Hidup Naura yang sudah menderita itu, semakin menderita setelah Jessica anak dari Bibinya yang tidak sengaja menjebak Naura dengan seorang pria yang dikenal sebagai seorang preman karena tubuhnya yang penuh dengan tato, berbadan kekar dan juga wajah dingin dan tegas yang begitu menakutkan bagi warga, Naura dan pria itu tertangkap basah berduaan di gubuk hingga mereka pun dinikahkan secara paksa.
Bagaimana kelanjutannya? siapakah pria tersebut? apakah pria itu memang seorang preman atau ada identitas lain dari pria itu? apakah pernikahan mereka bisa bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elaretaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Akan Membahagiakanmu
Naura menelan ludah, wajahnya memerah sempurna. Pertanyaan Aiden terasa begitu mendadak dan pribadi, berbeda dengan percakapan ringan tentang nasi goreng barusan.
"Mas... Mas kenapa tiba-tiba nanya begitu?" Naura berusaha mengalihkan pandangan, merasa canggung.
"Kenapa memangnya? apa ada yang salah?" tanya Aiden.
"Gak ada sih, tapi ya terasa aneh aja, Mas," ucap Naura.
"Aneh? apanya yang aneh?" tanya Aiden.
"Ya, po-pokoknya aneh aja," jawab Naura yang begitu gugup, ditambah Aiden saat ini menatap lekat dirinya.
Aiden menyadari kegugupan istrinya, ia tersenyum tipis, senyum yang jarang ia tunjukkan dan mampu meluluhkan Naura, Aiden meraih tangan Naura yang masih memegang piring kosong.
"Gak ada yang aneh kok, pertanyaan itu wajar untuk pasangan suami istri, Naura. Lagipula, aku melihatmu antusias sekali dengan nasi goreng merahmu itu," goda Aiden, suaranya kini lebih lembut.
"Ya, tapi kan kita menikah baru, Mas dan pernikahan kita kan juga karena terpaksa bukan atas dasar suka," ujar Naura, meskipun dalam hati ia tak menampik bahwa ia pun memimpikan memiliki keluarga utuh bersama pria di sampingnya ini.
Aiden menarik napas, matanya menatap Naura dengan intensitas yang membuat jantung Naura berdebar. Tatapan itu bukan lagi tatapan cuek hang biasa Aiden berikan melainkan tatapan yang lebih dalam, lebih serius tatapan seorang suami pada istrinya.
"Naura, aku tahu pernikahan kita dimulai dari insiden yang kurang mengenakkan. Kita terpaksa bersama. Tapi kamu adalah istriku sekarang, aku menghargaimu dan aku menghormati status ini. Aku juga tahu, selama ini aku selalu menjaga jarak, aku takut membuatmu merasa tidak nyaman. Tapi, apakah kamu tidak pernah berpikir, bahwa sudah waktunya kita menjalani pernikahan ini seutuhnya?" tanya Aiden, penuh harap, namun ada nada hati-hati di suaranya.
Naura merasakan pipinya makin panas, ini adalah momen yang selama ini ia hindari, namun sekaligus ia tunggu. Selama mereka hidup bersama bahkan mereka tidur di kamar yang sama, namun terpisah oleh sebuah bantal guling yang berfungsi sebagai pembatas tak terlihat. Aiden selalu bersikap sopan, nyaris kaku dan tidak pernah menyentuhnya melebihi batas wajar.
"Mas..." Naura kesulitan menemukan kata-kata untuk membalas perkataan sang suami.
"Kita sudah sah di mata Tuhan, negara dan warga desa, Naura. Aku... aku ingin mencoba menjalani ini denganmu, aku ingin Naura menjadi istriku seutuhnya," ucap Aiden, jujur dari lubuk hatinya.
Keputusan besarnya untuk kembali ke kota telah ia ambil dan sebelum badai besar itu datang, ia ingin mengikat Naura lebih erat dalam hidupnya, ia ingin memiliki Naura sepenuhnya.
Aiden meletakkan piring Naura di meja kecil, lalu perlahan bangkit, menarik Naura agar ikut berdiri di hadapannya.
"Malam ini, aku tidak ingin ada batas di antara kita," bisik Aiden, suaranya serak dan memberikan jeda beberapa detik, memberi Naura kesempatan untuk menolak.
Naura mendongak, menatap mata Aiden. Di mata itu, Naura tidak melihat paksaan, melainkan ketulusan yang selama ini ia rindukan. Hatinya yang sederhana berbisik: Ia adalah suamimu, Naura.
Perlahan, Naura menganggukkan kepalanya, sangat pelan, namun penuh makna. "Iya, Mas," jawab Naura, suaranya hampir tak terdengar.
Senyum lega dan syukur terukir di wajah Aiden, ia mendekap Naura, merasakan kehangatan dan getaran tubuh istrinya.
"Terima kasih, Sayang," ucap Aiden, menggunakan panggilan yang baru kali ini ia ucapkan.
Aiden kemudian mematikan lampu di dapur dan menuntun tangan Naura, berjalan beriringan menuju kamar mereka, tempat di mana mereka akan memulai babak baru dalam pernikahan mereka. Malam itu, di bawah keremangan cahaya bulan yang masuk dari jendela kamar, dinding pembatas di hati dan fisik mereka akan runtuh.
Aiden menuntun Naura memasuki kamar mereka, meskipun kamar ini telah menjadi saksi bisu kebersamaan mereka selama ini, malam ini aura kamar ini memiliki aura yang terasa benar-benar berbeda.
Naura merasakan detak jantungnya menggila, ia gugup, namun ada rasa bahagia dan haru yang melingkupinya. Lampu kamar sudah dimatikan, hanya menyisakan cahaya lembut dari lampu tidur kecil di nakas dan keremangan cahaya bulan yang menembus tirai tipis.
Aiden melepaskan genggamannya sejenak, beralih menyentuh wajah Naura. Jemarinya yang hangat dan kokoh menyusuri pipi Naura dengan sangat lembut, seolah Naura adalah benda paling rapuh di dunia.
"Naura, aku tahu aku belum menjadi suami yang sempurna. Aku minta maaf atas semua jarak yang aku ciptakan," bisik Aiden, suaranya kini lebih mendalam dan penuh emosi.
Naura menggeleng pelan, memejamkan mata saat ibu jari Aiden membelai tulang pipinya. "Jangan bicara begitu, Mas. Mas sudah baik sama aku," ucap Naura.
Aiden mendekat, menurunkan wajahnya. Ia tidak terburu-buru, memberikan waktu bagi Naura untuk sepenuhnya siap. Aiden menatap bibir istrinya sejenak sebelum menempelkannya dengan sangat lembut, c*uman itu dimulai dengan kehati-hatian, sebuah janji, sebuah pengakuan tanpa kata-kata.
Naura membalas c*uman itu, meletakkan tangannya di dada bidang Aiden, merasakan detak jantung suaminya yang berpacu kencang, seirama dengan detak jantungnya sendiri. Semua kegugupan perlahan menghilang, tergantikan oleh gelombang kasih sayang dan keintiman yang hangat.
Aiden menarik diri sedikit, tatapan matanya bersinar karena pantulan cahaya bulan. Ia menatap mata Naura lekat-lekat, menyalurkan semua hasrat yang sudah ada sejak tadi.
Perlahan, Aiden membawa Naura mendekat ke ranjang. Ia mendudukkan Naura di tepi kasur. Kemudian, dengan gerakan yang anggun dan lembut, ia menyingkirkan rambut panjang Naura dari bahunya. Ia berlutut di depan Naura, mengambil kedua tangan istrinya dan mencium punggung tangan Naura.
"Aku janji, aku akan membahagiakanmu, aku akan memberikan kehidupan yang layak untukmu. Aku janji, mulai malam ini aku akan menjagamu dengan seluruh jiwa dan ragaku," janji Aiden dengan begitu tulus.
Naura tak mampu berkata-kata, hanya air mata bahagia yang mengalir di pipinya, ia menarik Aiden untuk berdiri. Aiden berdiri dan menangkup wajah Naura, ia mengusap air mata istrinya dengan ibu jari, lalu menc*um kening Naura lama sekali, c*uman yang terasa seperti sebuah doa dan pengukuhan bahwa Naura adalah miliknya dan ia adalah milik Naura.
Di bawah cahaya rembulan yang romantis, Aiden melepaskan pakaian sederhana yang dikenakan Naura dengan gerakan yang sangat lembut dan penuh hormat, setiap sentuhan terasa hati-hati dan memuja.
Malam ini, Aiden tidak hanya menjadikan Naura istrinya seutuhnya, tapi juga menjadikan Naura satu-satunya cahaya dan alasan mengapa ia bersedia menghadapi kembali kegelapan masa lalunya di kota. Malam ini adalah saksi bisu bersatunya dua jiwa yang dipersatukan oleh takdir yang unik, mengikatkan ikatan mereka lebih dalam sebelum badai besar dari masa lalu Aiden datang.
.
.
.
Bersambung.....