menjadi sukses dan kaya raya tidak menjamin kebahagiaanmu dan membuat orang yang kau cintai akan tetap di sampingmu. itulah yang di alami oleh Aldebaran, menjadi seorang CEO sukses dan kaya tidak mampu membuat istrinya tetap bersamanya, namu sebaliknya istrinya memilih berselingkuh dengan sahabat dan rekan bisnisnya. yang membuat kehidupan Aldebaran terpuruk dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni Luh putu Sri rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Di kantornya, Aldebaran berdiri di jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota yang sibuk di bawahnya. Aldebaran menatap gedung-gedung tinggi bak monolit tanpa jiwa yang menjadi lanskap di hadapannya. tangan pria itu mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih, di dalam genggamannya tampak sebuah blister pack obat yang sudah kosong.
"Aku tidak bisa terus seperti ini." Gumam Aldebaran pelan, nyaris seperti bisikan. Rahangnya mengatup rapat, saat ia mengingat kembali kejadian di depan gerbang sekolah pagi ini, hal yang selama ini ingin ia hindari dan coba ia tekan kini semakin menggerogoti pikiran dan hatinya.
Bayangan Lilia memiliki seorang pacar membuat Aldebaran semakin kesal dan frustasi. Bunga yang selalu coba ia lindungi dan jaga dari dunia luar yang kejam kini mulai mekar membuat semua mata menginginkannya.
Tak lama, sebuah ketukan pelan terdengar dari pintu kaca buram di ujung ruangan membuyarkan lamunannya, perlahan pintu itu terbuka dan menampilkan Brian, asisten pribadinya—seorang pria muda membawa beberapa dokumen ke dalam ruangan Aldebaran. "Pak, ini dokumen yang anda minta." ucap pria itu, memecah keheningan dalam ruangan.
"Letakan saja di sana!" Kata Aldebaran, pria itu masih memandang keluar jendela, pandangan pria itu jauh memandang jauh ke cakrawala. Ia menghela nafas berat, ia masih membelakangi Brian.
Kemudian Brian meletakan dokumen-dokumen itu di atas meja kerja Aldebaran, di sana juga ada beberapa dokumen yang nyaris tak tersentuh dari saat ia menginjakkan kakinya di ruang kerjanya. Untuk sesaat, Brian memperhatikan Bosnya tampak tak bersemangat dan tampak lesu, tapi pria itu tak mempermasalahkan hal itu, mungkin saja Aldebaran—bosnya ini sedang banyak pikiran atau ia hanya sedang lelah saja, mengingat Aldebaran adalah seorang CEO sukses pasti pekerjaannya tidak sedikit.
"Saya permisi, Pak." Ucap Brian, ia sedikit membungkuk sebelum berbalik pergi dari ruangan kerja Aldebaran.
"Brian." Panggil Aldebaran tiba-tiba, sontak Brian yang baru saja akan melangkah pergi menghentikan langkahnya di tengah ruangan, "Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Pria itu berbalik dan menghadap Aldebaran, nada bicaranya terkontrol nyaris penuh hormat.
"Aku ingin tanya sesuatu," Pria itu masih berdiri di dekat jendela besar di balik meja kerjanya tanpa menoleh sedikitpun ke arah Brian. Aldebaran menghela napas berat sebelum melanjutkan bicara. "Menurutmu, anak gadis seusia Lilia itu..." ia berhenti sesaat sebelum melanjutkan kata-katanya, sementara itu Brian masih memperhatikan dengan tenang apa yang akan di katakan Aldebaran.
"Apa... gadis seusianya memang sudah punya pacar?" lanjutnya, berusaha menjaga nada bicaranya agar tetap tenang tanpa memperlihatkan sesuatu yang selama ini coba ia tekan dalam hatinya, ia tak ingin siapapun tahu tentang kedalam perasaanya terhadap Lilia—putri angkatnya dan mengetahui hasratnya yang bengkok dan menyimpang.
Namun, ia tak bisa berbohong setiap kata 'pacar' itu ia ucapkan, tenggorokannya seperti di cekik oleh kenyataan bahwa putrinya yang polos akan bersama dengan pria lain dan yang dia tahu pria itu bukanlah dirinya, kenyataan itu terus mencabik sisi gelap dalam hatinya, sesuatu yang bengkok yang tak seharusnya di rasakan oleh seorang ayah.
Brian terdiam untuk beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan Aldebaran, ia merasa mengerti yang di rasakan Aldebaran adalah wajar saja karena dia adalah ayah dari gadis itu tanpa ia menyadari sisi gelap Aldebaran yang sebenarnya. "Pak, menurut saya, wajar-wajar saja sih, diusia Lilia, dia merasa tertarik pada anak laki-laki di sekolahnya," jawab Brian, mencoba memberikan penjelasan. "Jadi... Wajar saja jika dia punya pacar."
Mendengar jawaban Brian, genggaman tangan Aldebaran pada blister pack obat di tangannya semakin mengencang hingga menimbulkan bunyi riak di blister pack di tangannya, menjadi pengingat kondisinya saat ini. Aldebaran mencoba menenangkan badai dalam hatinya yang terus berkecamuk dengan rasa cemburu yang semakin membuat hatinya semakin terbakar hingga membuat perutnya terasa mual.
"Brian, siapkan mobilku! Aku akan menemui dokter pribadiku!"
"Baik, Pak."
Aldebaran berbalik, meninggalkan ruang kerjanya, langkahnya yang panjang memakan jarak yang di perlukan, "dan... Brian, berikan aku daftar teman-teman sekelas Lilia yang dekat dengannya. Dan letakan semua bio mereka di mejaku sore ini." Ucap Aldebaran, datar nyaris benar-benar datar sebelum ia keluar dari dalam ruangan kerjanya.
"Eh?! Baik, Pak." Untuk sesaat, Brian memperhatikan memperhatikan punggung pria itu tampak jelas ketegangan di dalamnya. "Jangan bilang dia akan mengintai anak-anak SMA." Pikir Brian, ia tahu setiap Aldebaran memutuskan sesuatu untuk Lilia itu adalah keputusan final dan tidak bisa di tawar. "Haa~ wajar saja sih, anak satu-satunya."
Di depan lobi kantornya mobil Rolls-Royce mewah berwarna hitam mengkilap sudah terparkir rapi, Aldebaran membuka pintu dan duduk di kursi pengemudi, di dalam mobil ia membuka laci penyimpanan di dashboard mobilnya dan melemparkan blister pack obat yang telah kosong itu ke dalam sana, di dalam laci itu tampak beberapa botol kaca kecil berisi obat dan beberapa blister pack yang masih berisi obat lainnya. Sekilas Aldebaran melihat ke arah tumpukan obat-obatan itu pandangannya berubah menjadi gelap dan dingin, rahangnya mengatup rapat, ekspresi wajahnya semakin dingin seolah ia marah pada dirinya sendiri.
"Apa tidak ada yang bisa aku lakukan? Aku ingin mengakhirinya..." Aldebaran menghela napas berat, sekilas ia menatap ke arah sepion mobil dan melihat pantulan dirinya sendiri—seorang pria 32 tahun yang tampak lelah namun menolak untuk menyerah.
Segera Aldebaran menyalahkan mesin mobil dan membawa mobilnya melaju di jalanan kota, suara deru sedan mewahnya perlahan menjauh meninggalkan lobi kantornya. Selama di perjalanan menuju rumah sakit ia tak bisa melupakan bagaimana cara pemuda berandalan itu merangkul putrinya dengan begitu akrab yang membuat Aldebaran merasakan panas dada melihatnya.
"Sialan!" Aldebaran mengumpat, cengkraman tangannya semakin erat pada roda kemudi sampai menimbulkan suara derit di antara pelapak tangannya dan kemudi. "Dasar! Bajingan tidak berguna!" Ia tertawa, namun tawa itu jauh dari kata bahagia, ia tertawa seolah menertawakan dirinya sendiri atas perasaan yang tak seharusnya ada di dalam hatinya. "Aku... Hampir gila karena melihat anak SMA pacaran." Akunya, semakin ia mengingat bagaimana Lilia—putrinya dekat dengan seorang pria semakin membangkitkan api cemburu dalam hatinya, tapi... Apa ini pantas? Apa dia pantas merasa cemburu?
Kenyataan bahwa ia adalah ayah gadis itu—seorang wali yang seharusnya melindungi kepolosan putrinya tapi ia sendiri yang ingin merusaknya demi orang lain. Tapi... Setiap Aldebaran mencoba melawan keinginannya iblis dalam hatinya meraung semakin keras menuntut ingin di bebaskan. Namun... Ia juga mengerti mungkin di mata Lilia ia hanyalah seorang pria tua yang menginginkan cinta yang tak seharusnya ia dambakan.
Mengetahui kebenaran itu membuat Aldebaran muak dan mengutuk dirinya sendiri atas apa yang sedang ia rasakan terhadap putri angkatnya. Kebenaran bahwa Lilia menatapnya dengan tatapan jijik, dan mungkin gadis itu akan menjaga jarak darinya bahkan mengancam akan meninggalkannya. Pikiran-pikiran itu terus menghantui Aldebaran. Bahkan Tuhan mungkin tertawa melihat keinginan bejatnya, dan... Itu adalah lelucon yang kejam.
Bersambung.....
semangat upnya..