Dikhianati oleh murid yang paling ia percayai, Asura, sang Dewa Perang, kehilangan segalanya. Tubuhnya musnah, kekuatannya hilang, dan namanya dihapus dari dunia para Dewa. Namun, amarah dan dendamnya terlalu kuat untuk mati.
Ribuan tahun kemudian, ia terlahir kembali di dunia fantasi yang penuh sihir dan makhluk mistis bukan lagi sebagai Dewa yang ditakuti, melainkan seorang bocah miskin bernama Wang Lin.
Dalam tubuh lemah dan tanpa kekuatan, Wang Lin harus belajar hidup sebagai manusia biasa. Tapi jauh di dalam dirinya, api merah Dewa Asura masih menyala menunggu saatnya untuk bangkit.
“Kau boleh menghancurkan tubuhku, tapi tidak kehendakku.”
“Aku akan membalas semuanya, bahkan jika harus menantang langit sekali lagi.”
Antara dendam dan kehidupan barunya, Wang Lin perlahan menemukan arti kekuatan sejati dan mungkin... sedikit kehangatan yang dulu tak pernah ia miliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumun arch, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati Yang Belajar Bernafas
“Tapi sebelum itu... aku ingin tahu seperti apa rasanya benar-benar hidup sebagai manusia.”
Kalimat itu masih terngiang di kepala Wang Lin saat fajar perlahan menyapa. Embun menempel di rumput, burung-burung kecil bernyanyi di kejauhan, dan untuk pertama kalinya... dunia terasa damai.
Wang Lin duduk di pinggir sungai, menatap bayangannya sendiri yang bergetar di air.
Matanya tak lagi sepenuhnya merah. Ada sedikit cahaya lembut di sana seperti sisa kemanusiaan yang mulai tumbuh.
“Manusia... selalu terlihat rapuh,” gumamnya. “Tapi entah kenapa, mereka bisa bertahan di dunia sekejam ini.”
Suara langkah ringan terdengar dari belakang.
“Karena manusia punya alasan untuk bertahan,” ucap Lira sambil membawa dua mangkuk bubur hangat. “Kadang sesederhana... lapar.”
Wang Lin menoleh, melihat gadis itu dengan ekspresi antara geli dan heran.
“Lapar?”
“Ya, lapar,” jawab Lira santai. “Coba makan ini. Aku buat sendiri. Kau belum sarapan, kan?”
Ia duduk di sebelah Wang Lin, menyerahkan mangkuk kayu kecil. Wang Lin menatapnya lama, lalu menerima dengan ragu.
“Aku tak ingat kapan terakhir kali aku makan.”
“Itu artinya kau perlu belajar jadi manusia dimulai dari perut,” ujar Lira sambil tertawa kecil.
Wang Lin mencicipi bubur itu perlahan. Rasanya sederhana agak asin, sedikit gosong tapi hangat. Anehnya, sesuatu di dadanya terasa aneh... seperti tenang dan nyeri di waktu bersamaan.
“Kau menangis?” Lira menatapnya heran.
Wang Lin cepat mengalihkan pandangan.
“Tidak. Mungkin... debu.”
Lira tersenyum kecil. “Tentu saja.”
Beberapa hari berlalu.
Wang Lin tinggal di desa kecil itu, membantu penduduk memperbaiki jembatan dan menyalakan api setiap malam. Meski awalnya canggung, para warga mulai menerimanya.
Anak-anak sering mengikutinya ke sungai, menatap kagum ketika Wang Lin menyalakan api hanya dengan menjentikkan jari.
“Tuan Wang Lin, ajari aku!”
“Aku juga mau bisa bikin api dari udara!”
Wang Lin hanya tertawa kecil.
“Hati-hati, nanti desa kalian terbakar.”
* “Tidak apa! Asal sama Tuan!”*
“Hahaha!”
Tawa anak-anak itu mengisi udara sore.
Lira yang melihat dari kejauhan ikut tersenyum. Dalam beberapa hari, sosok misterius yang dulu penuh kemarahan itu kini mulai tampak seperti manusia biasa bahkan mungkin, lebih hidup daripada siapa pun di desa itu.
Tapi Wang Lin tahu... kedamaian ini tidak akan lama.
Setiap malam, ia masih bisa merasakan sesuatu di langit timur cahaya yang menatapnya, menilai, menunggu.
Suatu malam, ketika semua sudah tidur, ia duduk di bawah pohon besar di luar desa. Makhluk penjaganya datang dan berbaring di sampingnya.
“Aku mulai mengerti... kenapa manusia takut kehilangan,” katanya lirih.
“Karena begitu kau merasakan hangatnya, kau tahu betapa menakutkannya saat itu hilang.”
Makhluk itu mengeluarkan suara rendah, seperti menyetujui.
Wang Lin menatap langit, bintang-bintang berkelip di matanya.
“Aku ingin melindungi tempat ini. Walau hanya sebentar.”
Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari belakang.
“Kau sudah seperti kepala desa saja.”
Wang Lin menoleh, melihat Lira membawa lentera.
“Kau tidak tidur?”
“Sulit tidur kalau seseorang duduk di luar dan kelihatan... sendu.”
Wang Lin tertawa kecil.
“Aku tidak sendu. Aku hanya sedang berpikir.”
“Tentang apa?”
“Tentang... bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang baru saja kau temukan.”
Lira menatapnya lama, lalu duduk di sebelahnya tanpa berkata-kata. Angin malam berhembus lembut, menerpa lentera di tangan Lira.
“Kalau kau takut kehilangan,” katanya pelan,
“maka jagalah. Manusia tidak perlu abadi... mereka hanya butuh alasan untuk terus hidup.”
Wang Lin menatapnya, bibirnya membentuk senyum samar.
“Kau benar-benar guru yang menyebalkan.”
“Dan kau murid yang keras kepala,” balas Lira cepat.
Keduanya tertawa pelan, namun di balik tawa itu, Wang Lin tahu dunia mulai bergerak lagi. Dan ketika dunia bergerak, para Dewa pasti datang.
Di langit jauh di atas mereka, cahaya biru perlahan muncul. Sebuah sosok berjubah angin menatap dari kejauhan, matanya berkilau tajam.
“Jadi benar... Dewa Asura hidup kembali. Tapi dia... berubah?”
Wang Lin berjalan menyusuri jalan setapak menuju desa kecil di kaki gunung. Angin membawa aroma tanah basah dan asap kayu bakar, begitu berbeda dari bau darah dan api neraka yang dulu akrab dengannya.
“Jadi... ini yang mereka sebut kehidupan manusia,” gumamnya sambil menatap anak-anak yang berlarian mengejar layang-layang bambu. Sekilas, ada senyum tipis di wajahnya senyum yang jarang muncul bahkan saat ia masih menjadi Dewa Asura.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Dari balik pepohonan, Wang Lin merasakan sesuatu getaran energi halus, samar tapi familiar. Bukan aura manusia biasa.
Ia berhenti melangkah.
“Keluar,” ucapnya tenang, tanpa menoleh.
Dari balik semak, muncul seorang pria berkerudung hitam dengan luka panjang di wajahnya. Tatapannya tajam, tapi tubuhnya gemetar.
“Tuanku... aku akhirnya menemukannya,” katanya lirih.
Wang Lin memicingkan mata. Suara itu... nada hormat itu... tak asing. “Kau...”
Pria itu menunduk. “Aku Raga. Salah satu penjaga kuil Dewa Asura dulu.”
Sekilas, bayangan masa lalu menari di benak Wang Lin pertempuran terakhir, api, pengkhianatan, dan darah.
“Raga,” katanya dingin.
“Kau seharusnya mati bersama yang lain.”
Raga tersenyum pahit.
“Aku bersembunyi... karena aku tahu, suatu saat kau akan kembali.”
Ia mengangkat kepalanya, menatap Wang Lin dengan sorot mata penuh keyakinan.
“Dan kini, kebangkitanmu sudah dimulai, Tuanku.”
Wang Lin menarik napas dalam. “Kebangkitan?” Ia menatap tangannya sendiri, lalu menatap langit senja yang mulai memerah.
“Tidak, Raga. Aku bukan lagi Dewa Asura yang dulu. Aku hanya manusia... yang ingin hidup.”
Raga terdiam, tapi kemudian berkata lirih, “Kau bisa menolak takdirmu, tapi takdir tidak akan berhenti mencarimu.”
Seketika, langit di atas mereka bergetar. Awan berputar, dan kilatan petir ungu menyambar tanah di kejauhan. Aura kuat menyelimuti udara bukan aura manusia, tapi sesuatu yang jauh lebih tua dan berbahaya.
Wang Lin menatap ke arah kilatan itu, matanya menyipit. “Jadi... mereka sudah menemukanku lebih cepat dari yang kuduga.”
Raga menunduk dalam-dalam. “Apa perintahmu, Tuanku?”
Wang Lin berbalik, langkahnya tenang namun penuh tekanan.
“Tidak ada perintah,” katanya datar. “Tapi jika mereka datang... aku akan tunjukkan pada mereka bahwa api Asura belum padam.”
Angin berdesir kencang, membawa abu dan dedaunan berputar di sekitar mereka. Untuk pertama kalinya, senja itu tampak seperti awal dari sesuatu yang jauh lebih besar bukan sekadar kehidupan baru, tapi babak baru dari kebangkitan Dewa Asura.
“Jika takdir ingin bermain denganku lagi,” bisik Wang Lin,
“maka aku akan menulis ulang takdir itu dengan apiku sendiri.”
Langit malam mulai turun perlahan. Di antara kabut senja, Wang Lin dan Raga menapaki jalan berbatu menuju tepi hutan. Suara jangkrik terdengar di sela langkah mereka, kontras dengan ketegangan yang menggantung di udara.
“Berapa lama kau mengikutiku?” tanya Wang Lin tanpa menoleh.
“Sejak aura tuanku muncul di lembah timur,” jawab Raga cepat.
“Aku pikir itu mustahil… tapi api Asura tidak mungkin salah.”
Wang Lin mendecak pelan. “Jadi bahkan setelah reinkarnasi, auraku tetap menarik masalah.”
Nada suaranya terdengar ringan, tapi di baliknya tersimpan nada lelah.
Raga menatapnya dengan tatapan campur antara kagum dan takut. “Masalah? Tuanku, itu adalah kehormatan. Dunia ini sudah lama kehilangan keseimbangan sejak engkau tiada. Para dewa… mereka menindas manusia dengan dalih ‘keadilan’.”
Wang Lin berhenti. Pandangannya menajam, menatap bulan yang perlahan menampakkan diri di langit.
“Dan kau ingin aku kembali untuk melawan mereka?”
Raga mengangguk cepat. “Kau satu-satunya harapan. Api Asura bisa membakar langit sekali lagi.”
Hening.
Lalu Wang Lin tersenyum tipis. “Raga… tahu tidak apa bedanya harapan dan kebodohan?”
Raga menatap bingung. “Apa itu, Tuanku?”
“Harapan membuat manusia bertahan hidup,” jawab Wang Lin pelan.
“Tapi kebodohan membuat mereka lupa, bahwa setiap api yang dinyalakan… pasti akan membakar sesuatu.”
Ia berjalan lagi, langkahnya ringan namun tegas.
“Aku tidak akan menjadi penyelamat siapa pun. Aku hanya ingin menebus apa yang pernah kubakar.”
Namun, ketika mereka melewati batas hutan, tanah tiba-tiba bergetar. Getaran halus berubah menjadi guncangan kuat. Burung-burung beterbangan panik dari pepohonan.
Raga langsung siaga. “Aura ini… bukan manusia.”
Wang Lin memejamkan mata, mencoba merasakan sumbernya. Di dalam kesadarannya, sebuah suara lembut namun tajam menggema.
* “Akhirnya kau menunjukkan dirimu, Dewa Asura…”*
Seketika, udara di sekitar mereka berubah dingin. Dari langit, cahaya keperakan menembus awan, dan sosok berjubah putih turun perlahan. Wajahnya tertutup topeng, tapi aura sucinya memancarkan tekanan luar biasa.
Raga berbisik, “Itu… salah satu utusan surga.”
Sosok itu menatap langsung ke arah Wang Lin.
“Reinkarnasi Dewa Asura,” katanya datar.
“Atas nama langit, aku diperintahkan untuk menghapus keberadaanmu sebelum api lamamu bangkit lagi.”
Wang Lin menarik napas dalam. Tatapannya tak menunjukkan ketakutan hanya kejengkelan yang tenang.
“Utusan surga, ya?” Ia melangkah maju, menatap lurus ke sosok itu.
“Kalau langit masih tidak belajar dari kesalahannya… maka biarkan aku yang mengingatkannya.”
Udara bergetar. Api hitam muncul samar di telapak tangannya kecil, tapi panasnya membuat udara di sekitar berdesis.
Raga mundur beberapa langkah, wajahnya tegang.
“Tuanku… K....kau akan melawannya?”
Wang Lin menatap api di tangannya, lalu tersenyum samar.
“Tidak,” jawabnya pelan.
“Aku hanya ingin tahu... apakah manusia seperti aku sekarang masih diizinkan menentang langit.”
Langit bergemuruh. Api hitam perlahan membesar, menyatu dengan angin malam. Pertarungan antara api neraka dan cahaya surga pun akan segera dimulai.