Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Pertanyaan Arfan yang Tajam
Arfan mencengkeram lengan Fatimah dengan tenaga sisa yang terasa sangat panas di kulit wanita itu. Matanya yang merah karena menahan perih menatap lurus ke balik celah cadar, mencoba menembus kabut misteri yang menyelimuti penyelamatnya.
Bau besi dari darah yang merembes di kemeja Arfan semakin menyengat, memenuhi rongga pernapasan Fatimah yang kian sesak. Keheningan hutan malam itu seolah ikut menekan mereka, hanya menyisakan suara jangkrik yang bersahutan di balik semak-semak belukar yang lembap.
"Siapa kau sebenarnya dan mengapa orang-orang itu menyebut nama Zahra saat mengejarmu?" tanya Arfan dengan suara parau yang nyaris menyerupai bisikan setan.
Fatimah tersentak, mencoba menarik lengannya namun genggaman Arfan justru semakin mengunci pergelangan tangannya dengan sangat erat. Jantungnya berdegup tidak beraturan, menciptakan gelombang ketakutan yang membuat lidahnya mendadak kelu untuk sekadar memberikan alasan dusta.
Ia tahu bahwa pria di depannya ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang pengacara yang terbiasa menguliti kebohongan di meja persidangan. Tatapan Arfan seolah-olah mampu menelanjangi semua rahasia yang telah Fatimah kubur dalam-dalam di bawah identitas barunya sebagai pengurus panti.
"Aku hanya seorang wanita yang ingin menolong sesama manusia yang sedang berada di ujung maut," jawab Fatimah dengan nada suara yang diusahakan tetap tenang.
Arfan mendengus sinis, senyuman pahit tersungging di sudut bibirnya yang pecah dan berdarah karena benturan benda tumpul sebelumnya. Ia melepaskan genggamannya secara perlahan, namun matanya sama sekali tidak beralih dari sosok hitam yang berdiri gemetar di hadapannya.
Rasa sakit di perutnya kembali berdenyut hebat, memaksa Arfan untuk membungkuk dalam sambil mencengkeram akar pohon beringin yang menonjol keluar. Ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan cara wanita ini menatapnya, ada sebuah luka lama yang terpancar dari sana.
"Wanita biasa tidak akan dikejar oleh tentara bayaran milik keluarga pengusaha paling kaya di kota ini," sahut Arfan sambil mengatur napasnya yang mulai tersengal-sengal.
Fatimah mematung, ia tidak menyangka Arfan sudah mengetahui siapa dalang di balik pengejaran berdarah yang menimpa mereka berdua malam ini. Ia segera membuka kotak obat kecil yang dibawanya, mencoba mengalihkan pembicaraan dengan mulai membersihkan luka di bahu Arfan yang terbuka lebar.
Tangannya yang halus sedikit gemetar saat menyentuh kain kemeja Arfan yang sudah mengeras karena darah yang mulai mengering dan menghitam. Setiap sentuhan itu menciptakan desiran aneh yang membuat Fatimah harus berkali-kali merapalkan doa di dalam hatinya agar tetap fokus pada tugasnya.
"Jangan banyak bicara dahulu, tuan harus segera mendapatkan pertolongan sebelum kehilangan terlalu banyak cairan tubuh," ucap Fatimah sambil menekan luka itu dengan kain bersih.
Arfan meringis pelan, keringat dingin membasahi seluruh keningnya saat cairan pembersih luka menyentuh dagingnya yang tersayat tajam. Namun, rasa penasaran di kepalanya jauh lebih menyiksa daripada rasa sakit fisik yang sedang ia alami secara nyata di tengah hutan ini.
Ia memperhatikan jemari Fatimah yang bergerak lincah, jari-jari yang tampak terlalu halus untuk seorang pekerja kasar di panti asuhan yang miskin. Ada sebuah gelang perak kecil yang mengintip dari balik lengan baju Fatimah, sebuah benda yang tampak sangat akrab di ingatan masa lalu Arfan.
"Gelang itu, aku pernah melihatnya di pergelangan tangan putri tunggal Pratama yang dilaporkan tewas dalam kecelakaan hebat setahun lalu," gumam Arfan dengan mata yang menyipit tajam.
Tubuh Fatimah mendadak kaku, kapas di tangannya terjatuh ke atas tumpukan daun kering yang berserakan di sekitar kaki mereka yang kotor. Rahasia yang selama ini ia jaga dengan taruhan nyawa seolah-olah baru saja diledakkan oleh satu kalimat singkat dari mulut pria asing ini.
Ia teringat malam ketika mobilnya terguling ke dalam jurang, malam di mana ia memutuskan untuk mati sebagai Zahra dan terlahir kembali sebagai Fatimah. Dunia yang ia kenal sebagai putri kaya raya telah mengkhianatinya, memaksanya untuk bersembunyi di balik kain hitam demi mencari sebuah ketenangan jiwa.
"Tuan pasti salah lihat, gelang seperti ini banyak dijual di pasar loak dengan harga yang sangat murah dan tidak berharga," sanggah Fatimah dengan suara yang tercekat di tenggorokan.
Arfan tertawa kecil, meskipun tawa itu justru membuat lukanya kembali mengeluarkan darah segar yang merembes menembus kain pembalut luka. Ia meraih gelang perak itu dengan gerakan yang sangat cepat, memaksa Fatimah untuk mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa jengkal saja.
Di bawah sinar rembulan yang pucat, Arfan bisa melihat dengan jelas ukiran nama yang sangat samar di bagian dalam lingkaran gelang perak yang sudah kusam tersebut. Matanya membelalak lebar, sebuah kenyataan pahit mulai tersusun rapi di dalam otaknya yang sedang berjuang melawan rasa pusing yang hebat.
"Kau adalah dia, kau adalah alasan mengapa hidupku hancur dan Luna harus pergi meninggalkanku untuk selamanya!" teriak Arfan dengan penuh amarah yang meluap.
Fatimah terkesiap, ia tidak mengerti mengapa namanya di masa lalu bisa berkaitan dengan kematian seseorang yang sangat dicintai oleh pria di depannya ini. Ia mencoba melepaskan tangannya, namun Arfan justru menariknya lebih kuat hingga Fatimah terduduk di atas tanah yang dingin dan lembap.
Air mata Fatimah mulai mengalir tanpa bisa dibendung lagi, membasahi kain cadarnya hingga terasa sangat berat dan menyesakkan dada yang kian nyeri. Ia melihat kebencian yang sangat murni di mata Arfan, sebuah kebencian yang selama ini ia takuti akan ia temui jika identitas aslinya terbongkar.
"Aku tidak tahu siapa Luna, aku bersumpah demi Tuhan bahwa aku tidak pernah menyakiti siapapun di masa laluku yang kelam!" tangis Fatimah pecah di tengah kegelapan.
Arfan tidak peduli dengan tangisan itu, baginya semua wanita dari keluarga itu adalah ular yang pandai bersandiwara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ia mencoba berdiri, berniat meninggalkan Fatimah di tengah hutan, namun rasa sakit di perutnya kembali menyerang dengan kekuatan yang berkali-kali lipat.
Dunia di sekitar Arfan mulai berputar dengan sangat cepat, warna-warna hijau hutan mendadak berubah menjadi hitam pekat yang menelan segala kesadarannya. Ia jatuh tersungkur tepat di depan kaki Fatimah, dengan napas yang mulai melemah dan detak jantung yang terasa semakin melambat seiring berjalannya waktu.
Fatimah panik, ia segera memeriksa denyut nadi di leher Arfan yang terasa sangat tipis dan tidak stabil seperti api lilin yang tertiup angin kencang. Ia tahu ia tidak bisa membawa Arfan kembali ke panti, namun ia juga tidak bisa membiarkan pria yang membencinya ini mati begitu saja di tanah.
Dengan segenap tenaga yang tersisa, Fatimah mencoba memapah tubuh Arfan yang jauh lebih besar dan berat darinya menuju sebuah gua kecil di lereng bukit. Setiap langkah adalah perjuangan melawan rasa lelah dan ketakutan akan kembalinya para pengejar yang haus darah yang mungkin masih berada di dekat sana.
Di dalam gua yang sempit itu, Fatimah menyandarkan Arfan ke dinding batu yang dingin, mencoba memberikan kehangatan dengan menyelimuti pria itu menggunakan jubah luarnya. Ia duduk bersimpuh di samping Arfan, menatap wajah pria itu yang tampak sangat tenang namun penuh dengan gurat penderitaan yang sangat dalam.
"Siapa kau sebenarnya, Arfan, dan mengapa takdir mempertemukan kita dengan cara yang sangat menyakitkan seperti ini?" bisik Fatimah sambil mengusap kening Arfan dengan sangat lembut.
Malam semakin larut, dan Fatimah terjaga di antara doa dan kewaspadaan, telinganya tajam mendengarkan setiap suara yang mencurigakan dari arah luar gua. Ia tahu bahwa mulai besok, hidupnya tidak akan pernah sama lagi karena seseorang telah berhasil menemukan retakan di balik dinding rahasia yang ia bangun.
Tiba-tiba, Arfan mengigau dalam tidurnya, menyebut nama Luna berkali-kali dengan nada suara yang penuh dengan kerinduan sekaligus penyesalan yang sangat amat besar. Fatimah tertegun, ia menyadari bahwa ada sebuah benang merah yang sangat kusut yang menghubungkan masa lalunya sebagai Zahra dengan luka yang dipikul oleh Arfan.
Saat fajar mulai menyingsing di ufuk timur, Arfan perlahan membuka matanya dan menemukan Fatimah sedang bersujud di sudut gua dengan sangat khusyuk. Namun, sebuah suara langkah kaki yang berat dari luar gua seketika menghentikan doa Fatimah dan membuat mereka berdua kembali berada di titik antara logika dan rasa.