Ini bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang pengkhianatan tak berujung, tentang pengorbanan dan harapan yang gagal untuk dikabulkan.
Angelika Sinnata. Cantik, anggun, berparas sempurna. Sayangnya, tidak dengan hatinya. Kehidupan mewah yang ia miliki membuat dirinya lupa tentang siapa dirinya. Memiliki suami tampan, kaya dan penuh cinta nyatanya tak cukup untuk membuat Angelika puas. Hingga ia memilih mengkhianati suaminya sendiri dengan segala cara.
Angelina Lineeta. Cantik dan mempesona dengan kesempurnaan hati, sayangnya kehidupan yang ia miliki tidaklah sesempurna Angelika.
Pertemuan kembali antara keduanya yang ternyata adalah saudara kembar yang terpisah justru membuat Angelina terjebak dalam lingkaran pernikahan Angelika.
Apa yang Angelika rencanakan? Dan mengapa?
Lalu, apa yang akan terjadi dengan nasib pernikahan Angelika bersama suaminya? Akankah tetap bertahan?
Ikuti kisah mereka...!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Seseorang.
"AAHHH...!"
Angelina menjerit tepat setelah ia menutup pintu dan membalikkan badannya. Kedua tangannya bergerak cepat menutupi kedua matanya sendiri.
Harapan bahwa pria yang berada di dalam kamar yang kini Angelina masuki masih belum terjaga dari tidurnya pupus berasamaan dengan ia yang membalikkan badan usai menutup pintu dan melihat Leon baru saja keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya.
"Ada apa?"
Leon tersentak kaget. Kepala yang sebelumnya menunduk untuk menanggalkan handuk yang melilit di pinggangnya terangkat cepat dan segera membenarkan posisi handuknya, lalu melangkah mendekati istrinya.
"Ada apa? Kamu melihat sesuatu?" Leon bertanya cemas.
Pandangan Leon mengedar, mencari sesuatu yang membuat istrinya menjerit, tetapi tidak menemukan apapun.
"Sayang..."
Tangan Leon terulur dengan tujuan menyentuh bahu sang istri, tetapi terhenti saat istrinya justru mundur dan membalikkan badan.
"Jangan mendekat sebelum kamu mengenakan pakaianmu," ucap Angelina tanpa berbalik.
"Apa?" Leon mengerutkan kening. "Mengapa? Apa yang salah?" tanyanya, jelas ia keberatan dengan permintaan sang istri.
"Tunggu!" cegah Leon segera menahan tangan sang istri saat melihat istrinya akan beranjak keluar.
Leon menghembuskan napas panjang, memaksa dirinya sendiri untuk memahami reaksi yang istrinya perlihatkan. Ia sadar, istrinya masih membutuhkan waktu untuk menerima apa yang belum dia ingat.
"Tetap di sini, aku hanya membutuhkan waktu sebentar saja untuk berpakaian," pinta Leon melembutkan suaranya.
"Jangan keluar."
Angelina tetap bergeming, tetapi ia bisa merasakan Leon melangkah menjauh darinya, masuk ke walk in closet selama beberapa saat dan keluar dengan setelan jas rapi yang melekat sempurna di tubuhnya.
Sejenak, Angelina mengamati penampilan Leon. Terlepas dari pekerjaan yang sebelumnya ia geluti sebagai penjaga pantai, yang mana melihat tubuh bagian atas pria adalah hal lumrah baginya, tetapi ia merasa Leon jauh berbeda. Tak bisa ia pungkiri, meski terbungkus dengan setelah jas lengkap, Leon memiliki tubuh sempurna. Paras rupawan yang Leon miliki membuat siapa saja yang melihatnya akan terpesona.
"Bisa bantu aku memakai ini?"
Angelina tersentak ringan, baru tersadar Leon suah berdiri tepat di depannya dengan satu tangan terulur menunjukkan sebuah dasi.
"Baiklah." Angelina tersenyum, mengambil alih dasi itu, dan memakaikannya ke leher Leon.
"Sangat tidak biasa aku melihatmu bangun sepagi ini," ucap Leon tanpa memutus pandangan dari sang istri.
Angelina hanya tersenyum, tetap fokus pada dasi yang ada di tangannya.
"Dan entah mengapa, kamu terlihat... berbeda," lanjut Leon.
Wajah Angelina terangkat, membuat pandangan mereka bertemu. Leon tersenyum, kedua tangannya terulur melingkari pinggang sang istri, lalu menariknya mendekat.
"Apakah dia menyadarinya?" batin Angelina was-was.
Ia ingin menyingkirkan tangan itu dari pinggangnya, ingin membentang jarak, tetapi bayangan sang ibu yang tengah terbaring di rumah sakit dan berada dalam genggaman Angelika tidak memberinya pilihan untuk memberontak.
Tidak adanya penolakan dari sang istri membuat Leon bersorak dalam hati. Dipandangnya lekat wajah cantik istrinya. Tidak ada yang berbeda dari wajah itu, tetapi hatinya merasa lebih hangat setiap kali ia berada di dekat istrinya sejak ia menemani sang istri di rumah sakit. Cinta itu tetap ada, tapi terasa berbeda dengan cara yang tidak bisa ia jelaskan.
Namun, saat Leon mendekatkan wajahnya pada sang istri, tangan istrinya bergerak lebih cepat menahan dadanya, memberikan dorongan lembut, lalu melangkah melewatinya begitu saja dan masuk ke dalam kamar mandi tanpa kata.
.
.
.
Pergerakan lembut terlihat dari Angelika yang masih berada di bawah selimut, satu tangannya bergerak perlahan, meraba sisi tempat tidur di sampingnya dan segera membuka mata saat ia merasakan sisi tempat itu telah kosong.
"Dean..."
Angelika memanggil, tetapi sosok pria itu tidak muncul. Pandangannya mengedar, sinar mentari sudah menembus tirai kamar yang masih menutup, memaksa dirinya untuk beranjak dari tempat tidur dengan membawa serta selimut yang ia gunakan untuk membungkus tubuh polosnya menuju kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, Angelika keluar dari kamar mandi dengan bathrobe yang membalut tubuhnya, melangkah keluar dari kamar pria yang sudah menghabiskan malam panas bersamnya.
"Kemana dia?" Angelika bergumam pelan, tidak menemukan sosok Dean.
Suasana apartemen itu kini terasa sunyi, pakaian miliknya yang sebelumnya berserakan di lantai pun kini sudah tidak ada, dan sekarang pria itu pun tak kunjung muncul meski ia sudah memanggilnya berulang kali.
Pertanyaan Angelika terjawab saat ia berada di dapur dan melihat sarapan sudah terhidang di meja dengan secarik kertas di sampingnya.
"Maaf karena aku harus meninggalkanmu saat kamu belum bangun, ada pekerjaan penting di kantor. Nikmati sarapannya, aku akan kembali saat makan siang nanti... Dean"
Angelika menghembuskan napas kasar, menarik kursi untuk ia duduki dan menikmati sarapan seorang diri.
.
.
.
"SYL Crop."
Dean menyebutkan nama perusahaan yang kini tengah ia baca datanya melalui tab yang diberikan oleh asisten pribadinya padanya, menggulir layar dengan perlahan untuk memastikan tidak ada satupun informasi yang luput darinya.
"Perusahaan ini memiliki cabang di kota ini, Tuan," ujar sang asisten menjelaskan.
"Jika Anda bisa menjalin hubungan baik dengan pemimpin dari perusahaan ini, perusahaan kita akan mendapatkan banyak dampak baik."
"Maksudmu, aku mengajukan kerjasama?" tanya Dean.
"Benar," jawab sang asisten.
"Perusahaan ini memiliki banyak anak perusahaan yang tersebar di beberapa negara berbeda, dalam satu negara memiliki dua atau tiga cabang, salah satunya di kota ini. Dan di sini, perusahaan ini baru saja didirikan " terangnya.
Dean kembali menekuni tab di tangannya. Baru beberapa menit lalu ia baru saja menyelsaikan rapat terkait pekembangan perusahaan miliknya, membahas tentang strategi baru yang akan mereka gunakan untuk membuat perusahaan yang ia pimpin berkembang. Dan cabang baru dari perusahaan besar yang tengah ia baca seakan menjadi jalan pintas baginya untuk membuat perusahaan yang ia pimpin mendapatkan koneksi kuat.
Namun, nama SYL mau tak mau membuat dirinya teringat akan sesuatu yang hampir ia lupakan, sesuatu yang pernah ada di dalam hidupnya. Sayangnya, nama pemimpin utama dari perusahaan itu tidak tertulis dalam data yang ia baca.
"Buatlah proposal pengajuan kerjasama dengan perusahaan itu," titah Dean setelah lama terdiam.
"Baik," sang asisten mengangguk, lalu berbalik pergi.
Beberapa detik setelah asistennya pergi meninggalkan ruangan, pintu itu kembali terbuka diikuti sosok wanita cantik masuk ke dalam dengan senyum mengembang.
"Mi amor, aku kembali."
. .. .
. . . .
To be continued...