Di sebuah pulau kecil di Jeju, Lee Seo Han menjalani kehidupannya yang sunyi. Ditinggal kedua orang tuanya sejak remaja, ia terbiasa bergulat dengan kesendirian dan kerasnya kehidupan. Bekerja serabutan sejak SMA, ia berjuang menyelesaikan pendidikannya sendirian, dengan hanya ditemani Jae Hyun, sahabatnya yang cerewet namun setia.
Namun musim panas itu membawa kejutan: Kim Sae Ryeon, cahaya yang menyinari kegelapan hidupnya. Perlahan tapi pasti, Seo Han membuka hatinya untuk merasakan kebahagiaan yang selama ini ia hindari. Bersama Sae Ryeon, ia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang mencintai dan dicintai.
Tapi takdir berkata lain. Di puncak kebahagiaannya, Seo Han didiagnosis mengidap ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit langka yang secara perlahan akan melumpuhkan tubuhnya. Di hadapan masa depan yang tak menentu dan ketakutan menjadi beban, Seo Han membuat keputusan paling menyakitkan: mengorbankan cintanya untuk melindungi orang tersayang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahmad faujan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HILANGNYA RASA PERSAHABATAN
Seo Han mempercepat langkahnya melewati jet bridge yang terasa pengap. Udara sejuk dari kabin pesawat menyambutnya saat ia memasuki pesawat Jeju Air. Seorang pramugari berdiri di pintu, menyambutnya dengan senyum profesional yang ramah.
"Selamat pagi, silakan mencari tempat duduk Anda," sapa pramugari tersebut, nadanya ceria.
Seo Han hanya mengangguk kecil, pandangannya langsung mencari nomor kursi. Nomornya tertera di boarding pass: 14A, kursi dekat jendela. Ia berjalan melewati lorong sempit, menghindari sikut penumpang lain yang masih sibuk merapikan barang bawaan.
Ia menemukan baris kursinya dan segera membuka kompartemen bagasi kabin di atas. Tas ranselnya yang ringan ia masukkan ke dalam, lalu ia duduk. Seo Han menoleh ke luar jendela. Di sana, para pekerja bandara masih sibuk dengan persiapan akhir.
Tidak lama kemudian, seorang pramugara yang mengenakan seragam rapi berjalan di lorong, memastikan semua penumpang sudah duduk dan bagasi sudah tersimpan aman.
"Permisi, Bapak. Mohon tegakkan sandaran kursi dan tutup meja lipat Anda. Terima kasih," kata pramugara itu kepada penumpang di seberang Seo Han.
Setelah semua penumpang terlihat tenang, lampu di kabin meredup sejenak, dan suara renyah dari pramugari kepala terdengar melalui intercom.
🔊 [Pengumuman Awak Kabin (Pramugari)]
"Selamat datang di penerbangan Jeju Air dengan nomor penerbangan 7C XXX tujuan Seoul, Gimpo. Kami ucapkan terima kasih atas pilihan Anda terbang bersama kami hari ini. Saat ini, kami sedang mempersiapkan diri untuk lepas landas."
"Kami mohon perhatian Bapak dan Ibu sekalian untuk memperhatikan demonstrasi keselamatan yang akan diperagakan oleh awak kabin kami."
Seo Han menyaksikan demonstrasi keselamatan tanpa benar-benar mencernanya. Ia melihat pramugari menunjukkan cara menggunakan sabuk pengaman, masker oksigen yang akan jatuh secara otomatis jika tekanan udara berkurang, dan jaket pelampung di bawah kursi. Setiap gerakan terasa mekanis dan jauh.
Ia mengencangkan sabuk pengamannya. Jari-jarinya gemetar sedikit. Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi yang dingin.
Aku sudah di sini. Tidak ada jalan kembali. Jae Hyun pasti benci aku sekarang.
Perasaan menyesal tiba-tiba menghantam, tetapi ia menahannya. Tekadnya harus lebih kuat daripada rasa bersalah.
🔊 [Pengumuman Awak Kabin (Pramugara)]
"Kami ingatkan kembali, mohon pastikan ponsel dan perangkat elektronik Anda diatur ke mode penerbangan atau dimatikan sepenuhnya, demi kelancaran sistem navigasi pesawat. Juga, pastikan sabuk pengaman Anda terpasang erat. Kami akan segera bergerak menuju landasan pacu. Terima kasih."
Seo Han mengambil ponselnya untuk terakhir kali, memastikan mode pesawat sudah aktif. Layar ponselnya masih menunjukkan pesan terakhirnya kepada Jae Hyun. Ia menghela napas, lalu memasukkan ponselnya ke saku hoodie.
Pesawat mulai bergerak perlahan, meninggalkan gerbang. Suara mesin jet bergetar pelan. Seo Han menatap keluar jendela, menyaksikan Bandara Internasional Jeju semakin menjauh. Ia melihat laut biru yang mengelilingi pulau itu, seolah-olah pulau itu adalah penjara yang baru saja ia tinggalkan.
Jantungnya berdebar keras seiring pesawat melaju kencang di landasan pacu. Rasanya seperti ia tidak hanya meninggalkan Jeju, tetapi juga bagian terbaik dari dirinya yang tertinggal bersama Jae Hyun dan Seo Ryeon.
Inilah awal yang baru, pikirnya, memejamkan mata erat saat pesawat miring ke atas, menembus lapisan awan.
...----------------...
Jae Hyun berjalan kembali menyusuri jalan desa yang tadi ia lalui dengan penuh kegembiraan. Namun, aura yang kini menyelimutinya terasa datar, berat, dan tanpa emosi. Langkah kakinya yang tadinya terburu-buru dan panik kini menjadi pelan, seolah menyeret beban yang tak terlihat.
Ia melewati lokasi di mana ia membuang kantong plastik sarapan Seo Han. Gumpalan Sup Biji Tahu Hangat yang tercecer di tanah menjadi pengingat yang menyakitkan akan kekecewaannya. Ia mengalihkan pandangan dengan cepat, tidak ingin melihat lagi bukti dari emosi yang meledak sesaat tadi.
Kemarahan yang membakar di dadanya telah mereda, tetapi tidak hilang. Ia justru berubah menjadi rasa sakit yang membeku—kebingungan mengapa Seo Han harus pergi tanpa memberitahunya, setelah semua yang mereka janjikan.
Ia tiba di depan warung ibunya. Warung kecil itu, yang biasanya dipenuhi tawa dan obrolan pagi hari, terasa asing baginya.
Ibunya, Bibi Mi-young, sedang sibuk meracik pesanan di balik meja. Ia mendongak saat mendengar suara langkah kaki Jae Hyun yang berat.
"Lho, Hyun? Kamu sudah pulang? Kenapa cepat sekali? Mana Seo Han?" tanya Bibi Mi-young, senyumnya langsung memudar saat melihat wajah anaknya.
Jae Hyun tidak menjawab. Ia hanya berjalan ke kursi sudut, jauh dari pandangan pelanggan, dan menjatuhkan dirinya.
"Hyun, kamu kenapa? Wajahmu pucat begitu," desak Ibunya, meninggalkan sejenak panci supnya. Ia mendekati Jae Hyun, tangannya terulur menyentuh dahi anaknya.
Jae Hyun menarik napas dalam. "Bu, Seo Han... dia pergi," katanya, suaranya pelan dan serak.
"Pergi? Pergi ke mana? Kan dia janji mau sarapan di sini, kamu yang masak Sup Biji Tahu itu, 'kan?"
"Dia terbang ke Seoul, Bu. Tiba-tiba. Dia nggak bilang apa-apa," jelas Jae Hyun, matanya menatap kosong ke lantai kayu warung.
Bibi Mi-young terdiam sejenak. Ia tahu betul seberapa erat persahabatan Jae Hyun dan Seo Han. Kepergian mendadak ini tentu menyakitkan bagi anaknya.
"Ya Tuhan... ke Seoul? Kenapa mendadak sekali? Dia bilang kenapa?"
"Masalah sama Ayahnya, Bu," jawab Jae Hyun dingin. Ia lalu mengangkat wajahnya, menatap Ibunya dengan pandangan penuh kekecewaan, meskipun matanya masih menyimpan gurat kesedihan.
Bibi Mi-young kembali ke meja kerjanya, menyalakan kompor, dan bicara sambil memotong sayuran. Nada suaranya santai, berusaha meredakan suasana tegang.
"Ya sudah. Sudah, biar masalahnya cepat selesai. Itu juga kasihan lihat Seo Han selama ini selalu sendirian memikirkan urusan keluarganya," kata Bibi Mi-young, menghela napas lembut. "Ibu yakin dia sangat rindu dengan Ayahnya atau ingin Ayahnya segera terlepas dari masalah. Jangan terlalu diambil hati, Hyun. Sudah, normal saja seperti biasa. Dia pasti akan telepon kamu kalau sudah sampai."
Nasihat ibunya yang sederhana dan logis itu perlahan menenangkan Jae Hyun. Ia mengangguk pelan. Kekecewaannya masih ada, tetapi kemarahannya kini terasa tidak berarti.