Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.
Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.
Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.
Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.
Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.
Kunci aku dalam labirin.
Kurung aku di dalam sangkar.
Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!
Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.
Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.
- Damien Ace -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Ayah Berbeda
Setelah hari itu, Rayyan dan Edgar bekerja sama melakukan pencarian Damien secara diam-diam. Tidak ada yang mengetahui hal ini selain mereka berdua—dan Nic, tentu saja.
Dialah yang membantu mereka mendapatkan izin untuk memeriksa rekaman kamera pengawas di pusat medis Regalsen.
Namun setelah berhari-hari, semua usaha mereka berakhir tanpa hasil. Malam itu seolah menelan Damien begitu saja—tanpa jejak, tanpa tanda.
Sementara itu, Alex mencoba menerima kenyataan pahit tentang kematian anaknya, meski jauh di dalam hatinya ia belum sanggup merelakan. Setiap kali ia berusaha menolak, rasa sakit itu hanya menusuk lebih dalam, membuat Eve dan Daisy ikut terluka.
Hari ketika Alex akhirnya diizinkan pulang, mereka bertiga pergi bersama ke makam Damien.
Alex berdiri diam di depan batu nisan itu. Matanya menatap nama putranya yang terukir di sana, namun tatapan itu kosong—tanpa air mata, tanpa suara.
Yang Eve lihat hanyalah bara kemarahan yang berputar di balik sorot mata suaminya, membakar perlahan, diam-diam, tapi pasti.
Bahkan Daisy yang masih kecil pun bisa merasakannya. Ia tak berani banyak bicara dengan ayahnya sejak hari itu.
Sudah lama Alex meninggalkan urusan perusahaan, mempercayakan semuanya pada Rayyan. Eve pun lebih banyak bekerja dari rumah, hanya sesekali keluar bila ada pertemuan penting.
Pagi itu, Alex memutuskan kembali ke kantor. Setelah sarapan bersama, ia berdiri, mencium kening Eve dan Daisy sekilas, lalu mengambil jasnya.
“Aku pergi,” ucapnya pendek.
Nadanya dingin, sedingin es yang menembus jantung Eve dan Daisy bersamaan.
Daisy menatap punggung ayahnya lama sekali. Matanya mengikuti langkah kaki itu sampai bayangannya menghilang di balik pintu.
“Bu ….” Suaranya kecil. “Apa aku membuat kesalahan pada Ayah?”
Eve terdiam sesaat. Ia tahu maksud pertanyaan itu. Namun bibirnya memilih tersenyum. “Tentu saja tidak, sayang. Kau sudah jadi anak yang sangat baik dan hebat.”
“Tapi … Ayah berbeda.” Daisy menunduk. “Dia tidak banyak bicara seperti dulu. Dia tidak menengokku sebelum tidur. Ayah juga jarang mengajakku bicara.”
Sendok di tangan Eve berhenti. Ia memandangi anaknya, lalu menarik kursi Daisy lebih dekat dan mengusap lembut punggung kecil itu.
Apa yang dirasakan Daisy, itulah yang dirasakannya sendiri. Jika seorang anak kecil bisa menyadari perubahan itu, bagaimana mungkin seorang istri tidak?
Sejak malam ketika Alex menerima kabar tentang Damien, ia memang bukan pria yang sama. Ia lebih cepat marah, lebih sering diam, dan entah berapa kali Eve mendapati suaminya duduk sendirian di gazebo belakang rumah, hanya ditemani sebatang rokok dan tatapan kosong ke arah taman yang gelap.
Ia ingin bicara dengannya. Tapi setiap kali mencoba, Alex selalu menutup diri.
Jika pun ia pulang, waktunya sudah larut malam, dan begitu masuk kamar, ia langsung berbaring tanpa sepatah kata pun.
“Bu ….” Suara Daisy kembali lirih. “Apa Ayah membenciku karena aku yang membuat dia hilang ingatan?”
“Daisy ….” Eve menarik napas panjang, menatap mata anaknya yang mulai berair. Ia memeluknya pelan.
“Tidak ada yang seperti itu. Ayahmu tidak membencimu, Sayang. Dia hanya … butuh waktu. Kau tahu, kan, Ayah sangat menyayangi kalian berdua. Kalau salah satu pergi, tentu hatinya akan terluka. Tapi setelah ini, Ayah pasti akan kembali seperti dulu.”
Namun, Daisy tidak bisa menerima semua yang dikatakan ibunya. Ia masih terlalu kecil untuk memahami kehilangan sebesar itu—yang ia tahu, ia hanya ingin ayahnya kembali seperti dulu, tersenyum padanya, mengusap kepalanya, dan menemaninya tidur.
Tapi kini, semua terasa asing. Perubahan Alex membuat hatinya pelan-pelan retak.
Sementara itu, Alex tiba di depan gedung perusahaannya. Begitu mobilnya berhenti, puluhan wartawan sudah berkerumun di sana.
Sejak berita kematian Damien mencuat, media sempat menahan diri karena simpati terhadap kecelakaan Alex dan keguguran Eve. Tapi hari ini, seolah semua batas itu menguap.
Begitu Alex membuka pintu mobil, kilatan kamera langsung menyambar wajahnya.
“Direktur Ace, apakah benar anak laki-laki Anda meninggal dunia?”
“Bagaimana kondisi istri Anda setelah keguguran?”
“Apakah benar kematian putra Anda disebabkan oleh kelainan jantung?”
Pertanyaan-pertanyaan itu datang bertubi-tubi, bagaikan peluru yang menghantam tanpa jeda.
Nama Damien terus menggema di telinganya—bersama kata Regalsen, kelainan jantung, kematian—semuanya berputar liar di kepalanya, seperti suara yang ingin merobek pikirannya.
Alex mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras.
“Pergi,” katanya dingin, menahan amarah yang hampir tak terkendali. “Aku tidak memiliki kewajiban menjelaskan apa pun pada kalian.”
Namun salah satu wartawan bersuara lebih keras dari yang lain, nadanya menusuk.
“Direktur Ace, benarkah Anda menyembunyikan kematian putra Anda karena jantungnya berasal dari anak lain—yang seumuran dengan putra Anda sendiri dan Anda mendapatkannya dengan paksa?”
Hening.
Dunia di sekitar Alex seolah berhenti.
Dalam sepersekian detik, tatapannya tajam menembus arah suara itu. Nafasnya memburu, dan amarah yang selama ini ditekan pecah tanpa bisa ditahan lagi.
Alex melangkah cepat ke arah pria itu, mencengkeram kerah kemejanya dengan keras hingga tubuh sang wartawan terangkat sedikit.
“Katakan sekali lagi,” desisnya tajam, matanya merah menahan emosi, “Aku akan menghancurkan tubuhmu di tempat ini!”
Tangan Alex menegang, otot-ototnya menonjol jelas di bawah kulit. Semua orang di sekitar mereka terdiam, membeku di tempat.
Lalu Alex melepaskannya dengan kasar, matanya menyapu kerumunan.
“Anakku memang sudah mati!” Suaranya menggelegar, parau oleh amarah. “Apa kalian puas sekarang, hah?! PUAS?! Sekarang pergi dari sini! SEMUA!”
Tidak ada satu pun yang berani menatapnya. Satu per satu, wartawan itu berhamburan pergi, meninggalkan halaman perusahaan seperti kawanan burung yang dikejutkan petir.
Namun, sebelum semuanya benar-benar bubar, seorang pria berlari ke arahnya.
“Tuan … tunggu, Tuan—”
“APALAGI?!” bentak Alex tajam, nadanya memotong udara. “Aku bilang anakku sudah mati! Apa itu belum cukup?! Pergi dari hadapanku!”
Matanya melotot, napasnya berat seperti binatang yang terpojok.
Pria itu terdiam, tak mampu berkata sepatah kata pun. Saat Alex berbalik dan melangkah masuk ke gedung dengan langkah lebar dan wajah gelap, orang itu hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh.
Setelah kejadian itu, suasana di perusahaan membeku.
Tak seorang pun berani mengangkat kepala ketika Alex lewat. Suara sepatu kulitnya yang menghentak lantai koridor sudah cukup membuat semua karyawan menyingkir ke sisi tembok, menunduk dan menahan napas.
Di halaman depan, pria yang tadi dibentaknya masih terpaku. Wajahnya menegang, namun bukan karena takut—melainkan karena kesedihan yang dalam. Ia menatap arah kepergian Alex lama sekali, sebelum akhirnya melangkah pergi dengan langkah lemah.
Mobil Rayyan yang baru tiba nyaris menabraknya karena ia berjalan tanpa arah.
Rayyan segera keluar, wajahnya khawatir. “Pak, Anda tidak apa-apa?”
Pria itu menunduk. “Maaf, Tuan. Saya yang bersalah. Tidak memperhatikan jalan.” Ia membungkuk sopan, lalu bergegas pergi tanpa menoleh.
Rayyan menatap punggungnya yang menjauh. Ada sesuatu yang mengusik ingatannya. Wajah itu … entah kenapa terasa familiar.
Namun kesibukan yang menunggu di dalam membuatnya menepis rasa penasaran itu. Ia menghela napas dan melangkah masuk ke gedung—tanpa tahu bahwa bayangan masa lalu baru saja melintas di hadapannya.
Video mengenai kekerasan Alex yang dilakukannya pada wartawan muncul di media dengan cepat. Bahkan salah satu saluran berita juga menayangkan video itu, mengatakan bahwa Alex telah menggunakan kekuasaan untuk melakukan kekerasan pada wartawan.
Video itu juga terunggah di semua media sosial, mengatakan bahwa seharusnya hukum juga menindak tegas kekerasan tersebut, bukannya memaklumi atas dasar kekuasaan Alex saja. Mendadak semua orang menjadi pihak yang teraniaya, menuntut hukuman untuk Alex.
Eve mematikan televisinya, melempar remote control ke kasur dengan kesal.
Bagaimana jika Daisy mengetahui ini? Dia pasti akan semakin takut dengan Ayahnya. Eve mencoba menghubungi Rayyan saat itu juga.
“Ray, kau … sudah melihat beritanya, kan?”
“Ya. Ini berjalan terlalu cepat.”
“Ray, aku tahu kondisi Alex sedang tidak baik. Tapi Daisy mungkin tidak bisa menerima ini.”
“Saya tahu, Nyonya. Saya juga sedang mengatasi ini. Tapi saya rasa ini sedikit sulit karena mereka sudah menanyangkannya sampai ke saluran televisi. Jika hanya untuk menarik artikel di media sosial, itu mudah. Tapi saya rasa itu tidak bisa menghentikan publik. Mungkin kali ini Tuan harus menghadapinya sendiri.”
Berita menyebar dengan kuat. Bahkan wartawan tadi juga sudah memberikan tuntutan pada Alex atas dasar kekerasan dan ancaman.
Karena tuntutan publik yang terus menyerang kepolisian, mereka tidak punya pilihan selain menindaklanjuti tuntutan dari wartawan tadi.
Beberapa pihak berwajib mulai terlihat di perusahaan Alex, membawa surat untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Mereka muncul di ruangan Alex, menghadap Alex dengan Rayyan di belakang pria itu.
Salah satu dari mereka maju dengan ragu-ragu. Tentu saja dia sudah menekan perasaan takutnya dalam-dalam. Namun, mereka sendiri juga tidak punya pilihan. “Pak, atas tuntutan dari masyarakat, kami terpaksa datang kemari mengganggu aktifitas Anda. Jika Anda bisa bekerjasama, Anda—“
“Berani menangkapku?”
***