"Janji di Atas Bara" – Sebuah kisah tentang cinta yang membakar, janji yang teringkari, dan hati yang terjebak di antara cinta dan dendam.
Ketika Irvan bertemu Raisa, dunia serasa berhenti berputar. Cinta mereka lahir dari kehangatan, tapi berakhir di tengah bara yang menghanguskan. Di balik senyum Raisa tersimpan rahasia, di balik janji manis terselip pengkhianatan yang membuat segalanya runtuh.
Di antara debu kota kecil dan ambisi keluarga yang kejam, Irvan terperangkap dalam takdir yang pahit: mempertahankan cintanya atau membiarkannya terbakar menjadi abu.
"Janji di Atas Bara" adalah perjalanan seorang pria yang kehilangan segalanya, kecuali satu hal—cintanya yang tak pernah benar-benar padam.
Kita simak kisahnya yuk, dicerita Novel => Janji Di Atas Bara
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 9
Ruangan bergemuruh oleh nyanyian tamu_satu lagu penuh hangat untuk Nenek Ratna. Lampu kristal berpendar, piring-piring berdenting, lalu tepuk tangan mengalun saat nenek meniup lilin di kue ulang tahun. Wajah Nenek Ratna berseri; beberapa tamu menghampiri untuk memberi selamat, suasana penuh kebahagiaan keluarga yang riuh tapi hangat.
Di saat tepuk tangan masih bergema, Raisa perlahan menyelinap mundur dari kerumunan. Ia melambai kecil ke arah kamera video yang ditangan Irvan, senyumnya manis tapi mata sudah waspada. Irvan, yang dari tadi merekam bagian acara, mengarahkan kameranya ke arah Raisa. Saat ia merekam, Raisa menutup bibirnya dengan tangan, lalu berseru pelan namun tegas, "Matikan cameramu_kalau ada yang lihat bisa rusak rencana kita."
Irvan segera menurunkan kameranya, membuat gerakan sekilas seolah menyimpan alat itu ke tas. Ia memberi isyarat OK dengan kepala, lalu menyelinap mengikuti Raisa keluar dari taman, melewati lorong yang kini dipenuhi tamu berbaju rapi dan pelayan yang lalu-lalang. Jantung mereka berdua berdegup sedikit lebih cepat_bukan karena takut, melainkan karena sensasi rahasia kecil di tengah pesta besar.
Di depan gerbang, angin malam menyapa sepoi. Mereka terus berjalan, lampu-lampu pinggir jalan menyapanya dengan lembut, membentuk suasana intim jauh dari keramaian. Raisa duduk di bangku kayu, meletakkan tasnya di samping, wajahnya tampak serius namun tenang.
Irvan berdiri di depannya, masih menahan senyum. "Apa rencana besarmu sampai harus rahasia gitu?" tanyanya rendah.
Raisa menatapnya lama, lalu menarik napas. "Aku cuma ingin bicara-- tentang kita. Tentang apa yang mau kita lakukan setelah ini." Matanya menyiratkan lebih dari sekadar obrolan ringan_ada keputusan kecil yang menunggu untuk diungkap.
Di bawah cahaya lampu taman yang berpendar, bayangan mereka berdua tampak bergerak pelan. Hembusan angin malam membawa aroma bunga melati dari taman, menciptakan suasana yang begitu tenang, seolah dunia di luar lenyap untuk sementara.
Raisa menatap ke depan. Suaranya terdengar pelan tapi tegas.
"Irvan--"
Pemuda itu menoleh, menatap wajah Raisa yang tampak lebih lembut dari biasanya. Ada sesuatu di balik tatapan itu__campuran keberanian dan ketakutan.
"Selama ini aku mencoba memahami kenapa aku begitu nyaman bersamamu. Aku pikir ini hanya karena kau berbeda dari orang-orang yang biasa kutemui. Tapi ternyata bukan itu," katanya sambil menggenggam ujung rok panjangnya. "Aku-- ingin kau tahu, bahwa perasaanku padamu bukan hanya karena aku sedang jatuh cinta."
Irvan diam, memperhatikan setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Maksudmu?" tanyanya pelan.
Raisa mengangkat wajahnya, menatap Irvan langsung. "Aku ingin sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan yang manis. Aku tidak ingin menjadi kenangan singkat dalam hidupmu, Irvan. Aku ingin-- Ingin dirimu."
Keheningan turun sesaat. Hanya suara daun-daun yang bergesekan.
Irvan terlihat terkejut, namun tidak menjauh. Ia justru tersenyum tipis, seperti seseorang yang sudah lama menunggu keberanian itu muncul.
"Kau tahu," ucap Irvan akhirnya, "aku tidak pernah berpikir ada seseorang yang akan bicara hal seperti itu padaku. Aku bahkan belum tahu harus jadi orang seperti apa saat bersamamu."
Raisa menatapnya dalam-dalam. "Kau tidak harus jadi siapa-siapa, Irvan. Cukup jadi dirimu. Tapi aku ingin tahu" kalau aku benar-benar memilih tinggal di sini, meninggalkan London, apa kau akan tetap ada di sisiku?"
Irvana tak menjawab. Suara musik dari pesta di rumah Dharma hanya tinggal gema samar di kejauhan. Raisa menggenggam tangan Irvan, menariknya pelan melewati jalan setapak yang diterangi lampu jalan.
"Ayo ikut aku," katanya dengan senyum misterius di bibirnya.
"Kita mau ke mana lagi? Bukannya sudah larut?" tanya Irvan, sedikit terkejut tapi tetap mengikuti langkahnya.
Raisa hanya menjawab dengan lirikan nakal. Langkah mereka akhirnya berhenti di depan cafe kecil berlampu neon biru_ tempat yang sering mereka datangi setiap sore. Tapi kali ini, seluruh bangunan tampak gelap dan tertutup rapat.
Raisa mendesah pelan. "Sayang sekali, sudah tuttup--"
Irvan tersenyum kecil, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya_ sebuah kunci logam kecil yang ia gabungkan bersama kunci motor miliknya. Ia mengangkatnya sedikit di depan wajah Raisa. "Tapi bukan berarti kita tidak bisa masuk."
Raisa menatapnya tak percaya. "Kau-- punya kuncinya?"
"Pemiliknya temanku. Dulu aku sering bantu tutup tempat ini kalau dia lembur. Jadi, bisa dibilang aku sedikit punya 'izin khusus'."
Tanpa menunggu persetujuan, Irvan membuka pintu perlahan. Denting lonceng kecil di atasnya berbunyi lembut saat mereka masuk. Di dalam, udara terasa dingin dan tenang, hanya diterangi cahaya lampu jalan dari luar jendela besar.
Raisa menatap sekeliling_ meja-meja kayu yang biasa mereka duduki, aroma kopi yang samar masih tercium.
"Tempat ini-- jadi terasa lain saat sepi, ya," katanya pelan.
Irvan menutup pintu rapat-rapat lalu memutar kuncinya. "Setidaknya mallam ini, cuma kita yang punya dunia kecil ini."
Raisa tersenyum, berjalan menuju sudut tempat mereka biasa duduk. Ia mengusap meja, lalu menoleh ke arah Irvan yang sedang menyalakan satu lilin kecil di atas meja.
"Kau bahkan menyiapkan lilin? Romantis juga."
"Biar tidak terlalu gelap. Dan supaya aku bisa lihat wajahmu lebih jelas."
Raisa menunduk, pura-pura sibuk membenarkan rambutnya yang terurai. Pipinya memerah. "Kau selalu tahu cara membuat suasana jadi berbeda, Irvan."
Irvan mendekat, meletakkan jaketnya di punggung kursi Raisa. Mereka duduk berhadapan, tapi tak satu pun bicara beberapa detik. Hanya suara detak jam dan gemerisik angin dari luar yang menemani.
Raisa akhirnya berbisik, "Kau tahu-- aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi malam ini, aku hanya ingin dirimu, dan terus bersamamu."
Irvan menatapnya lama. Ia lalu menjawab pelan, nyaris seperti bisikan, "Kalau begitu, biarkan malam ini jadi milik kita."
Cahaya lilin bergetar di antara mereka, memantulkan bayangan lembut di dinding cafe. Dua insan yang tak lagi bisa menahan diri kini larut dalam kebersamaan yang tak butuh banyak kata_ kini keduanya telah memadu kasih untuk saling memiliki seutuhnya.
...----------------...
Next Episode...
oh cintaaaa
kumaha ieu teh atuh nya
lanjut
badai akan segera d mulai
hm
lanjut
haruskah