Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Bab 1 — Sinyal yang Hilang

Hujan di Lunatera City memang selalu terasa berbeda. Bukan sekadar air yang jatuh, melainkan semacam selimut tipis berwarna abu-abu yang membuat semua suara di bawahnya terdengar melankolis dan jauh.

Pagi itu, di depan gerbang megah SMA Adhirana—sekolah paling elit dengan tembok yang katanya terbuat dari uang—Reina Alyssa berdiri, membiarkan rintik hujan membasahi blazer barunya. Jaket itu masih terasa asing, baunya pun masih bau toko. Semua di sini asing.

Termasuk tatapan mata para siswa lain yang melewatinya.

Sejak Reina masuk ke dalam aula utama yang berkilauan, ia merasa sedang melewati sebuah pemeriksaan tak kasat mata. Mereka tidak memandangnya karena ia siswi baru yang cantik, atau siswi pindahan dari sekolah biasa. Bukan. Tatapan itu terasa lebih dalam, lebih licik, seolah mereka tahu satu hal yang ia sembunyikan.

Mereka tahu tentang Kak Aksa.

Reina meremas tali ranselnya, mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanya paranoia khas siswi pindahan. Kakaknya, Aksa, menghilang dua tahun lalu. Terakhir terlihat di sekolah ini. Polisi bilang Aksa kabur, orangtua Reina bilang Aksa berulah, tapi Reina tahu kakaknya tidak akan pernah meninggalkannya tanpa kata perpisahan.

Tepat saat ia hendak naik tangga ke lantai tiga, tujuannya—ruang kelas 11 IPA 3—ia melihatnya. Di sudut koridor yang sedikit gelap, ada dua buah lift tua yang terbuat dari besi kuningan kusam. Lift itu terlihat tidak sesuai dengan desain sekolah yang modern dan minimalis. Seperti sisa dari masa lalu yang sengaja dibiarkan.

Reina memilih lift yang paling dekat, menyerah pada kakinya yang sudah pegal membawa semua buku pelajaran.

Di dalam lift, suasananya senyap, hanya ada Reina dan pantulannya di cermin buram. Ia menekan tombol ‘3’.

Tapi sebelum lift sempat bergerak, Reina melihat ke deretan tombol di atas tombol ‘6’. Ada satu tombol lagi. Kecil, sedikit berkarat, tidak diberi label apa pun. Tombol itu tampak seperti kesalahan desain, atau tombol cadangan yang gagal.

Dan saat itu juga, tombol yang tidak berlabel itu menyala. Hanya satu detik. Merah redup, persis seperti nyala api rokok yang hampir mati.

Seketika, perut Reina terasa melilit. Bukan karena takut, melainkan karena naluri dingin yang langsung menusuk ke tulang. Ia menoleh cepat ke tombol-tombol lain, tapi hanya ‘3’ yang menyala stabil. Tombol tak berlabel itu kini gelap total, seolah tidak pernah ada.

Lift mulai bergerak naik, bunyi derit kabelnya terdengar seperti erangan tua.

Hanya imajinasiku.

Tapi Reina tidak bodoh. Ia seorang yang skeptis dan logis. Matanya tidak pernah salah.

Saat pintu lift terbuka di lantai 3, Reina melihat sekelompok siswi berbisik-bisik sambil menunjuk ke arahnya. Mereka tidak menyembunyikan kejutannya. Ekspresi mereka adalah campuran rasa kasihan, ketakutan, dan rasa ingin tahu yang tidak pantas.

Ia melangkah keluar. Lantai 3 ini terang benderang, aroma pembersih lantai dan pengharum ruangan bercampur menjadi bau khas sekolah yang bersih.

“Oh, itu dia. Anak yang kakaknya...” Bisikan itu terputus begitu Reina menoleh.

Ia tidak peduli pada pandangan itu, ia hanya peduli pada satu hal: mengapa mereka bertingkah seolah ia adalah hantu yang kembali?

“Reina Alyssa?”

Seorang gadis bertubuh mungil dengan rambut diikat dua, Naya, menyambutnya dengan senyum canggung. “Aku Naya. Aku yang akan membantumu keliling. Aduh, maaf, guru piket lagi rapat.”

Naya terlihat polos dan sedikit penakut. Reina menyambut uluran tangannya dengan dingin. “Terima kasih.”

“Santai aja. Eh, kamu mau ke ruang administrasi dulu? Ngambil denah sekolah?” tanya Naya sambil melihat ke bawah, menghindari kontak mata.

“Sudah. Tapi di denah itu cuma ada enam lantai,” jawab Reina, suaranya datar.

Naya terdiam. Senyumnya menghilang. Ia lalu tertawa kecil, tawa yang terdengar seperti ketakutan yang disembunyikan.

“Ya... memang enam lantai, Reina. Sekolah kita cuma enam lantai. Memangnya kamu mau cari lantai apa?”

Reina menatap Naya lurus-lurus. “Lantai tujuh.”

Naya menelan ludah. Wajahnya pucat.

“Aku nggak pernah dengar itu, deh,” katanya, suaranya sedikit gemetar. “Mungkin itu bagian gedung lama yang nggak dipake? Sudah ya, yuk ke kelas. Sudah mau bel.”

Naya berbalik dengan cepat, seolah ingin kabur. Reina bisa merasakan betapa takutnya gadis ini. Rasa takut yang tulus.

Pelajaran pertama adalah Sejarah. Sepanjang dua jam pelajaran yang membosankan itu, Reina hanya fokus pada satu hal: mencari tahu lebih banyak. Ia tidak bisa fokus pada Perang Dunia, sementara perang yang sebenarnya ada di kepalanya.

Saat bel istirahat berbunyi, seorang cowok dengan kaus klub jurnalistik—rambutnya gondrong tapi rapi, matanya lincah seperti musang—langsung menghampiri meja Reina.

“Reina Alyssa?” Cowok itu menjulurkan tangan. “Aku Zio Hartanto. Klub Jurnalistik. Dan aku dengar kamu lagi cari ‘lantai yang tidak ada’?”

Reina menatap Zio dengan curiga. “Kamu dengar dari Naya?”

Zio tertawa kecil. “Naya itu ember bocor, tapi instingku juga tajam. Cerita-cerita misteri gini itu konten emas buat klub. Jujur aja, aku udah lama penasaran sama rumor itu. Lift di Gedung Lama, kan? Tombol ketujuh yang nyala sendiri?”

Reina terkejut. “Jadi kamu tahu tombol itu?”

“Semua anak lama tahu, tapi nggak ada yang berani bahas. Katanya, kalau kamu sebut-sebut, kamu bakal didatangi oleh ‘penjaga reputasi’,” Zio berbisik, nadanya dibuat-buat menyeramkan.

“Siapa?”

“Ketua OSIS. Daren Kurniawan. Si Pangeran Sekolah yang Terlalu Sempurna.”

Reina memutar mata. Drama sekolah elit memang selalu berlebihan.

“Aku nggak tertarik sama drama Pangeran Sekolah,” kata Reina. “Aku cuma mau tahu, ada yang pernah lihat lantai itu?”

Zio menyandarkan badannya ke meja Reina, matanya berubah serius. “Aku belum pernah lihat sendiri. Tapi aku punya arsip lama. Foto-foto CCTV. Mau lihat?”

Hati Reina berdebar kencang. Ini adalah sinyal pertama, bukti nyata dari orang luar.

“Di mana?”

“Ruang Jurnalistik. Tapi malam ini, setelah sekolah. Lebih aman,” Zio berbisik, lalu menyeringai. “Anggap aja ini misi rahasia pertama kita, partner.”

Reina mengangguk. Setidaknya, sekarang ia punya sekutu. Sekutu yang ceroboh dan gila konten, tapi ia tidak punya pilihan.

Saat Reina membereskan tasnya sebelum pulang, ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar pelan. Sebuah notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak ia kenal. Nomor itu hanya berupa deretan angka acak.

Awalnya Reina mengabaikannya, mengira itu salah kirim.

Tapi ia membaca teksnya. Jantungnya langsung jatuh ke lantai.

Teks itu hanya terdiri dari satu kalimat pendek:

“Kakakmu masih di lantai itu.”

Udara di sekeliling Reina mendadak terasa dingin. Keringat dingin menetes di punggungnya. Ia menoleh ke pintu kelas, ke koridor yang kini mulai sepi. Ia mencoba mencari-cari. Siapa? Siapa yang tahu tentang Aksa?

Reina menekan tombol panggil di nomor itu. Tersambung. Tapi tidak ada yang mengangkat. Hanya suara “tut... tut... tut...” yang berulang-ulang, terdengar seperti denyut waktu yang melambat.

Tiba-tiba, suara itu berubah. Dari speaker ponselnya, yang terdengar bukan lagi nada panggil, melainkan suara statis yang berderak. Lalu, suara itu menghilang, digantikan oleh... bunyi derit besi berkarat.

Bunyi yang sama persis seperti yang ia dengar dari lift Gedung Lama, beberapa jam yang lalu.

Reina langsung memutus panggilan itu. Tangannya gemetar.

Ia melihat sekeliling lagi. Di seberang koridor, seorang cowok tinggi dengan seragam OSIS yang rapi, Daren Kurniawan, sedang berdiri di ambang pintu kelas 12. Cowok itu—yang baru disebut Zio sebagai ‘Penjaga Reputasi’—hanya berdiri di sana, menatap lurus ke arah Reina.

Daren tidak tersenyum. Matanya tajam, dingin, dan ia hanya berdiri tegak seperti patung.

Jarak mereka sekitar dua puluh meter.

Dan Reina bersumpah, ia bisa merasakan tatapan Daren menembus dirinya, menembus dinding, menembus kerahasiaan paling pribadi yang ia simpan.

Daren tahu.

Cowok itu lalu berbalik perlahan, tanpa mengatakan apa pun. Ia hanya meninggalkannya dengan bunyi derit lift yang masih terngiang di telinga.

Reina membiarkan dirinya bersandar di meja, berusaha mengatur napas. Jelas. Sekolah ini bukan hanya tentang lantai enam dan reputasi sempurna.

Sekolah ini adalah sarang. Dan kakaknya, Aksa, masih terperangkap di salah satu sudutnya.

Reina tahu, ia baru saja menekan tombol yang salah. Tombol yang tidak seharusnya pernah ada.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!