NovelToon NovelToon
TITIK NOL TAKDIR

TITIK NOL TAKDIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Berbaikan / Spiritual / Penyesalan Suami / Duniahiburan / Matabatin / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:669
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."

Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.

Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7: Janji Terpahit di Halaman Buku Doa

Ancaman dan Ikhtiar di Tengah Bahaya

Bara berjalan terseok-seok di rimbunnya hutan pulau, mencari sumber makanan. Ia semakin kurus, tulang pipinya menonjol tajam, dan otot-ototnya terkikis oleh kelaparan yang konstan. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti menempuh jarak ribuan kilometer. Pakaiannya compang-camping, dan luka di lututnya (dari insiden jatuh saat mencoba memanjat pohon kelapa) baru mengering, meninggalkan bekas menghitam.

Fokus Bara kini bukan lagi pada harapan untuk melihat kapal. Fokusnya mengecil menjadi hanya dua hal: bertahan hidup secara fisik, dan memenuhi janji spiritualnya. Ia harus segera menulis doa terpenting untuk Nirmala, sebelum terlambat.

Saat Bara mencoba menembus semak belukar yang berduri, matanya menangkap gerakan cepat di antara Akar Bakau Gergasi. Seekor ular laut berwarna gelap, kepala terangkat, siap menyerang.

Bara membeku. Ia tidak punya tenaga untuk lari. Ia hanya punya sedikit kekuatan untuk mengangkat Tongkat Musafir (yang ia gunakan untuk menopang tubuh) dan mengarahkannya ke kepala ular itu.

Ular itu mendesis, lalu dengan gerakan cepat, meluncur menjauh. Bara ambruk ke tanah.

Aku hampir mati, batin Bara, napasnya tersengal. Waktu fisikku terbatas. Hari-hari di pulau ini adalah pinjaman.

Kesadaran ini menghantamnya. Jika ia mati di pulau ini, itu bukan kegagalan. Kegagalan sejati adalah jika Mala, putrinya yang paling sunyi, harus hidup dengan keyakinan bahwa ia tidak cukup penting bagi Ayahnya untuk pulang. Ia teringat luka Mala yang diam-diam menguping pembicaraan Rina di telepon, saat Rina mengatakan peluang Bara tidak ditemukan memang besar.

Aku harus memberikan segalanya padanya, bahkan jika itu hanya janji yang ditulis di kertas basah. Monolog internal Bara kini sepenuhnya terfokus pada keluarganya, terutama pada Nirmala yang Invisible Wound-nya harus segera ia sembuhkan dari jarak jauh.

Halaman Terpahit untuk Nirmala

Dengan sisa tenaga, Bara merangkak kembali ke Cadas Sunyi. Ia menjatuhkan diri di atas batu yang datar, menghadap lautan lepas. Ia mengambil pensil pendek Mala. Pensil itu tumpul, bekas digigit-gigit oleh Mala saat sedang berpikir. Pensil itu adalah simbol yang paling ia miliki.

Bara membuka halaman tengah buku itu, tempat ia belum pernah menulis apa pun. Halaman itu terasa dingin dan kosong. Ia akan mendedikasikan satu halaman penuh, Ikhtiar Tertinggi, khusus untuk Nirmala.

Ia mulai menulis dengan tangannya yang gemetar. Gaya doanya puitis dan fokus, bukan meminta keselamatan untuk dirinya sendiri, melainkan validasi bagi Mala.

“Ya Allah, Tuhan yang memegang takdir di tengah laut,” tulis Bara. “Aku yang terdampar, hamba yang lemah ini, tidak meminta lagi untuk diselamatkan. Aku hanya memohon, dengan setulus hati yang tersisa, sampaikan kepada Nirmala, puteriku yang sunyi, bahwa ia adalah titik koordinat terpenting dalam takdirku.”

Bara berhenti sejenak, menelan ludah. Ia melanjutkan, kata-katanya mengalir dari lubuk rasa bersalah yang terpendam karena telah mengabaikan putrinya.

“Jangan biarkan ia berpikir ia tidak dicintai, tidak didengar, atau tidak penting. Aku tahu ia terluka karena ketiadaanku, dan ia menyimpulkan bahwa ia tidak layak mendapatkan perhatian.”

“Jika aku harus mati di sini, biarkan janji yang tertulis dengan pensil pendeknya ini menjadi bukti cinta terakhirku. Semoga janji ini menjadi cermin baginya, di mana ia melihat dirinya sebagai alasan terkuat di balik Tawakal Murni-ku.”

Bara menutup kalimatnya dengan nama Nirmala. Ia telah menuliskan janji spiritual yang paling suci, janji yang tidak dapat ia penuhi secara fisik, melainkan hanya melalui keyakinan mutlak.

Realitas Magis di Cadas Sunyi

Bara menutup buku itu. Ia bersandar di Cadas Sunyi, kelelahan total, tetapi hatinya terasa ringan, seolah beban bersalah yang ia pikul selama ini telah terangkat. Ia memejamkan mata.

Sesaat kemudian, Bara membuka mata. Ia melihat pinggiran halaman yang baru ia tulis itu mengeluarkan cahaya samar, seperti pendaran cahaya kehijauan tipis yang berdenyut pelan di kertas yang lembap. Pendaran itu menghilang secepat ia datang, tetapi dampaknya pada Bara sangat nyata.

Bara menarik napas dalam.

Terkirim. Doa itu sudah terkirim.

Bara menafsirkan pendaran itu sebagai konfirmasi menenangkan bahwa janji spiritualnya telah mencapai dimensi takdir yang lain. Ia telah melakukan ikhtiar tertinggi, dan kini ia harus menunggu hasil dari keyakinan mutlaknya.

Kunjungan Formal Bapak Harjo

Ribuan kilometer jauhnya, Rina sedang menyiapkan Arka dan Mala untuk tidur siang. Ia masih diliputi kegelisahan setelah insiden Mala menguping pembicaraannya di telepon.

Bel rumah berbunyi. Rina merasa cemas. Ia melihat melalui lubang intip. Seorang pria berpakaian formal, mengenakan kemeja rapi dan membawa tas kerja kulit, berdiri di depan pintu.

Itu Bapak Harjo, Agen Asuransi.

Rina menenangkan diri. Ia tahu kunjungan ini tidak terhindarkan. Ia membuka pintu dengan sikap formal.

“Selamat siang, Bu Rina. Maaf mengganggu,” kata Bapak Harjo, nadanya profesional, tanpa empati berlebihan.

“Silakan masuk, Pak Harjo,” jawab Rina, mengarahkan Harjo ke ruang tamu yang kini terasa suram.

Mereka duduk. Bapak Harjo mengeluarkan berkas-berkas dari tasnya.

“Saya datang untuk menindaklanjuti batas waktu hukum yang berlaku, Bu Rina,” kata Harjo.

Harjo menjelaskan prosedur hukum hilangnya Bara. Ia menjelaskan bahwa secara hukum, setelah periode tertentu (yang sebentar lagi akan berakhir), Rina harus memutuskan apakah akan mengajukan akta kematian Bara.

“Saya tahu ini sulit, Bu Rina, tetapi ini adalah prosedur wajib untuk mengurus dana asuransi dan dana pensiun suami Anda,” Harjo menjelaskan. “Dan ini adalah Batas Waktu Hukum. Anda tidak bisa menundanya lagi.”

Pilihan yang Menekan Martabat

Rina menatap berkas di meja. Mengajukan akta kematian terasa seperti pengkhianatan spiritual. Itu sama saja dengan menandatangani kematian Bara, padahal Rina sering merasakan Divine Echo yang samar dan melihat respons aneh Arka (setelah Bara berdoa agar Arka merindukannya).

“Apakah tidak ada cara lain, Pak Harjo? Saya yakin suami saya masih hidup,” tanya Rina, suaranya sedikit bergetar.

Bapak Harjo menghela napas. “Secara pribadi, saya berharap demikian, Bu Rina. Tapi secara logika finansial dan hukum, Anda harus bertindak sekarang. Jika Anda menunda statusnya lebih lama, Anda tidak akan mendapat bantuan finansial sama sekali. Dan anak-anak Anda, terutama Arka yang membutuhkan biaya besar, akan semakin menderita.”

Dialog Harjo menekankan logika kerugian secara brutal. “Ini adalah keputusan logis, Bu Rina. Anda punya anak yang harus dihidupi. Kebutuhan mereka lebih nyata daripada keyakinan spiritual yang tidak memiliki dasar hukum.”

“Tapi, Pak, bagaimana dengan martabat saya? Jika saya mengajukan akta kematian, itu artinya saya menyerah pada suami saya,” Rina berbisik, matanya berkaca-kaca.

“Anda tidak menyerah, Bu. Anda memilih anak-anak Anda. Anda memilih keutuhan mereka. Mengurus Arka dan Nirmala harus menjadi prioritas.”

Rina merasa ditekan oleh logika dan kebutuhan nyata anak-anaknya. Perkataan Harjo menghancurkan martabatnya sebagai istri yang setia pada janji spiritualnya. Ia merasa ia harus memilih antara imannya dan keselamatan finansial keluarganya.

“Beri saya waktu, Pak. Hanya sampai malam ini,” pinta Rina.

Harjo mengangguk. Ia meninggalkan semua berkas di meja, termasuk formulir permohonan akta kematian yang harus ditandatangani Rina.

Monolog Martabat di Tengah Berkas Hukum

Bapak Harjo telah pergi, meninggalkan Rina dalam keheningan yang dipenuhi kertas-kertas hukum. Formulir permohonan akta kematian Bara tergeletak di meja, sebuah simbol kekalahan yang harus ia tandatangani. Rina duduk di sofa, seluruh tubuhnya terasa dingin, berlawanan dengan kehangatan samar yang sempat ia rasakan saat salat.

Bagaimana aku bisa melakukan ini? batin Rina. Aku sudah berjanji pada Bara. Aku tidak akan pernah menganggapnya hilang. Tapi, bagaimana dengan anak-anak?

Ia berdiri, berjalan pelan menuju kamar Mala. Ia melihat putrinya itu tertidur, memeluk erat boneka lamanya. Air mata yang Mala sembunyikan kini seolah terpancar, menekan Rina.

Mala sudah merasa tidak penting. Jika aku menandatangani ini, berarti aku secara resmi menyatakan Ayahnya tidak akan kembali. Aku akan menghancurkan harapan terakhirnya, dan mengunci luka inti yang baru saja menganga.

Rina kembali ke ruang tamu. Ia menatap formulir itu. Logika berkata: Tanda tangani saja. Dapatkan asuransi itu. Selamatkan Arka. Selamatkan rumah ini. Tetapi, bisikan spiritualnya, Divine Echo, berkata sebaliknya: Bersabarlah. Jangan khianati tawakal murni Bara yang sedang berikhtiar.

Ia meraih ponselnya. Ia ingin memanggil Bunda Ida, mencari nasihat. Namun, ia tahu nasihat apa yang akan ia dapatkan—nasihat yang dingin, logis, dan menyuruhnya menyerah.

Rina memutuskan untuk berdoa. Ia mengambil wudu, berdiri di atas sajadah, dan melaksanakan salat dua rakaat. Ia tidak meminta jawaban. Ia hanya meminta kekuatan untuk memilih martabat suaminya di atas logika finansial.

Intervensi Logis dari Bunda Ida

Sore menjelang magrib, Rina sedang melipat mukena, berjuang mencari ketenangan dari doa. Pintu terbuka. Bunda Ida, yang seolah memiliki intuisi aneh akan krisis Rina, masuk tanpa dikawal.

“Aku dengar Harjo ke sini,” kata Bunda Ida tanpa basa-basi. Ia langsung melihat berkas-berkas di meja. “Sudah kau tanda tangani?”

Rina menggeleng, menyimpan mukenanya. “Belum, Bu. Saya minta waktu sampai malam ini.”

Bunda Ida berjalan ke meja, mengambil pena, dan meletakkannya di sebelah formulir akta kematian. Nada suara Bunda Ida datar, penuh kekecewaan.

“Rina, kenapa kamu mempersulit diri sendiri? Ini bukan soal keyakinanmu yang tidak jelas. Ini soal anak-anakmu. Kamu tahu tagihan Arka mendesak. Harjo memberimu batas waktu. Kamu harus realistis.”

“Saya tahu, Bu. Tapi saya yakin Bara akan kembali. Saya merasakan sesuatu.”

Bunda Ida mendengus. “Merasa apa? Itu halusinasi, Rina. Halusinasi karena kamu kurang tidur dan terlalu lelah mengurus rumah. Kamu mau anak-anakmu melihat ibunya gila, atau melihat ibunya kompeten?”

“Martabat saya, Bu,” potong Rina, suaranya naik. “Jika saya menandatangani ini, saya menyatakan Bara sudah mati. Saya mengubur martabat saya sebagai istrinya, dan martabat dia sebagai Ayah.”

Bunda Ida menatap Rina tajam. “Martabat apa yang kamu bicarakan, Rina? Martabat itu tidak mengisi perut anakmu. Martabat itu tidak membayar terapi Arka. Sebaliknya, menunda ini merusak keutuhan keluarga. Kamu mempertaruhkan rumah ini, hanya karena perasaan.”

Rina memejamkan mata. Ia tahu Bunda Ida benar dari sudut pandang duniawi. Tetapi ia tidak bisa mengkhianati Bara.

“Saya tidak bisa, Bu,” ujar Rina lirih. “Biarkan saya ikhtiar sendiri. Saya akan mencari uang dari menjual makanan daring.”

“Kapan? Kapan kamu akan berhasil? Setelah rumah ini disita?” Bunda Ida mengangkat berkas-berkas Harjo. “Tanda tangani ini sekarang, Rina. Dapatkan uang asuransi. Biar Ibu yang urus sisanya. Kamu fokus pada Arka dan Mala.”

“Tidak!” Rina mengambil berkas itu kembali. “Saya akan menahan ini. Saya akan menjual perhiasan itu dulu. Saya akan lakukan apa pun kecuali menandatangani ini.”

Rina memilih Martabatnya, yang secara tidak langsung adalah memilih harapan spiritual atas logika finansial.

“Baik, Rina. Jika kamu tidak mau mendengarkanku, jangan pernah minta bantuanku lagi,” ancam Bunda Ida. Ia tahu ancamannya serius, karena Bunda Ida adalah satu-satunya sumber dukungan logistik Rina selama ini.

“Saya akan bertanggung jawab, Bu,” jawab Rina, lelah, tetapi teguh.

Bunda Ida menggeleng, kecewa. Ia bangkit dan berjalan keluar tanpa mengucapkan salam. Rina terduduk lemas di sofa. Ia telah memenangkan pertarungan melawan Bunda Ida, tetapi ia telah kehilangan satu-satunya jaring pengaman finansialnya.

Kelelahan Bara Setelah Janji Spiritual

Jauh di Pulau Sunyi, Bara merasakan efek dari ikhtiar spiritualnya yang intens. Setelah melihat pendaran kehijauan yang ia anggap sebagai konfirmasi doa untuk Mala, ia merasa kelegaan mental yang luar biasa, tetapi fisiknya ambruk.

Ia berusaha mencari air, tetapi tubuhnya hanya mampu merangkak beberapa meter. Bara tersandar lemas pada sebatang pohon kelapa, lututnya yang terluka terasa sakit, dan kepalanya berdenyut.

Ia memeluk Buku Doa Musafirnya. Pensil pendek Mala masih terselip di halaman itu. Bara tahu ia harus menyembunyikan buku itu, melindunginya dari air atau hujan yang mungkin datang. Halaman yang berisi Janji Terpahit untuk Nirmala itu adalah harta paling berharga yang ia miliki.

Dengan mata setengah tertutup, Bara memaksakan diri untuk menggali sedikit pasir di bawah pohon Bakau Gergasi. Ia menyembunyikan buku itu di sana, melindunginya dari kelembapan dan hewan.

Selamat tinggal, Mala. Sampai janji itu terpenuhi.

Bara ambruk sepenuhnya, tertidur karena kelelahan, bukan karena kedamaian. Ia tidak tahu bahwa dalam tidurnya yang nyenyak, ia tidak lagi memeluk buku itu, melainkan hanya memeluk tongkatnya yang usang.

Malam tiba di rumah Rina. Rina duduk di depan meja, di antara berkas-berkas hukum yang tidak ia tanda tangani. Ia mengambil kotak perhiasan kecilnya dari lemari. Perhiasan emas itu kini menjadi satu-satunya aset likuid yang ia miliki. Ia menatapnya lama. Ia tahu keputusan untuk menjual perhiasan itu harus segera diambil.

Aku akan coba bertahan sampai besok pagi, batin Rina. Jika tidak ada petunjuk lagi, aku harus menjualnya.

Rina kembali merasakan aroma parfum Bara yang samar, hanya sekilas, di tengah heningnya malam. Bau itu muncul dan menghilang dengan cepat, sebuah Divine Echo yang menenangkannya, dan meyakinkannya bahwa Bara masih berikhtiar di suatu tempat.

Ia mengambil surat permohonan akta kematian itu, melipatnya, dan menyimpannya jauh di dalam laci. Ia telah berhasil melewati ujian hukum dan konflik dengan Bunda Ida. Ia telah memilih untuk menjaga martabat Bara dan harapan anak-anaknya.

Di Pulau Sunyi, Bara tidur pulas di bawah naungan pohon Bakau Gergasi. Ia telah kehilangan kesadaran fisik, tetapi janji spiritualnya telah tertulis di halaman buku, tersembunyi di dalam pasir. Ia tidak sadar bahwa di tengah tidurnya, pensil Mala yang ia gunakan untuk menulis janji itu mulai bergerak samar, sedikit demi sedikit terlepas dari tangannya, jatuh di antara celah batu dan pasir yang longgar.

1
Tulisan_nic
semangat Bara,kamu harus bangkit segera.Keluarga menunggumu
Tulisan_nic
setuju sih,di waktu yg mendesak begitu,apa lagi anaknya demam tinggi. Lebih masuk akal menjual perhiasan dr pada cari kerja
Kartika Candrabuwana
bab 26 keren
Kartika Candrabuwana
bsb 25 keten
Kartika Candrabuwana
bab 24 keren😍
Kartika Candrabuwana
bab 23 keren😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 22 ok👍
Tulisan_nic
Belum baca keseluruhan isi novel ini,tapi dari awal baca sudah mendapat banyak pelajaran tentang tawakal sesungguhnya,semangat berkarya Author.Aku kasih rate 5 biar semakin bersemangat /Rose//Rose//Rose//Rose//Rose/
Kartika Candrabuwana: terima kasih. 😍👍
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
iya betul😍
Tulisan_nic
Definisi ikatan batin suami istri
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Tulisan_nic
Ketika ujian hidup terasa sangat sulit😭
Kartika Candrabuwana: anak autis sungguh ujian yang berat/Sob/
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
bab 21 luar biasa.
Kartika Candrabuwana
istri yang tegar😍👍
Kartika Candrabuwana
kasihan sekali. semangat bara💪
Tulisan_nic
semakin seru,semangat Thor🫶
Kartika Candrabuwana: ok..semangat👍
total 1 replies
Tulisan_nic
semoga mustajab Do'a seorang Bapak
Kartika Candrabuwana: amiin👍
total 1 replies
Tulisan_nic
Titik pencapaian paling sakral
Kartika Candrabuwana: tawakal total
total 1 replies
Tulisan_nic
Benar adanya,setiap orang yang merasa ajal di depan mata yang terfikirkan adalah bagaimana ia memperlakukan orang-orang yang di cintainya. Semangat Bara...kau akan menemukan daratan!
Kartika Candrabuwana: saya coba menyentuh hati tiap pembaca🙏
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
luar biasa teguh👍😍🤣
Kartika Candrabuwana
kalinat yang sangat menyenuh hati/Sob//Sob/😍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!