Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dante Memalsukan Berkas Forensik!!!
Setelah bertahun-tahun terbiasa hidup mandiri dalam sepi, mendadak di kejar wanita dari segala penjuru. Nadia, Abigail, Sofia.
Seolah mereka tidak mampu hidup tanpa aku. Sementara satu-satunya orang yang sangat ingin kuhabiskan waktu bersama malah main petak umpet, meninggalkan boneka barbie di lemari es.
Kuselipkan tangan ke saku, merasakan lembaran kaca mikroskop yang aman dalam bungkusan plastik ziplock. Membuatku nyaman sejenak.
Aku rela memberikan setahun hidupku asal bisa tau lebih banyak tentang si pembunuh misterius yang telah begitu tega menggodaku dengan hasil kerja begitu anggun.
Ya, hidup memang sedang menarik sekarang. Apa benar orang-orang kantor percaya bahwa aku punya firasat bagus soal pembunuhan berantai? Hmm... hal ini meresahkan sekali.
Biarlah. Singkirkan dulu keresahan ini untuk sementara. Kubuka map berkas kasus Jonathan. Setelah satu jam mempelajari dengan hati-hati, aku dapat beberapa kesimpulan.
Yang pertama dan terpenting, nampaknya aku berhasil lolos, meski telah bertindak ceroboh dan impulsif. Kedua, mungkin masih ada peluang buat Nadine mengambil keuntungan dari situasi kalau dia mampu membuktikan bahwa ini hasil kerja seniman buron kita.
Mumpung Sofia masih bersikukuh dengan teori pembunuh peniru. Kalau sukses, Nadia bisa sekejap berbalik dari sosok yang tidak dipercaya menjadi polisi teladan bulan ini.
Tentu saja aku lebih faham bahwa ini memang bukan perbuatan di pembunuh truk es, tapi pada titik ini aku harus mampu menyetir opini ke arah berlawanan.
Apalagi bahwa bakal ada banyak mayat lagi yang bakal muncul. Jelas akan sangat mendukung rencana.
Pada saat yang sama aku juga berpeluang memberi cukup tali untuk menggantung Detektif Sofia yang menyebalkan. Setelah terpojok dan dibuat seperti idiot di muka umum, Sofia pasti akan melempar kesalahan pada orang lab yang telah memberi konklusi ngatur, dan orang itu adalah aku.
Senangnya jika situasi berjalan lancar. Segera aku telepon Nadia.
Jam setengah dua siang keesokan harinya, kutemui Nadia di restoran kecil. Kami kenal baik tempat ini. Tidak terlalu jauh dari kantor.
Wajah Nadia tampak seperti sedang belajar ekspresi muka masam dan suram secara ekstrem.
"Tolong Nad, kalau tidak berhenti, lama-lama wajah kamu terkunci begitu selamanya." Kataku memohon.
"Yang jelas tidak mirip polisi. Karena aku tidak akan jadi polisi lagi." Ketusnya.
"Omong kosong. Aku sudah janji, kan?" Kataku.
"Iya. Kamu juga janji bahwa rencana kamu bakal sukses. Bukan kamu juga yang diomeli Kapten Jackson."
"Oh, Nad. Kamu diomeli? Maafkan aku ya."
"Dante! Hidup aku jadi taruhan, nih!"
"Sudah aku bilang situasinya bakal sedikit sulit, Nad."
"Yah. Setidaknya kamu benar soal itu. Jackson bilang, aku nyaris diskors."
"Tapi dia memberi kamu izin memanfaatkan waktu luang untuk menyelidiki sendiri?"
Nadia mendengus. "Dia bilang, 'Saya tidak bisa menghentikan kamu, tapi saya kecewa sekali. Entah apa kata almarhum ayahmu.'"
"Terus kamu jawab, 'Ayah saya tidak akan pernah menutup kasus di mana orang tidak bersalah masuk penjara.' Benar?"
Nadia terperanjat. "Tidak, aku tidak bilang gitu. Tapi memang terlintas di pikiran. Kok kamu tau?"
"Tapi kamu tidak bilang begitu kan?"
"Tidak," Nadia menggeleng.
Kudorong gelas minuman ke arahnya. "Percayalah, situasi akan segera membaik."
Dia menatapku. "Kamu beneran tidak main-main, kan?"
"Astaga, tidak pernah, Adikku tersayang. Mana mungkin aku main-main soal ini."
"Justru karena aku percaya sekali padamu, Dante. Kamu bisa mempermainkan dengan mudah kalau mau."
"Ya ampun... beneran. Percayalah. Aku serius."
"Aku percaya kamu, Dante. Sumpah Demi Tuhan, entah kenapa aku percaya sekali padamu. Dan kadang hati kecilku bilang mestinya tidak boleh begitu."
Kuberi dia senyum terbaik seorang kakak. "Dalam dua atau tiga hari ke depan, bakal ada kejutan baru. Aku janji."
"Mana mungkin kamu bisa tau pasti soal itu." Tukasnya.
"Memang tidak, Nad. Dulu tidak, tapi sekarang iya. Beneran."
"Terus kenapa kamu keliatan senang sekali begitu?"
Ingin sekali kukatakan bahwa gagasan bakal ada mayat kering lagi membuat aku senang, lebih senang dari apa pun yang mungkin terlintas di kepala.
"Masa aku tidak boleh senang buat kamu, sewajarnya seorang saudara laki-laki?"
Lagi Nadia mendengus. "Heh. Selalu begitu." Tepisnya tidak percaya.
"Dengar, Nad. Pada titik ini hanya ada dua kemungkinan, entah Sofia yang benar..."
"Yang berarti riwayatku tamat dan hidupku hancur lebur." Potong Nadia.
"Atau dia salah... berarti kamu tetap hidup dan sehat walafiat. Iya, kan?"
"Hmm," gerutu Nadia dengan tampang cemberut. Padahal aku sudah luar biasa sabar.
"Kalau mau taruhan, kamu mau bertaruh bahwa Sofia benar? Iya?"
"Mungkin benar soal mode. Bajunya bagus-bagus." Jawab Nadia.
Sambil menelan makan, resah aku berkata, "Nad, kalau logika hebatku tidak mampu membuat kamu ceria, berarti memang sudah terlambat. Kamu benar-benar mati."
Nadia melotot ketus.
Makhluk malang ini sulit sekali diyakinkan. Sampai aku sedikit tersinggung. Kalau semua ini sungguh tidak mampu membuatnya tersenyum, yah aku bisa apa lagi?
Hal lain yang bisa aku lakukan adalah memberi asupan serupa buat Sofia.
Jadi, sore itu aku melongok sang Detektif di ruang kantornya.
Di meja, di pojokan bersama tumpukan buku khusus catatan Kepolisian berwarna hijau bersampul kulit, berdiri sebuah pena elegan berwarna hijau.
Sofia sedang menerima telepon. Dia melongok tanpa melihatku, lalu melengos. Tapi sejenak kemudian, matanya kembali padaku. Kali ini dia menatapku sepenuhnya. Sofia menutup telepon, berpaling ke arahku.
"Dapat apa buatku?" Semburnya tanpa basa basi.
"Perkembangan menarik," jawabku.
"Kalau maksud kamu kabar baik, berarti bisa kumanfaatkan."
"Tidak diragukan lagi, bahwa kamu telah menangkap orang yang tepat. Dan pembunuhan di Old River dilakukan oleh pelaku lain." Ujarku sambil duduk.
Sejenak dia menatap. Sungguhkah otaknya butuh selama itu menerima dan merespons informasi.
"Kamu bisa buktikan itu? Yakin?" Tanya Sofia kemudian.
Tentu saja bisa kubuktikan kalau mau. Alih-alih menjawab, kutaruh map ke atas mejanya.
"Fakta-fakta dalam berkas ini membuktikan sendiri. Tidak pelak lagi." Dengan enteng aku berbohong ria seperti ini karena tau aku tidak akan ditanyai. Dengan otak kosong khas Sofia, apa yang mau ditanyakan?
"Coba lihat ini," ujarku dengan mimik serius, menarik selembar halaman berkas dengan hati-hati. Halaman perbandingan yang sudah aku ketik sendiri.
"Pertama, korban yang ini laki-laki, ditemukan di jalan Old River. Sementara kita tau bahwa semua korban Henry Early selalu berada tidak jauh dari jalan Willow Lane. Korban yang baru ini kondisinya masih relatif utuh dan ditemukan persis di tempat dia dibunuh, sementara korban-korban Henry Early selalu dicincang total dan berpindah dari lokasi asli pembunuhan dengan maksud dibuang." Aku menjelaskan.
Sofia melahapnya semua tanpa perlawanan. Sewajarnya orang yang hanya ingin mendengar pendapatnya sendiri.
"Kesimpulannya, pembunuhan baru ini punya jejak yang khas berbau balas dendam... kemungkinan berkaitan dengan narkoba. Henry Early jelas melakukan pembunuhan yang sama sekali berbeda, dan setelah kini dia ditangkap, berarti kasusnya sudah amat sangat positif, seratus persen selesai selamanya. Tidak akan terjadi lagi. Kasus di tutup." Kataku mengakhiri seminar, kuletakkan map itu di atas meja sambil memberikan daftarku.
Sofia meraup kertas itu, ditatapi lama sekali. Lalu mengerutkan kening. Matanya bergerak naik turun sepanjang halaman beberapa kali. Dia mencibirkan bibirnya seolah merendahkan.
"Baiklah, ini cukup bagus. Bisa kupakai. Terima kasih banyak, Dante." Ujarnya.
Sofia berdiri, dia mengalungkan kedua lengan ke leherku, memeluk erat.
"Aku hargai sekali bantuan ini, Dante. Kamu membuat aku merasa... SANGAT berterima kasih." Dia berkata.
Lalu dia menggesekkan tubuhnya ke tubuhku dengan cara yang bisa diartikan sugestif. Sofia, seorang petugas yang mestinya menjaga moralitas publik, kini menggodaku di muka umum!
Sudah gilakan dunia ini? Aku sungguh tidak paham dunia manusia. Apa cuma seks dan seks melulu yang ada di pikiran mereka?
Nyaris panik, kucoba melepaskan diri. "Eh, anu... Detektif..."
Sofia memeluk dan menggosok lebih erat. Sebelah tangannya menggapai ke bawah, ke tonjolan depan celanaku. Kontak aku melonjak. Bagusnya, tindakan ini sukses melepas pelukan Sofia.
Jeleknya, tubuh Sofia terpental berputar ke sisi, pinggul membentur meja, tersandung kursi, lalu mendarat di lantai.
"Aku, eh... aku harus kembali kerja. Ada urusan, eh, penting..." dengan gugup aku beralasan.
Terlanjur tidak mampu berpikir apa-apa lagi, aku melongos dan kabur. Meninggalkan Sofia dengan tatapan kaget bin penasaran.
Plus beberapa detik tatapan terakhir yang rasanya tidak begitu ramah.