpan rahasia terbesar. Rahasia itu bukan tentang lantai. Tapi tentang siapa yang seharusnya menjadi kurban.

Kuncinya ada di tempat lift pertama dibangun. Di tempat yang paling tua. Tempat yang ada di bawah tanah sekolah.

“Kenapa Kak Aksa bilang kuncinya ada di ruang bawah tanah, padahal Daren bilang itu cuma gudang tua?” gumam Reina.

Naya berbisik, “Setiap orang di sekolah ini bilang Lantai Tujuh itu nggak ada. Tapi ternyata ada. Kalau Daren bilang ruang bawah tanah nggak penting, berarti itu sangat penting.”

Reina berpikir sejenak. Daren telah menjadi korban dari Lantai Tujuh—kakaknya hilang di sana. Daren adalah Penjaga Reputasi. Ia ingin melupakan dan menutupinya. Tapi kenapa Aksa memperingatkan agar tidak mempercayainya, dan menuduhnya menyimpan ‘rahasia terbesar’?

“Naya, kamu bilang Daren punya kakak?” tanya Reina.

“Iya. Kakaknya hilang setahun sebelum Kak Aksa melakukan eksperimennya. Makanya Daren trauma. Dia nggak pernah ngomongin kakaknya,” jelas Naya.

Reina membuka jurnal Aksa dan membalik ke halaman terakhir yang berisi nama Daren dilingkari merah. Ia mencari halaman-halaman awal, sebelum Aksa memulai eksperimennya.

Di sana, ia menemukan beberapa catatan pengamatan:

Awal Eksperimen.

Hipotesa: Energi Residual Psikis. Rasa bersalah yang terakumulasi siswa Adhirana (Perfeksionisme, Kecurangan, Trauma). Lokasi Terbaik: Ruang Void Tersier di Gedung Lama. Membutuhkan ‘Pemicu’ yang sensitif terhadap frekuensi emosional tinggi.

Pemicu yang potensial: Daren Kurniawan. Terlalu banyak rasa bersalah dan trauma karena kakaknya. Akses ke Gedung Lama mudah.

Jurnal itu tidak menyebutkan nama kakak Daren, hanya kakaknya. Tapi Daren yang menjadi pemicu.

“Daren bukan penjaga rahasia, Naya. Daren adalah kunci hidupnya,” kata Reina, nadanya penuh kesadaran yang dingin.

“Maksudnya?”

“Lantai Tujuh ditenagai oleh rasa bersalah. Dan siapa yang punya rasa bersalah paling dalam di sini? Daren. Kakaknya hilang di sana. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan kakaknya. Rasa bersalah itu membuat Lantai Tujuh tetap stabil, tetap ‘ada’,” jelas Reina, menyatukan kepingan-kepingan itu.

Itu sebabnya Daren terlihat sempurna—dia harus menekan rasa bersalahnya agar lantai itu tidak merusak realitas.

“Tapi kalau Daren kunci hidup, kenapa Kak Aksa harus repot-repot pakai void? Kenapa nggak pakai Daren aja?” Naya bingung.

Reina menutup jurnal itu. “Karena Aksa nggak mau Lantai Tujuh menjadi tempat permanen. Aksa ingin Lantai Tujuh menjadi Mesin Waktu pribadi untuk memperbaiki kesalahan. Tapi Lantai Tujuh punya kehendaknya sendiri. Dan dia butuh Daren sebagai generator.”

Tiba-tiba, pintu toilet terbuka dengan bunyi gesekan keras.

Daren berdiri di ambang pintu, seragamnya kusut. Ia terlihat berlarian. Wajahnya tidak lagi tenang. Ia marah.

“Aku tahu kalian akan pergi ke sana,” kata Daren, suaranya rendah dan mengancam. “Kembalikan surat itu, Reina.”

Reina mundur selangkah, melindungi Naya di belakangnya. “Kenapa kamu takut aku ke ruang bawah tanah, Daren? Apa yang kamu sembunyikan di sana?”

“Aku menyembunyikan masa laluku! Aku menyembunyikan kebodohanku! Aksa itu gila! Dia merusak tempat ini!” Daren berteriak, amarahnya akhirnya meledak.

“Aksa bilang dia yang merusak! Tapi dia bilang jangan percaya kamu!” Reina membalas. “Kamu menyembunyikan apa, Daren? Rahasia terbesar apa?”

Daren terdiam, matanya terpaku pada amplop di tangan Reina. Ia tampak seperti akan menangis, tapi ditahan oleh tembok es yang tebal.

“Rahasia terbesarnya… Aku bukan yang pertama. Kakakku bukan yang pertama hilang,” kata Daren.

Reina dan Naya terdiam.

“Lantai Tujuh sudah ada sejak kakekku mendirikan sekolah ini. Itu adalah ‘ruang hukuman’ yang tidak terlihat, untuk siswa-siswa yang mencoreng nama baik keluarga mereka. Kakakku hanya salah satu korbannya,” aku Daren, suaranya pahit. “Aksa hanya menemukan mesin yang sudah berjalan, dan mencoba memanipulasi power source-nya.”

“Jadi, kamu berbohong saat bilang sekolah ini cuma enam lantai karena reputasi?” tanya Reina.

“Aku berbohong karena itu yang harus aku lakukan! Aku tahu Lantai Tujuh akan mengambil apa pun yang aku sayangi! Aku harus membuatnya tertutup. Aksa ingin membukanya! Dia ingin memperbaikinya, dia ingin aku mengakui...Aku yang membunuh kakaknya.”

Reina membeku total. Naya terkesiap.

“Apa?”

Daren menatap Reina dengan tatapan yang dipenuhi rasa sakit dan rasa bersalah tak terhingga.

“Aku cemburu pada Aksa. Aku cemburu karena kakaknya lebih pintar dari aku, lebih disayang. Aksa bilang Lantai Tujuh bisa mengubah masa lalu. Dia bilang, jika aku mengakui rasa bersalahku, Lantai Tujuh akan menukar jiwaku dengan diriku yang lain, yang tidak melakukan kejahatan itu,” Daren meremas tinjunya. “Dia ingin aku mengakui kejahatan terbesarku.”

“Aksa bukan pembunuh. Dia mencoba membantumu,” kata Reina, suaranya lemah.

Daren menyeringai. “Tentu saja dia bukan pembunuh. Akulah yang membunuh. Aku mendorong kakaknya di koridor Gedung Lama—kakakku sendiri—karena aku muak dengan perfeksionismenya! Dan lantai itu mengambilnya!”

Daren menghela napas, rasa bersalah itu akhirnya tumpah.

“Aksa bilang: Kunci untuk menutup Lantai Tujuh bukan di ruang bawah tanah. Kunci untuk menutup Lantai Tujuh adalah pengakuan dosa yang sesungguhnya.”

Reina memejamkan mata. Aksa sengaja menjebaknya. Aksa ingin Daren mengakui kejahatan terbesarnya. Dan Lantai Tujuh akan melepaskan Aksa, menukar Daren dengan dirinya yang lain di masa lalu.

Tiba-tiba, Reina ingat petunjuk Aksa: Kuncinya ada di tempat lift pertama dibangun. Di tempat yang paling tua. Tempat yang ada di bawah tanah sekolah.

“Ini jebakan ganda, Daren,” kata Reina, membuka mata. “Aksa nggak mau kamu ngaku di sini. Dia mau kamu ngaku di sana. Di depan Exit-nya.”

“Aku nggak peduli!” Daren menjerit putus asa. “Aku nggak akan ke sana lagi. Aku nggak mau jadi kurban lagi!”

“Kita harus ke sana. Ini satu-satunya cara menyelamatkan Zio dan kakakku,” kata Reina, ia mencengkeram lengan Naya. “Ayo, Naya. Kita cari lift pertama itu.”

Reina dan Naya berlari keluar dari toilet, melewati Daren yang kini hanya berdiri membeku di ambang pintu, dilumpuhkan oleh rasa bersalah yang baru saja ia akui.

Mereka berlari menuju pintu tua berkarat di ujung koridor Gedung Lama. Pintu yang menuju ke bawah tanah.

“Reina! Jangan!” Daren berteriak dari kejauhan. “Itu bukan kuncinya! Itu adalah ruang pemurnian! Kau akan jadi kurban!”

Namun, Reina tidak mendengarkan. Ia telah melihat ketakutan yang sesungguhnya di mata Daren.

Daren takut pada Aksa, takut pada pengakuannya, dan takut pada Lift Pertama.

Reina tahu, jika Daren sangat takut pada tempat itu, maka di sanalah kuncinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!