Demi harta Dirja rela melakukan pesugihan, pesugihan yang katanya aman. Tak perlu menumbalkan nyawa, hanya perlu menikah lagi saja. Semakin Dirja menikah dengan banyak wanita, maka harta yang dia dapatkan juga akan melimpah.
"Ingat, Dirja! Kamu harus menikah dengan wanita yang memiliki hari spesial, seperti wanita yang lahir pada malam satu suro. Atau, wanita yang lahir pada hari Selasa Kliwon."
"Siap, Ki! Apa pun akan saya lakukan, yang terpenting kehidupan saya akan jadi lebih baik."
Akan seperti apa kehidupan Dirja setelah melakukan pesugihan?
Benarkah pesugihan itu aman tanpa tumbal?
Gas baca, jangan sampai ketinggalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlalu Banyak Pertanyaan
Susi mengerutkan dahinya, hidungnya menangkap aroma melati yang semakin pekat dan terasa mengepung indera penciumannya. Tak hanya melati, ada juga bau mawar yang halus dan kembang kantil yang manis.
Semua bau kembang itu bergabung jadi satu dalam udara yang menusuk. Langkahnya terus maju, hingga ia berdiri tepat di depan pintu kamar yang kata suaminya itu terlarang untuk dibuka.
Dengan hati-hati, ia menempelkan telinganya ke permukaan pintu, dia mencoba menangkap suara dari balik sana. Dari celah pintu terdengar suara berisik—seperti bentakan dan bunyi barang yang dibanting-banting, hal itu membuat jantungnya berdetak lebih kencang.
"Siapa sih yang ada di dalam? Ada apa sebenarnya?" gumam Susi lirih.
Rasa penasaran makin menggelora saat ia mulai mencium bau kemenyan yang pekat dan hangat menyeruak masuk ke rongga hidungnya. Susi menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan keinginan untuk segera membuka pintu itu.
"Kang Dirja bilang jangan buka. Tapi, kenapa aku malah makin penasaran?" ujarnya lirih.
Jari kanannya tanpa sadar melingkar di gagang pintu. Dengan sedikit gugup, ia mencoba memutar kenop pintu itu, tapi pintu itu ternyata terkunci rapat. Susi mendesah panjang, dadanya terasa sesak oleh rasa penasaran yang tak terobati.
Ia menatap pintu itu dengan tatapan campur aduk antara kecewa dan ingin tahu yang membara. Semakin dia teringat akan pesan Dirja, justru dia semakin penasaran untuk membuka pintu kamar tersebut.
"Kenapa harus terkunci ya?" bisiknya pelan, suara hatinya bergema dalam keheningan. "Apa ngintip aja ya?"
Susi yang sungguh merasa penasaran akhirnya mengambil bangku, dia ingin menaiki bangku itu dan mengintip dari jendela kamar yang ternyata sangat tinggi.
"Argh!" teriak Susi dengan matanya yang terpejam kuat.
Susi begitu kaget ketika dia sudah naik ke atas bangku, tetapi tiba-tiba saja ada yang menggendongnya. Dia berteriak dengan begitu kencang.
"Sayang, ini Akang. Kenapa malah teriak?"
Susi cepat-cepat membuka matanya, ada rasa lega ketika melihat wajah suaminya. Namun, dia juga merasa kesal karena belum mengetahui apa yang ada di dalam kamar itu, tetapi Dirja sudah keburu pulang.
"Kamu habis dari mana? Dari tadi nggak ada di rumah, ke mana aja sih? Sampai-sampai aku makan aja cuma sendirian?" tanya Susi dengan suaranya yang bergetar, campur cemas dan marah.
Tanpa banyak bicara, Dirja menggendong Susi dengan hati-hati. Kakinya melangkah ringan menuju ruang keluarga, seolah tak ingin menambah beban pikirannya yang berat.
Ia dudukkan Susi dengan perlahan di atas bangku, lalu dia menggenggam tangan wanita itu dengan lembut, dia memberikan kekuatan tanpa kata. Berusaha memberikan wanita itu ketenangan.
"Ada teman Akang yang ngajakin join usaha, sekarang Akang sudah punya istri dua. Rasanya nggak mungkin terus menganggur," ucap Dirja, suaranya datar tapi penuh tekad.
"Oh! Usaha apa?" tanya Susi, matanya yang semula penuh kemarahan sedikit melembut, penasaran mulai menyelinap di dalam hatinya.
"Buka toko bangunan di pasar, siapa tahu rame. Sekarang banyak yang bangun rumah, bisnis ini kayaknya bakal lancar. Di kampung kita belum ada toko bangunan," jelas Dirja.
Nada bicaranya penuh harap. Susi mengerutkan dahi, matanya melirik ke arah kamar yang tadi menimbulkan suara gaduh. Walaupun dia senang karena suaminya sudah mulai membangun usaha, tetapi ada rasa penasaran yang harus dituntaskan.
"Akang benar, oiya, Kang. Sebenarnya apa yang ada di dalam kamar itu? Kenapa tadi berisik sekali? Kenapa bau kembang dan kemenyan begitu kuat?"
Dirja menarik napas panjang, wajahnya sejenak berubah tegang, tapi ia memilih diam, menunggu waktu yang tepat untuk bicara. Lama kelamaan wajah pria itu berubah tenang, lebih tenang untuk seorang pria yang hampir terpergok dengan apa yang telah dia lakukan.
"Kemarin itu Akang baru mindahin barang-barang ke dalam kamar itu, belum disusun rapi. Mungkin terdengar berisi karena barang-barang itu berjatuhan," jawab Dirja.
"Begitu ya? Tapi, kenapa seperti bunyi dibanding-banding gitu ya, Kang? Di dalam juga bau melati dan bau kemenyan gitu, kaya ada dupa yang menyala. Baunya aneh," ujar Susi.
"Akang kemarin asal beli obat nyamuk bakar, Akang tadi pagi baru nyalain. Soalnya di dalam banyak nyamuk dan bau, mungkin itu bawa obat nyamuknya. Kalau Neng Susi nggak suka sama baunya, nanti Akang ganti obat nyamuknya."
Susi terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh suaminya, alasan yang dikatakan oleh Dirja dikata tidak masuk akal. Namun, kalau memang dia mau membohongi Susi, apa manfaatnya?
Seingatnya, tidak ada bau obat nyamuk seperti itu. Namun, dia tidak mau memperpanjang masalah. Karena semakin banyak pertanyaan di otaknya, kepalanya terasa begitu pusing dan ingin pecah. Namun, tetap saja ada satu hal yang ingin ditanyakan oleh Susi.
"Kenapa malah diam? Nggak percaya sama Akang?"
"Percaya kok, oiya. Aku mau tanya satu hal lagi, boleh?"
"Boleh, tanya saja."
"Kenapa Susi tidak boleh masuk ke dalam kamar itu?"
Dirja tersenyum mendengar pertanyaan Susi, karena tentunya dia sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan dari wanita itu.
"Karena semua barang yang ada di dalam kamar itu adalah milik aku dan juga Darmi, aku tidak mau membuat kamu terluka dengan semua barang yang ada. Jadi, barang-barang itu sengaja aku simpati dalam ruangan tersebut."
"Oh," ujar Susi yang entah kenapa merasa begitu percaya dengan apa yang dikatakan oleh Dirja, setelah pria itu menatap dirinya dengan dalam.
"Sekarang hari sudah hampir sore, Neng Susi mau apa? Kalau kerja gak mungkin, apa mau ngulang yang semalem?" tanya Dirja yang mampu membuat pipi Susi berubah menjadi merah merona.
"Apaan sih, Kang? Jangan minta dulu, perih. Kaya sobek, kalau mau minta lusa atau seminggu lagi."
"Ya ampun, lama sekali," keluh Dirja dengan wajahnya yang dibuat cemberut.
"Dih! Akang tambah ganteng, oiya, Kang. Besok beli baju baru yuk? Buat ke acara nikahan Dea," ajak Susi.
"Boleh, nanti Akang yang bayar. Untuk semua keperluan rumah tangga akan Akang tanggung, untuk biaya kamu juga Akang tanggung. Kalau uang kamu, Akang nggak akan ikut campur."
"Loh! Emang Akang punya duitnya?"
"Punya dong, kamu tahu sendiri Akang baru menjual rumah, tanah, perkebunan dan juga salah warisan dari kedua orang tua Akang. Duitnya lumayan banyak, jangan remehkan Akang."
"Iya, maaf."
Dirja mengambil uang dari saku celananya, lalu memberikannya kepada Susi. Wanita itu tentu saja kaget dengan uang yang diberikan oleh Dirja, karena nominalnya lumayan besar.
"Ini uang jajan kamu, gunakan dengan bijak. Saat ini, Akang bukan pria yang mampu memberikan kamu uang dengan nominal besar."
"Ini juga udah gede, Kang. Makasih," ujar Susi.
"Sama-sama, kalau begitu Akang mau pergi dulu. Ada perlu, pulangnya agak malam. Kamu nggak takut kan ditinggal sendirian di rumah?"
"Nggak, Kang. Pergi aja," ujar Susi.
Dirja pergi meninggalkan Susi sendirian, setelah kepergian Dirja, Susi menatap uang yang lumayan besar di tangannya.
"Bukannya warisan peninggalan kedua orang tua kang Dirja itu tak terlalu lebar ya? Kenapa dia bisa punya uang banyak ya?" tanya Susi heran.
punya pikiran tidak sih Dea ini.
Egois, judes dan emosian
iblis kalau di turuti semakin menjadi membawamu makin dalam terperosok dalam kehinaan .
Dirja ,ringkih banget hatimu ,baru di katain begitu kau masukkan ke dalam hati terlalu jauh ,hingga punya pikiran melenyapkan kehidupan insan tidak bersalah yang baru berkembang.
semangat teh Ucu