Dituduh pembunuh suaminya. Diusir dari rumah dalam keadaan hamil besar. Mengalami ketuban pecah di tengah jalan saat hujan deras. Seakan nasib buruk tidak ingin lepas dari kehidupan Shanum. Bayi yang di nanti selama ini meninggal dan mayatnya harus ditebus dari rumah sakit.
Sementara itu, Sagara kelimpungan karena kedua anak kembarnya alergi susu formula. Dia bertemu dengan Shanum yang memiliki limpahan ASI.
Terjadi kontrak kerja sama antara Shanum dan Sagara dengan tebusan biaya rumah sakit dan gaji bulanan sebesar 20 juta.
Namun, suatu malam terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Sagara mengira Shanum adalah Sonia, istrinya yang kabur setelah melahirkan. Sagara melampiaskan hasratnya yang ditahan selama setelah tahun.
"Aku akan menikahi mu walau secara siri," ucap Sagara.
Akankah Shanum bertahan dalam pernikahan yang disembunyikan itu? Apa yang akan terjadi ketika Sonia datang kembali dan membawa rahasia besar yang mengguncang semua orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Ternyata kemarin ada satu bab terlewat, Jadi kalau mau baca Bab 9.
***
Sejak kejadian di mall kota, Shanum lebih banyak diam. Setiap kali ia menatap wajah Sagara, hatinya seakan diremas.
Malam-malam setelah itu berubah sunyi. Di rumah besar yang biasanya dipenuhi tawa mereka saat bermain bersama si kembar, kini hanya terdengar detak jam dinding dan sesekali helaan napas Shanum yang menahan perasaan. Ia sibuk menidurkan anak-anak, mencuci botol susu, membereskan mainan. Semua ia lakukan agar pikirannya tidak terus kembali pada satu nama, Sagara.
Namun setiap kali mendengar langkah kaki pria itu di koridor, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu, meski mereka tinggal di bawah atap yang sama, jarak di antara mereka seperti tembok tak kasatmata.
Sagara juga merasa ganjil. Di ruang kerjanya, tatapannya sering kosong. Ia menatap foto Sonia di meja, lalu pandangan itu perlahan berpindah ke arah jendela kaca yang memperlihatkan langit malam.
"Aku sudah berusaha menjaga jarak, tapi kenapa justru semakin ingin mendekat? Apakah ini perasaan rindu juga, ya?" batin Sagara.
Beberapa malam, ia memandangi jendela tempat cahaya kamar Shanum menyala redup. Di balik kaca itu, mungkin Shanum sedang berbaring, atau sedang memikirkan dirinya. Ia ingin mengetuk pintu itu, tetapi tangannya selalu berhenti di udara.
Sampai suatu malam, saat hujan turun rintik-rintik, Shanum keluar ke taman belakang rumah. Hanya mengenakan sweater tipis, ia duduk di kursi kayu sambil menatap langit mendung. Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
Suara langkah mendekat membuatnya tersentak. “Kenapa di luar, sendirian begini?” Suara berat itu begitu ia kenal.
Shanum buru-buru menyeka air matanya. “Hanya ingin udara segar, Mas,” jawabnya pelan, berusaha tenang.
Namun, Sagara memperhatikan wajahnya yang sembab. “Kau menangis,” katanya pelan, tetapi sarat akan ketegasan.
Shanum terdiam. “Tidak apa-apa.”
“Kau masih memikirkan mereka? Bu Elia dan Alana?”
Shanum menggeleng. “Aku sudah terbiasa dihina. Tapi yang membuatku sesak adalah kenyataan bahwa aku tidak bisa mengakui siapa diriku sebenarnya.”
Sagara menatapnya lama. Di bawah sinar lampu taman yang kekuningan, wajah Shanum terlihat rapuh. Hatinya bergetar. Ia ingin memeluknya, tapi akal sehat menahannya.
“Kau tahu alasanku merahasiakan itu,” ucap Sagara pelan.
“Aku tahu, Mas. Tapi kadang aku merasa seperti bayangan di rumah ini. Ada, tapi tidak dianggap. Menjadi istri tapi tidak bisa dipanggil begitu di depan siapa pun.”
Suara hujan semakin deras. Sagara mendekat, tapi masih menjaga jarak. “Aku tidak ingin kau terseret dalam masa laluku. Sonia masih ada dan aku tidak ingin orang menuduhmu sebagai wanita yang merebut sesuatu yang bukan milikmu.”
Shanum menunduk. “Lalu aku ini siapa, Mas?” Suaranya bergetar. “Ibu untuk anak-anakmu, tapi bukan istri untukmu? Perempuan yang kau datangi kamar ku hanya saat butuh melampiaskan hasratmu, tapi kau sembunyikan aku saat siang datang?”
Sagara menatapnya dengan mata yang sulit dijelaskan. Ada luka, ada penyesalan. “Kau lebih dari itu, Shanum.”
“Kalau begitu buktikan,” balas Shanum cepat, air matanya jatuh lagi. “Jangan hanya bilang aku berarti bagi dirimu, tapi di depan orang lain menganggapku bukan siapa-siapa.”
Keheningan menyelimuti mereka. Hujan kini turun deras, mengguyur taman, membuat dedaunan bergetar. Sagara menatap Shanum yang masih duduk kaku. Ia lalu melepaskan jasnya, menaruh di bahu Shanum.
“Kau kedinginan.”
“Tidak seberapa dibanding hati ini,” bisik Shanum lirih.
Sagara menghela napas panjang, lalu berjongkok di depannya. “Shanum ....” Suaranya melembut, “aku tidak tahu sejak kapan perasaanku berubah. Tapi setiap kali melihatmu dengan anak-anak, melihat ketulusanmu, aku takut. Takut karena aku mulai mencintaimu dengan cara yang berbeda.”
Shanum mendongak, mata mereka bertemu. Ada perasaan yang selama ini mereka sembunyikan, kini meluap tanpa bisa dicegah.
“Kalau benar begitu,” ujar Shanum hampir berbisik, “kenapa kita menyembunyikan hubungan ini?”
Sagara menatapnya lama, lalu berdiri. “Karena aku takut tidak adil. Aku masih menyimpan cinta untuk Sonia, tapi aku juga ingin melindungimu.”
“Dan aku lelah jadi rahasia,” balas Shanum dengan nada getir. “Aku hanya ingin dicintai tanpa harus dibandingkan.”
Sagara terdiam lama. Angin malam berembus pelan, membawa suara hujan dan aroma tanah basah. Lalu ia mengulurkan tangan, menuntun Shanum berdiri. “Ikut aku.”
Mereka masuk ke dalam rumah. Lampu ruang tamu redup, hanya cahaya kuning dari dinding yang menyinari langkah mereka. Shanum mengikuti tanpa kata, jantungnya berdebar kencang.
Di depan pintu kamar Sagara, pria itu berhenti. “Malam ini, aku ingin bicara tanpa jarak.”
Shanum terdiam, tapi tidak menolak. Ia tahu, malam ini bukan tentang tubuh, tetapi tentang hati yang selama ini bersembunyi di balik ego dan rasa bersalah.
Di dalam kamar, Sagara duduk di sisi ranjang, sementara Shanum berdiri kaku di depan meja rias.
“Lihat aku,” ucap Sagara.
Shanum menatapnya, pelan.
“Aku tidak akan berjanji hal manis. Tapi aku ingin kau tahu setiap kali aku memandangmu, aku merasa seperti pulang.”
Kata-kata itu memecah bendungan di dada Shanum. Air matanya jatuh, tetapi bibirnya tersenyum samar.
“Dan aku selalu menunggu pulangnya seseorang yang entah kapan tidak akan kembalikan. Atau mungkin tak akan pernah datang kembali,” ucapnya jujur.
Sagara berdiri, berjalan mendekat, lalu menatapnya dalam. “Mungkin aku bukan lelaki terbaik, tapi jika mencintaimu adalah kesalahan, aku rela menanggungnya.”
Shanum menutup mata, membiarkan air matanya jatuh lagi. “Lalu apa artinya ini semua, Mas?”
“Artinya,” bisik Sagara, “aku sudah kalah dari perasaanku sendiri.”
Sagara merengkuh Shanum perlahan ke dalam pelukannya. Hujan masih turun di luar, tetapi di dalam kamar itu, keheningan berubah menjadi kehangatan yang menenangkan.
Shanum menyandarkan kepalanya di dada Sagara, mendengar detak jantungnya yang berirama cepat. Untuk pertama kalinya, Sagara tidak merasa bersalah dan Shanum tidak merasa kecil.
Dalam diam itu, mereka tahu bahwa cinta tidak selalu datang di waktu yang tepat, tapi selalu menemukan tempatnya sendiri. Malam itu, Sagara membelai rambut Shanum dengan lembut.
“Mulai malam ini, aku ingin memperlakukanmu seperti seharusnya seorang suami memperlakukan istrinya,” kata Sagara perlahan.
Shanum mengangkat wajahnya. “Tanpa sembunyi-sembunyi?”
“Tanpa sembunyi-sembunyi,” jawab Sagara mantap. “Aku akan bicara pada kedua orang tuaku dan para penghuni rumah. Aku tak ingin lagi kau merasa seperti bayangan di rumahku.”
Shanum menatapnya, antara percaya dan takut. “Tapi Mas—”
Sagara menyentuh bibir Shanum lembut, tetapi menuntut. Tautan itu terpisah setelah beberapa detik.
“Tidak apa. Aku akan menanggung risikonya. Karena kau sudah terlalu lama menanggung semuanya sendirian.”
Mereka berdua terdiam, hanya suara hujan yang menjadi saksi. Lalu, perlahan Sagara mendekat dan mengecup kening Shanum, lama dan penuh makna.
“Aku mencintaimu, Shanum,” bisik Sagara.
Shanum membalas dengan senyum kecil yang gemetar. “Aku juga mencintaimu, Mas.”
Malam itu, untuk pertama kalinya, Shanum merasa dirinya benar-benar dimiliki oleh Sagara. Bukan sebagai ibu susu, bukan sebagai istri rahasia, tetapi sebagai seorang istri yang dicintai.
Ini juga pertama kalinya Sagara membawa masuk Shanum ke kamar tidurnya yang selama ini dilarang dimasuki oleh orang lain. Mereka berbagi peluh dengan perasaan penuh cinta.
"Mulai sekarang kamu sudah menjadi milikku seutuhnya," bisik Sagara dengan mesra dan Shanum hanya bisa mengangguk.
Di luar, hujan berhenti perlahan dan menyisakan hawa dingin. Sedangkan di dalam rumah ada dua hati yang lama berjarak akhirnya bersatu menemukan rumahnya sendiri.
Seperti nya Shanum yng bakal ketiban pulung nih 😠😠😠
Trus siapa yg menukar bayi Sonia dengan bayi Shanum ?