NovelToon NovelToon
JATUH UNTUK BANGKIT

JATUH UNTUK BANGKIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

# BAB 22: SKANDAL LINGKUNGAN MELEDAK

Hari istirahat yang Anya paksakan ternyata hanya bertahan satu hari. Keesokan paginya, Elang sudah kembali ke laptop—tapi ada sesuatu yang sedikit berbeda: ia tidak lupa sarapan, dan ketika Anya bawakan teh, ia pause sebentar untuk bilang terima kasih dengan senyum kecil yang tulus. Kemajuan kecil, tapi Anya menghargainya.

Pagi itu—Senin, dua minggu setelah pertemuan rahasia di Bandung—dunia Brian mulai runtuh untuk kedua kalinya.

Elang sedang membantu Bu Marni mengangkat galon air ketika hapenya bergetar keras berkali-kali. Ia melirik layar—pesan dari Stella dengan huruf besar semua:

*PAK! LIHAT BERITA! SEKARANG!*

Jantung Elang langsung berpacu. Ia letakkan galon dengan terburu-buru, hampir tumpah, lari ke kamar, nyalakan laptop dengan tangan yang sedikit gemetar—bukan karena takut, tapi karena penantian.

Halaman depan semua portal berita nasional menampilkan judul yang sama dengan variasi kata:

**KOMPAS**: *Hartavira Group Diduga Rusak 500 Hektar Hutan Lindung Kalimantan*

**TEMPO**: *Proyek Resor Mewah Brian Mahendra Langgar Undang-Undang Lingkungan, Lembaga Swadaya Masyarakat Laporkan ke Polisi*

**DETIK**: *FOTO UDARA: Pembabatan Hutan Masif di Zona Penyangga Taman Nasional Kutai*

Elang klik artikel Kompas—yang paling kredibel, paling susah dibantah. Artikel panjang dengan investigasi mendalam: foto udara dari pesawat nirawak menunjukkan area luas yang sudah digunduli, alat berat besar sedang bekerja, pohon-pohon tumbang berserakan. Video tertanam menampilkan ekskavator besar menggali tanah, truk-truk membawa batang kayu keluar dari area yang seharusnya dilindungi.

Artikel itu detail: menjelaskan bagaimana WALHI—Wahana Lingkungan Hidup Indonesia—menerima dokumen tanpa nama minggu lalu. Dokumen yang membandingkan Analisis Dampak Lingkungan yang diserahkan Hartavira ke pemerintah dengan kondisi lapangan sebenarnya. Perbedaan sangat besar: dokumen analisis bilang area itu "lahan yang sudah rusak dengan keanekaragaman hayati minimal," tapi foto udara dan survei lapangan WALHI menemukan area itu masih punya penutupan tajuk tujuh puluh persen, ada habitat orangutan, ada jenis burung yang hanya ada di sana.

"Ini bukan sekadar pelanggaran administrasi," kutipan dari Direktur WALHI, "ini kejahatan lingkungan yang sistematis dengan pemalsuan dokumen untuk menipu pemerintah. Kami sudah melaporkan ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk investigasi dugaan suap dalam proses perizinan."

Elang gulir ke bawah—ada pindaian dokumen analisis dampak lingkungan yang asli dibandingkan dengan yang diserahkan. Ada kesaksian dari masyarakat adat yang bilang mereka dipaksa tanda tangan dokumen tanpa dijelaskan isinya. Ada pernyataan dari ilmuwan lingkungan independen yang memastikan bahwa kerusakan sudah tidak bisa diperbaiki untuk beberapa area.

Dan di bagian paling bawah, ada tanggapan singkat dari Hartavira Group:

*"Kami menyangkal keras tuduhan ini. Semua perizinan proyek Kalimantan Green Resort sudah sesuai prosedur hukum. Kami akan kooperatif dengan investigasi dan membuktikan bahwa ini adalah fitnah dari pesaing bisnis yang ingin menjatuhkan kami."*

Pernyataan defensif—cara khas Brian. Tapi kali ini, Elang tahu, pertahanan tidak akan cukup. Buktinya terlalu banyak. Tekanan publik akan terlalu besar.

Hape berdering—Harris.

"Lo lihat?" suara Harris bersemangat tapi terkontrol.

"Gue lihat," Elang menjawab, suara keluar lebih tenang dari yang ia rasakan di dalam. "Ini... ini sempurna. Waktunya tepat, liputannya lengkap, buktinya luar biasa—"

"Stella yang koordinasi dengan WALHI," Harris menjelaskan cepat. "Dia kirim dokumen tanpa nama lewat surel terenkripsi, kasih semua bukti yang kita punya. WALHI investigasi lapangan dua minggu terakhir—mereka cepat karena mereka emang udah lama curiga ada yang nggak beres tapi nggak punya bukti. Dan pagi ini mereka jatuhkan bom."

"Tanggapan pemerintah?"

"Kementerian Lingkungan udah keluarkan pernyataan satu jam lalu: mereka tangguhkan semua perizinan Hartavira menunggu investigasi. Mereka kirim tim gabungan Polisi dan Kementerian ke lokasi proyek untuk hentikan semua aktivitas dan amankan bukti. Dan—ini yang paling bagus—" Harris jeda untuk efek, "—Komisi Tujuh DPR yang tangani lingkungan umumkan mereka akan panggil Brian untuk dengar pendapat publik minggu depan."

Dengar pendapat publik. Televisi nasional. Brian akan dipaksa duduk di depan anggota DPR, di depan kamera, dan jelaskan kenapa perusahaannya merusak hutan lindung. Tidak ada pengacara yang bisa sepenuhnya lindungi dia di sana. Opini publik akan hancurkan dia.

"Harris," Elang berkata pelan, "ini... ini lebih baik dari yang gue duga."

"Karena kita nggak serang sendiri," Harris menjawab dengan nada profesor yang bangga dengan murid. "Kita manfaatkan sistem yang udah ada—lembaga swadaya masyarakat, media, pemerintah. Kita cuma kasih amunisi. Mereka yang tembak. Dan sekarang Brian perang di banyak front sekaligus: investigasi hukum, pengawasan media, tekanan publik, sanksi pemerintah."

"Saham?"

"Jatuh delapan belas persen dalam satu jam pertama perdagangan pagi ini. Sekarang udah total lima puluh tiga persen sejak skandal pertama. Nilai pasar Hartavira udah hilang lebih dari dua ratus miliar rupiah. Investor—terutama investor asing yang ketat soal kepatuhan lingkungan dan tata kelola—pada keluar panik."

Standar baru yang investor internasional pakai untuk nilai perusahaan. Perusahaan yang nggak memenuhi standar akan masuk daftar hitam. Dan dengan skandal kejahatan lingkungan yang besar ini, Hartavira pada dasarnya masuk daftar hitam otomatis.

"Brian selesai," Elang bisik—bukan dengan kemenangan, tapi dengan kepastian yang dingin.

"Belum sepenuhnya," Harris mengoreksi. "Dia masih punya sumber daya. Masih punya koneksi. Masih bisa lawan balik. Tapi—" ada senyum di suaranya, "—sekarang dia lawan sambil tenggelam. Dan makin keras dia lawan, makin dalam dia tenggelam."

Mereka bicara beberapa menit lagi tentang langkah selanjutnya—Harris akan hadiri rapat dewan pengurus darurat besok, akan dorong untuk audit independen, akan usulkan Brian "mundur sementara" untuk "lindungi reputasi perusahaan." Semua langkah terkalkulasi untuk isolasi Brian dari basis kekuatannya sendiri.

Setelah telepon selesai, Elang duduk di pinggir kasur dengan laptop di pangkuan, membaca ulang artikel, membaca kolom komentar yang sudah ribuan dalam beberapa jam—semua mengutuk Brian, semua minta keadilan, semua bilang "orang kayak gini harusnya penjara seumur hidup."

Ada kepuasan di dadanya—kepuasan gelap yang ia tidak bisa dan tidak mau tolak. Ini yang ia tunggu. Ini yang ia rencanakan. Melihat Brian jatuh, melihat kerajaan yang Brian bangun di atas pengkhianatan mulai runtuh.

Tapi ada juga sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak nyaman, yang membuat kepuasan itu tidak semurni yang ia harapkan. Suara Anya dari kemarin: *"Jangan biarkan dendam jadi satu-satunya hal yang bikin mas hidup."*

Ia gelengkan kepala, mengusir pikiran itu. Tidak. Ini bukan hanya tentang dendam. Ini tentang keadilan. Brian merusak hutan—itu kejahatan nyata dengan korban nyata. Dan sekarang dia bayar harganya. Itu adil. Itu benar.

Tapi kenapa tetap terasa... hampa?

Langkah kaki di tangga. Anya muncul di pintu kamar yang terbuka, membawa nampan dengan dua gelas kopi dan piring pisang goreng. "Mas," katanya dengan senyum, "Anya bikinin kopi. Katingalna mas lagi—" Ia berhenti, melihat ekspresi Elang, melihat laptop dengan berita di layar. Senyum di wajahnya pudar perlahan.

"Itu... itu tentang orang yang mas kejar?"

Elang tidak langsung jawab. Ia menutup laptop dengan pelan, menatap Anya yang berdiri di ambang pintu dengan nampan di tangan dan wajah yang khawatir.

"Iya," akhirnya ia jawab. "Ini... ini salah satu tahap dari rencana. Dan berhasil. Lebih dari yang gue kira."

Anya masuk, letakkan nampan di meja kecil, duduk di kursi dengan jarak yang sopan—tidak terlalu dekat, kasih Elang ruang, tapi tidak terlalu jauh sampai terasa dingin.

"Mas... senang?" tanyanya pelan—pertanyaan sederhana dengan bobot yang tidak sederhana.

"Aku..." Elang berhenti, mencari kata yang jujur. "Aku puas. Aku lega. Aku... aku merasa dipulihkan keadilanku, mungkin. Tapi senang?" Ia gelengkan kepala pelan. "Nggak. Nggak kayak yang gue kira bakal gue rasain."

Anya mengangguk—tidak kaget, seperti ia sudah tahu jawaban itu. "Karena dendam teh emang nggak bikin senang, Mas. Dendam teh cuma bikin... kosong terisi sementara. Terus kosong lagi."

"Tapi ini bukan cuma dendam," Elang membela dengan suara yang sedikit naik—bukan marah ke Anya, tapi marah karena bingung di dalam. "Brian emang ngelanggar hukum. Dia emang ngrusak hutan. Dia emang—"

"Anya tau," Anya memotong dengan lembut. "Anya nggak bilang mas salah. Anya nggak bilang orang itu nggak pantas dihukum. Anya cuma..." Ia mencari kata dengan hati-hati, "...Anya cuma takut mas jadi terlalu fokus di kehancuran orang lain sampai lupa bangun kehidupan mas sendiri."

Kata-kata itu terasa berat di ruangan. Elang menatap kopi yang Anya bawa—masih mengepul, aroma kopi robusta campur dengan sedikit gula aren, bau nyaman yang biasanya membuat dia tenang. Tapi sekarang hanya pengingat bahwa ada dunia di luar balas dendam, dunia sederhana dengan kopi dan pisang goreng dan gadis yang peduli tanpa pamrih.

"Anya," katanya pelan, "gue nggak tau gimana bangun lagi. Gue nggak tau gimana hidup yang nggak tentang... tentang ini semua."

"Pelan-pelan," Anya menjawab, mengulurkan gelas kopi. "Satu hari satu kali. Kayak kemarin—jalan ke air terjun, ketawa, cuci muka dengan air dingin. Itu membangun, Mas. Itu hidup."

Elang terima gelas itu—tangan mereka bersentuhan sebentar, kehangatan dari tangan Anya entah kenapa lebih menghibur dari kehangatan kopi. Ia minum—pahit dan manis seimbang sempurna, persis seperti yang ia suka meskipun ia tidak pernah bilang langsung ke Anya. Tapi Anya tahu. Anya selalu tahu.

Sementara itu, di Jakarta, kantor Hartavira Group adalah kekacauan.

Karyawan berlarian dengan panik, telepon berdering tanpa henti—wartawan minta pernyataan, investor minta penjelasan, pengacara minta rapat mendesak. Di lantai dua puluh delapan, di ruang direktur utama, Brian berdiri di tengah ruangan dengan kemeja yang sudah kusut—sangat tidak seperti biasanya—dasi dicabut dan dilempar ke meja, rambut berantakan dari terlalu sering diremas.

"SIAPA?!" teriaknya ke tiga orang yang berdiri di depannya—kepala bagian hukum, kepala hubungan masyarakat, dan direktur operasional. "Siapa yang lakukan ini?! Proyek Kalimantan itu RAHASIA! Dokumen analisis dampak lingkungan yang asli itu hanya ada di server aman! Gimana bisa WALHI punya akses?!"

Kepala bagian teknologi informasi yang dipanggil masuk dengan wajah pucat, membawa laptop. "Pak Brian, kami sudah investigasi. File itu... file itu diakses tiga bulan lalu. Dari komputer yang terdaftar atas nama... Stella Febriani."

Nama itu membuat Brian membeku. Zara—yang duduk di sofa sudah sejak tadi dengan wajah pucat di balik riasan mahal—bangkit dengan mata melebar.

"Stella," Brian bisik, lalu suaranya meledak, "STELLA! Bajingan kecil itu! Dia ambil file sebelum kabur! Dia—"

"Pak," kepala hukum memotong dengan hati-hati, "fokus kita sekarang bukan siapa yang bocorkan, tapi gimana kita tangani dampaknya. Kementerian udah hentikan proyek. Polisi udah di lokasi. DPR mau dengar pendapat publik. Investor pada keluar—"

"AKU TAU!" Brian berteriak, melempar gelas kristal ke dinding—pecah dengan bunyi yang membuat semua orang tersentak. "Aku tau semuanya hancur! Aku tau—" Suaranya putus, napas terengah seperti orang yang baru berlari maraton.

Zara berjalan mendekat dengan langkah yang goyah—heels mahal tidak membantu saat dunia sedang runtuh. "Sayang," suaranya gemetar meskipun berusaha terkontrol, "saham kita... saham kita udah turun lima puluh persen. Investor besar dari Korea sudah tarik semua dana mereka. Bank yang kasih pinjaman proyek sudah kirim surat peringatan mau tarik kredit kalau situasi nggak membaik dalam seminggu—"

"SEMINGGU?!" Brian tertawa—tawa tanpa humor, tawa orang yang sudah di ujung kewarasan. "Gimana aku bisa perbaiki ini dalam seminggu?! Media sudah mengadili aku! Publik sudah vonis aku bersalah! Pemerintah sudah—"

Hapenya berdering. Layar menampilkan nama yang membuat wajah Brian semakin pucat: Ketua Dewan Komisaris.

Ia angkat dengan tangan gemetar. "Pak Sutrisno—"

Suara di seberang keras, marah, tidak peduli dengan kesopanan atau jabatan. "Brian, Dewan Komisaris udah rapat darurat tadi pagi. Keputusan bulat: kamu harus mundur sementara dari posisi direktur utama, efektif hari ini. Kita akan tunjuk pelaksana tugas sampai situasi ini selesai—"

"Pak, ini kan bisa kita klarifikasi—"

"KLARIFIKASI APA?!" suara di seberang membentak. "Foto udara itu nyata! Video alat berat itu nyata! Dokumen palsu itu sudah dibandingkan dengan aslinya! Kamu pikir kami akan biarkan reputasi Hartavira hancur total karena ambisi bodohmu?!"

Sambungan terputus. Brian menatap hape di tangannya seperti benda asing yang tiba-tiba jadi musuh.

"Mereka... mereka pecat aku," bisiknya, suara keluar datar karena shock terlalu besar. "Mereka pecat aku dari perusahaan yang... yang aku bangun dari—" Ia berhenti, menyadari ironi kalimatnya. Ia tidak membangun Hartavira dari nol. Elang yang membangun Garuda Investama dari nol. Brian hanya mencuri.

Dan sekarang, karma membuatnya kehilangan apa yang ia curi.

Zara duduk kembali di sofa, wajah tertutup tangan, bahu gemetar—menangis atau tertawa, susah dibedakan. Tiga orang eksekutif di ruangan berdiri canggung, tidak tahu harus bilang apa, tidak tahu apakah mereka masih harus dengarkan Brian yang secara resmi bukan bos mereka lagi.

Brian berjalan ke jendela besar, menatap Jakarta di bawah dengan mata kosong. Di suatu tempat di luar sana, Elang menonton kehancurannya. Di suatu tempat, Elang tersenyum dengan kepuasan gelap.

"Siapa dalangnya?" bisiknya ke pantulan dirinya di kaca. "Stella cuma boneka. Dia nggak punya kapasitas rencanain ini semua sendirian. Ada yang lebih besar. Ada yang—"

"Harris Setiawan," Zara tiba-tiba berkata dengan suara serak. "Dia beli banyak saham kita. Dia hadiri rapat dewan. Dia terlalu... terlalu tepat waktunya. Terlalu kebetulan."

Brian menoleh tajam. "Harris kerja sama dengan siapa? Dia punya dana dari mana untuk beli saham sebanyak itu—" Ia berhenti, mata melebar dengan realisasi yang mengerikan. "Elang. Harris dan Elang. Mereka... mereka kerja sama."

"Tapi Elang nggak punya uang—"

"Elang punya OTAK!" Brian berteriak. "Elang punya strategi! Dan Elang punya sesuatu yang aku nggak punya: orang yang loyal bukan karena uang tapi karena mereka percaya dia nggak bersalah!"

Keheningan mengisi ruangan—keheningan yang lebih keras dari teriakan, keheningan realisasi bahwa mereka sudah kalah sebelum mereka sadari perang sudah dimulai.

Di Pangalengan, Elang duduk di teras warung dengan laptop di pangkuan, membaca berita dengan secangkir kopi di samping yang Anya buat. Matahari sore mulai turun, udara dingin mulai menggigit, tapi ada kehangatan aneh di dada Elang—kehangatan yang datang bukan dari kopi, tapi dari sesuatu yang lebih kompleks: validasi. Pembuktian. Kemenangan bertahap.

Hapenya bergetar—pesan dari Stella:

*Pak, Harris bilang Brian mulai curiga ada dalang di belakang ini semua. Dia sebutkan nama Harris dan... dan kemungkinan Bapak. Kita harus lebih hati-hati.*

Elang membaca pesan itu dengan wajah yang tidak berubah ekspresi. Lalu ia ketik balik:

*Biarkan dia curiga. Curiga tanpa bukti cuma bikin dia lebih gila. Fokus ke tahap selanjutnya. Kita nggak berhenti sampai dia di jeruji yang sama kayak gue dulu.*

Send.

Ia minum kopi—sudah agak dingin, tapi tetap enak. Menatap matahari yang mulai tenggelam di balik bukit dengan langit berwarna jingga dan ungu. Dan untuk sesaat—hanya sesaat—ia membiarkan dirinya merasakan sesuatu yang mendekati ketenangan.

Tapi di sudut matanya, ia lihat Anya di dapur warung, menatapnya dari jendela dengan wajah yang khawatir. Dan entah kenapa, ketenangan itu langsung hilang, digantikan dengan rasa bersalah yang tidak ia mengerti.

---

**[Bersambung ke Bab 17]**

1
Dessy Lisberita
aku kok suka nya elang sama. stella ya thoor
Dri Andri: sayangnya elang udah jatuh cinta sama anya
total 1 replies
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: oke simak terus yaa
total 1 replies
Rizky Fathur
hancurkan Brian Thor sehancur hancur Thor bongkar semua kebusukannya Brian Thor jangan bikin elang naif memaafkan Brian pas Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang berbisik kepada Brian Brian keluargamu bagiamana bikin di sini Brian sampai memohon jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli Dan tertawa jahat Thor hahahaha
Dri Andri: perlahan aja ya😁k
total 2 replies
Rizky Fathur
Thor cepat bongkar kebusukan Brian Thor bikin elang kejam kepada musuhnya musuhnya bantai Sampai ke akar akarnya bersihkan nama baiknya elang Thor bikin di sini sifatnya jangan naif Thor
Rizky Fathur
cepat bantai Brian dengan kejam Thor bongkar semua kebusukannya ke media Thor bikin elang bersihkan namanya Dan Ambil lagi semua hartanya bikin elang tuntut balik orang yang melaporkannya dulu Dan yang memfitnahnya dulu dengan tuntutan puluhan milyar bikin elang kejam kepada musuhnya Thor kalau perlu tertawa jahat dan kejam berbicara akan membantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya kepada elang bikin elang tertawa jahat hahahaha Brian aku tidak perduli habis itu pukulin Brian sampai pingsan
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: gaskeun
total 1 replies
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya seru cepat buat elang Ambil kembali asetnya bongkar kebusukan Brian bikin elang kejam Thor sama Brian bilang akan bantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang tertawa jahat Thor
Rizky Fathur: bikin elang kejam Thor bongkar kebusukan Brian ke media bersihkan nama baiknya elang Thor bikin elang tuntut balik yang memfitnahnya Dan menjebaknya itu dengan tuntutan berapa ratus Milyar Thor
total 2 replies
Dessy Lisberita
bangkit lah elang
Dessy Lisberita
jngan terlalu percaya sama saudara ap lagi sama orang asing itu fakta
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya bikin elang menang bikin Jefri kalah Thor kalau perlu Hajar Jefri sampai luka parah
Dri Andri: gas bro siap lah perlahan aja ya makasih udah hadir
total 1 replies
Kisaragi Chika
bentar, cepat banget tau2 20 chapter. apa datanya disimpan dulu lalu up bersamaan
Dri Andri: hehehe iyaa
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!