Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.
Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.
Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.
Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bagian 6
Sebelum resepsi dimulai, Hendrawan melangkah menyusuri lorong belakang gedung. Wajahnya tenang, tapi langkahnya tegas menyimpan amarah yang belum reda. Di ujung lorong, Sadewa berdiri sendiri, membenahi jasnya di depan cermin, seolah tak terjadi apa pun hari ini.
“Hentikan sebentar,” suara Hendrawan rendah namun mengandung tekanan. “Saya perlu bicara. Empat mata.”
Sadewa menoleh. Tatapannya datar. Ia mengangguk singkat.
Hendrawan berdiri tepat di depannya. Jarak mereka dekat cukup dekat untuk merasakan ketegangan yang mengeras di udara.
“Saya tidak akan berputar-putar,” ujar Hendrawan. “Mulai hari ini, kamu adalah suami Bianca. Dan satu hal yang harus kamu ingat jangan pernah menyakitinya.”
Sadewa menghela napas pendek, seperti menahan senyum. Hendrawan melanjutkan, suaranya makin dingin.
“Dan dengar baik-baik,” katanya menekan tiap kata. “Kamu tidak boleh menyentuhnya. Tidak sekarang. Tidak nanti. Biarkan satu tahun berlalu. Setelah itu, Bianca berhak menggugat cerai. Tanpa drama. Tanpa paksaan.”
Sadewa menatapnya, lalu tersenyum tipis senyum yang tidak mengandung hormat, hanya rasa menang sendiri.
“Tenang saja, Pak,” katanya santai, nyaris mengejek. “Saya juga tidak tertarik.”
Kalimat itu jatuh seperti tamparan.
Hendrawan menegang. Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Selintas, keinginan untuk memukul pria di depannya hampir menang. Namun bayangan wajah Yudistira dan Hanum, hubungan baik yang terjalin bertahun-tahun, menahan langkahnya.
“Jaga sikapmu,” ucap Hendrawan, suaranya tertahan namun tajam. “Kalau kamu melanggar satu kata saja dari yang saya katakan, saya tidak akan diam.”
Sadewa terkekeh pelan. “Ancaman yang serius,” katanya ringan. “Sayangnya, tidak diperlukan.”
Ia merapikan mansetnya, lalu melangkah pergi tanpa menoleh. Sepatu kulitnya beradu lantai, menjauh meninggalkan Hendrawan yang berdiri kaku, menahan amarah yang berdesir di dada.
Hendrawan menarik napas panjang. Di kepalanya hanya satu tekad yang tersisa apa pun yang terjadi, Bianca harus dilindungi bahkan dari suaminya sendiri.
Lampu-lampu ballroom meredup perlahan. Musik pembuka mengalun lembut, mengisi ruang resepsi yang dipenuhi tamu undangan dengan gaun dan setelan terbaik mereka.
Resepsi pernikahan dimulai.
Pintu utama ballroom terbuka.
Bianca melangkah masuk menggandeng tangan Sadewa. Genggaman itu dingin tanpa kehangatan, tanpa getar. Hanya formalitas yang dipaksakan. Wajah Bianca tenang, senyumnya terukir rapi, langkahnya anggun seperti pengantin pada umumnya.
Di belakang mereka, empat orang tua menyusul: Hendrawan dan Lestari, Yudistira dan Hanum. Mereka berjalan sejajar, membawa ekspresi yang berbeda-beda bangga yang dipaksakan, lega yang pahit, dan kekhawatiran yang tak tersamarkan.
Begitu mereka melintasi karpet, bisik-bisik mulai terdengar.
“Bukannya calon pengantinnya Sarah, ya?”
“Lho, kok beda?”
“Itu Bianca, kan? Tetangganya sejak kecil…”
“Katanya ada yang terjadi sebelum akad…”
Suara-suara itu berdesir pelan, namun cukup tajam untuk menusuk telinga. Bianca mendengarnya. Ia merasakan tiap tatapan menelusuri gaunnya, wajahnya, mencari jawaban yang tak pernah diumumkan.
Sadewa tetap menatap lurus ke depan. Rahangnya mengeras. Ia tidak mempererat genggaman, tidak pula melepaskannya seolah Bianca hanyalah peran yang harus ia mainkan sampai akhir acara.
Di tengah gemerlap lampu dan denting gelas, dua sahabat lama itu berjalan sebagai pengantin, disaksikan ratusan pasang mata yang lebih sibuk bertanya daripada mendoakan.
Dan ketika mereka akhirnya berdiri di pelaminan, tepuk tangan terdengar ramai, panjang, dan kosong.
Karena di balik kemegahan resepsi, satu pertanyaan terus berputar di udara:
kenapa pengantin perempuannya berbeda?
Barisan tamu seakan tak ada habisnya.
Bianca berdiri di sisi Sadewa, punggungnya tegak, senyum sopan tak pernah runtuh dari wajahnya meski rahangnya mulai terasa pegal. Satu per satu tangan terulur, ucapan selamat dilontarkan, doa-doa diucapkan dengan nada formal sebagian tulus, sebagian lain sarat rasa ingin tahu.
“Selamat menempuh hidup baru, Mas Sadewa, Mbak Bianca.”
“Cocok sekali.”
“Semoga bahagia.”
Bianca mengangguk, menjawab dengan suara lembut yang sudah ia latih sejak kecil. Sadewa di sebelahnya hanya sesekali mengangguk singkat, ekspresinya datar, seolah ia sekadar hadir secara fisik.
Lalu, dari kejauhan, Bianca melihat tiga pria mendekat. Cara berjalan mereka santai, penuh percaya diri. Dari sorot mata dan tawa ringan yang mereka lemparkan ke sekitar, jelas mereka bukan tamu biasa.
Sahabat Sadewa.
“Wah, akhirnya!” salah satu dari mereka berseru sambil menepuk bahu Sadewa. “Gila, bro. Kita pikir kamu bakal jomblo seumur hidup.”
Sadewa mengulas senyum tipis senyum yang tidak pernah Bianca lihat hari ini. “Datang juga kalian.”
Pria pertama berambut sedikit bergelombang, senyum licik yang seolah permanen di wajahnya melirik Bianca dari ujung kepala sampai kaki tanpa sedikit pun rasa sungkan.
“Eh,” katanya, alisnya terangkat. “Bentar. Ini… bukan Sarah, kan?”
Dua temannya saling pandang. Salah satunya berdehem kecil, jelas menyadari arah pembicaraan yang mulai tak nyaman.
Sadewa tidak menjawab.
Bianca tetap tersenyum, meski jantungnya berdetak lebih cepat. Tatapan itu ia mengenalnya. Tatapan laki-laki yang merasa punya hak menilai, bahkan sebelum ia membuka mulut.
“Bianca,” Sadewa akhirnya berkata singkat. “Ini teman-temanku. Raka, Dimas, sama Arvin.”
Rakasi berambut bergelombang langsung mengulurkan tangan. Genggamannya hangat, terlalu lama, dan jarinya menekan lembut telapak Bianca.
“Raka,” katanya dengan senyum setengah menggoda. “Sahabat kuliah Sadewa.”
“Bianca,” jawabnya sopan, berusaha menarik tangannya secepat mungkin tanpa terlihat kasar.
Namun Raka justru mencondongkan tubuh sedikit. “Sadewa, kamu nyembunyiin harta karun begini dari kita? Ini serius… kamu kelihatan lebih cantik dari cerita-cerita lama.”
Bianca tersenyum kaku. Ia menoleh ke Sadewa, berharap suaminya entah bagaimana akan berkata sesuatu. Menegur. Menghentikan.
Sadewa tetap diam.
Raka terkekeh kecil. “Eh, gue penasaran deh. Kenapa pengantinnya bukan Sarah? Bukannya dari dulu—”
“Rak,” potong Dimas, pria berkacamata di sebelahnya. Nadanya lebih halus. “Nggak sopan.”
Raka mengangkat kedua tangan, pura-pura menyerah. “Ya ya, gue cuma tanya.”
Ia kembali menatap Bianca, kali ini lebih terang-terangan. “Tapi jujur aja,wa. Kalau gue di posisi lo…” Raka mendekat setengah langkah, suaranya direndahkan namun tetap terdengar. “Gue bakal bersyukur banget.”
Bianca merasakan tengkuknya meremang.
“Dan,” lanjut Raka sambil tersenyum miring, “kalau suatu hari lo nggak bersikap baik ke istri secantik ini—”
Ia menoleh ke Bianca, matanya berkilat.
“—gue dengan senang hati nerima.”
Waktu seakan berhenti.
Bianca membeku. Senyum di wajahnya nyaris runtuh. Kata-kata itu menghantamnya bukan karena rayuannya, melainkan karena keheningan Sadewa. Tidak ada bantahan. Tidak ada keberatan. Tidak ada satu kalimat pun yang mengatakan cukup.
Dimas langsung menepuk dada Raka cukup keras. “Mulut lo, Rak.”
Arvin pria ketiga yang sejak tadi diam ikut maju. Wajahnya terlihat canggung. “Maaf, ya Bianca. Dia memang begitu. Bercandaannya kelewatan.”
“Maaf ya,” sambung Dimas, menatap Bianca dengan tulus. “Kami nggak bermaksud bikin kamu nggak nyaman. Selamat menikah.”
Bianca mengangguk pelan. “Terima kasih,” katanya, suaranya masih terjaga, meski dadanya terasa sesak.
Raka masih tersenyum, tak merasa bersalah sedikit pun. “Santai aja. Gue cuma jujur.”
Sadewa akhirnya bergerak bukan untuk Bianca.
“Resepsi masih panjang,” katanya datar kepada teman-temannya. “Nikmati saja.”
Tidak ada teguran.
Tidak ada pembelaan.
Bianca menunduk sesaat, menarik napas panjang. Ia mengangkat kembali wajahnya tepat saat Hanum datang dari samping pelaminan.
“Bianca, Nak,” Hanum menggenggam tangan menantunya erat-erat, seolah ingin menegaskan kepemilikan. “Tersenyumlah. Banyak tamu penting.”
Bianca mengangguk, kembali memasang senyum terbaiknya.
Raka menatap adegan itu dengan alis terangkat. “Ibu mertua protektif juga ya.”
Arvin berdehem. “Ayo, kita minggir.”
Mereka pun pamit. Saat berlalu, Dimas sempat menoleh lagi ke Bianca. Tatapannya menyimpan penyesalan. Sebuah maaf tanpa kata.
Begitu mereka pergi, Bianca berdiri dalam diam. Ia masih menggandeng Sadewa, namun jarak di antara mereka terasa semakin lebar.
“Terima kasih,” Bianca akhirnya berkata lirih.
Sadewa menoleh sekilas. “Untuk apa?”
“Karena… diam,” jawab Bianca pelan, senyumnya getir. “Itu pilihanmu.”
Sadewa tidak membalas. Ia kembali menatap tamu berikutnya yang datang mengulurkan tangan.
Dan di tengah riuh ucapan selamat, Bianca menyadari satu hal yang menusuk:
ia sendirian bahkan saat berdiri tepat di samping suaminya sendiri.