Ratusan tahun setelah kemenangan Kaisar Xiao Chen, di sebuah dunia fana yang terpencil, sebuah legenda baru mulai bersemi dari benih yang telah ia tanam.
Xuan Ye adalah seorang yatim piatu, dibuang saat lahir dan dianggap "sampah" karena tidak memiliki akar spiritual. Dia tumbuh di bawah hinaan dan penindasan, tidak menyadari bahwa di dalam darahnya tertidur dua garis keturunan agung: kekuatan ilusi Mata Ungu dari Keluarga Xuan kuno, dan darah Phoenix dari ibunya, seorang bidadari suci dari Aliran Suci. Ibunya, yang dibutakan oleh harga diri sektenya, telah membuangnya karena dianggap sebagai aib dan berbohong pada suaminya bahwa putra mereka telah meninggal.
Di titik terendahnya, Xuan Ye secara "tidak sengaja" menemukan sebuah warisan jiwa yang ditinggalkan oleh Kaisar Xiao Chen. Kesempatan ini membangkitkan Mata Ungu Ilusi miliknya dan memberinya teknik kultivasi jiwa dasar, memberinya kunci untuk memulai perjalanannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Gema dari Masa Lalu
Setelah ujian selesai, Xuan Ye, bersama dengan ratusan calon lainnya yang ditakdirkan untuk menjadi murid luar, dibimbing menuruni tangga utama gunung, menuju ke sebuah area di kaki gunung yang dikenal sebagai Puncak Pekerja.
Tempat ini sangat kontras dengan kemegahan puncak-puncak utama Sekte Gerbang Awan Biru. Di sini, udaranya dipenuhi oleh suara kapak yang menebang kayu spiritual, bau dari kandang-kandang binatang roh, dan teriakan para tetua yang memerintah. Ini adalah tempat di mana pekerjaan kasar dilakukan, tempat bagi mereka yang bakatnya dianggap tidak cukup.
Xuan Ye diberikan sebuah jubah abu-abu kasar, sebuah kamar kecil di barak yang penuh sesak, dan tugas pertamanya: membersihkan kandang dari Kuda Awan bersisik milik sekte.
Para murid pelayan lainnya, yang juga gagal dalam ujian tetapi setidaknya memiliki akar spiritual, menatapnya dengan campuran antara kasihan dan cemoohan.
"Jadi kau adalah si 'sampah' yang tidak punya akar spiritual itu," kata salah satu dari mereka. "Aku tidak tahu bagaimana kau bisa melewati Jembatan Hati Iblis, tapi di sini, Hati Dao yang kuat tidak akan membantumu mengangkat sekop."
Xuan Ye tidak membalas. Dia hanya mengambil peralatannya dan mulai bekerja dalam diam.
Pekerjaan itu berat dan melelahkan. Dia bekerja dari fajar hingga senja. Saat malam tiba, dia menerima jatah makannya: semangkuk bubur gandum kasar yang hambar dan sepotong kecil sayuran kering.
Dia kembali ke kamarnya yang sempit dan gelap, duduk sendirian di atas ranjang kayunya yang keras, dan mulai makan. Dia menatap tangannya yang kapalan dan kotor, lalu pada bubur di mangkuknya.
Dia tidak merasa putus asa. Dia tidak merasa terhina. Sebaliknya, sebuah senyum tipis yang penuh dengan kesedihan dan kekuatan muncul di wajahnya.
Ini... jauh lebih baik dari sebelumnya.
Pikirannya melayang kembali ke masa lalu. Ke sebuah musim dingin yang brutal, sepuluh tahun yang lalu.
Dia baru berusia enam tahun, seorang yatim piatu tanpa nama yang hidup di gang-gang belakang sebuah kota yang tidak ramah. Dia tidak ingat apa-apa tentang orang tuanya, hanya sebuah selimut tipis dan nama "Ye" yang terukir di sebuah liontin kayu murah.
Dia ingat rasa lapar yang begitu menyiksa hingga perutnya terasa seperti terbakar. Dia ingat bagaimana dia mencoba mencuri sebuah roti kukus yang sudah basi dari sebuah warung, dan bagaimana si pemilik warung memukulinya dengan tongkat hingga dia hampir mati.
Dia ingat rasa dingin yang menusuk tulang saat dia mencoba tidur di bawah tumpukan jerami yang basah, tubuh kecilnya gemetar tak terkendali. Dia ingat bagaimana anak-anak jalanan lain yang lebih besar akan mencuri setiap koin tembaga yang berhasil ia dapatkan dari mengemis.
Dan dia ingat malam terburuknya.
Dia bersembunyi di dalam sebuah gang buntu, meringkuk di tumpukan salju untuk menghindari angin yang membekukan. Dia kelaparan. Dia sekarat. Dia akan menyerah. Dia akan memejamkan matanya dan membiarkan kegelapan membawanya pergi.
Tetapi kemudian, dia melihat bayangannya di sebuah genangan air yang membeku. Dia melihat matanya sendiri. Sepasang mata ungu yang aneh, yang selalu membuatnya diejek sebagai "anak iblis".
Pada saat itu, di ambang kematian, sesuatu di dalam dirinya patah. Jika mereka semua memanggilku iblis, pikir anak berusia enam tahun itu dengan kebencian yang dingin. Kalau begitu... aku akan bertahan hidup seperti seekor iblis.
Api tekad yang tak tergoyahkan menyala di dalam jiwanya yang masih muda. Dia bangkit. Dia tidak lagi menangis. Dia mencari makan di tumpukan sampah, bertarung melawan anjing-anjing liar untuk sisa-sisa makanan. Dia belajar untuk menjadi tak terlihat, untuk bergerak dalam bayang-bayang. Dia belajar untuk mengamati, untuk menjadi licik.
Dia bertahan hidup.
Kilasan masa lalu itu berakhir.
Xuan Ye, di kamarnya yang sederhana, menghabiskan suapan terakhir dari buburnya. Dibandingkan dengan sisa makanan beku yang harus ia perebutkan dengan anjing, bubur hambar ini terasa seperti perjamuan kekaisaran. Kamarnya yang kecil ini adalah sebuah istana dibandingkan dengan gang-gang yang membeku.
Mereka pikir ini adalah penderitaan? pikirnya, kilatan dingin muncul di mata ungunya yang tersembunyi. Ini adalah kemewahan. Mereka memberiku atap. Mereka memberiku makanan. Dan yang terpenting... mereka memberiku waktu.
Dia tidak melihat posisinya sebagai sebuah hukuman. Dia melihatnya sebagai sebuah kesempatan. Sebuah kamuflase yang sempurna.
Saat seluruh barak telah sunyi dan semua orang tertidur, Xuan Ye duduk bersila di atas ranjangnya. Dia memejamkan matanya.
Dia mulai mengedarkan Sutra Kultivasi Jiwa Awal. Energi jiwa yang hangat dan murni mulai berkumpul di dalam lautan kesadarannya yang baru.
Di tengah-tengah para jenius yang tidur di paviliun-paviliun megah di puncak, di bagian terendah dari sekte, di dalam tubuh seorang 'sampah'... sebuah kekuatan yang sesungguhnya mulai tumbuh dalam keheningan.