Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.
"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"
"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"
Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4
Hari ini adalah hari bersejarah. Atau lebih tepatnya hari bencana nasional bagi Keira Anindya. Sejak pukul empat pagi dia sudah dibangunkan paksa oleh mamanya. Rasanya nyawa Keira belum terkumpul sepenuhnya tapi dia sudah diseret ke kamar mandi dan diguyur air dingin.
Rumah keluarga Anindya sudah ramai seperti pasar pagi. Tenda-tenda dekorasi bernuansa putih dan emas sudah terpasang megah. Wangi bunga melati menyebar ke seluruh penjuru rumah.
Keira duduk pasrah di depan meja rias. Seorang perias pengantin waria bernama Kak Bobby sedang sibuk memoles wajah Keira. Tangan Kak Bobby menari-nari lincah di atas wajah Keira sambil sesekali bernyanyi lagu dangdut koplo.
"Aduh, Tuan Putri jangan cemberut terus dong ah. Nanti bedaknya retak loh. Senyum dikit kenapa sih. Hari ini kan hari bahagia," cerocos Kak Bobby sambil menepuk-nepuk spons bedak dengan semangat.
Keira menatap pantulan dirinya di cermin. Cantik. Dia nyaris tidak mengenali dirinya sendiri. Riasan adat Sunda dengan Siger di kepalanya membuat dia terlihat anggun. Tapi tatapan matanya kosong seperti ikan mati.
"Bahagia dari Hongkong Kak. Ini namanya hari eksekusi," gumam Keira pelan.
Pintu kamar terbuka. Mama Keira masuk dengan mata berkaca-kaca. Dia mengenakan kebaya hijau botol yang senada dengan seragam keluarga.
"Masya Allah. Anak Mama cantik banget," Mama mendekat dan memeluk bahu Keira dari belakang. "Rasanya baru kemarin kamu Mama ajarin jalan. Sekarang sudah mau jadi istri orang."
Keira yang tadinya kesal mendadak jadi sedih. Dia memegang tangan mamanya. "Ma. Keira nggak mau nikah. Keira di sini aja sama Mama ya. Keira janji bakal rajin bersihin kamar mandi tiap hari."
Mama tertawa sambil menghapus air matanya. "Hush. Jangan ngomong gitu. Pamali. Di luar sudah ramai. Rombongan keluarga Zayden sebentar lagi sampai. Kamu siap-siap ya."
Jantung Keira berdegup kencang. Dia merasa mual. Ini benar-benar terjadi. Dia akan menikah dengan Arkan Zayden. Si musuh bebuyutan. Si buaya darat. Si mulut silet.
Setengah jam kemudian terdengar suara tabuhan rebana dari luar rumah. Suara pembawa acara terdengar lantang menyambut kedatangan calon pengantin pria. Keira mengintip sedikit dari balik tirai jendela kamarnya di lantai dua.
Di sana. Di barisan paling depan. Arkan berjalan gagah dengan beskap putih dan blangkon. Kalung melati melingkar di lehernya. Wajahnya terlihat tegang tapi tetap tampan. Keira benci mengakui ini tapi Arkan terlihat sangat berwibawa hari ini.
"Ingat Keira. Itu cuma casing. Isinya tetap aja sampah masyarakat," racau Keira pada dirinya sendiri untuk menjaga kewarasan.
Prosesi akad nikah dimulai. Keira belum diperbolehkan keluar. Dia harus menunggu di kamar sampai ijab kabul selesai alias dipingit sebentar. Dia hanya bisa mendengar suara Arkan dari pengeras suara.
"Saudara Arkan Zayden bin Wijaya Zayden. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri kandung saya Keira Anindya binti Budi Anindya dengan mas kawin seperangkat alat salat dan logam mulia seberat lima puluh gram dibayar tunai."
Suara Papa Keira terdengar bergetar menahan tangis. Hati Keira ikut teriris. Maafkan Keira ya Pa. Keira lakukan ini demi Papa.
Hening sejenak. Keira meremas tangannya yang dingin. Jangan sampai Arkan salah sebut nama. Jangan sampai dia kabur.
"Saya terima nikah dan kawinnya Keira Anindya binti Budi Anindya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"
Suara Arkan lantang. Tegas. Cepat. Tanpa jeda sedikitpun. Persis seperti orang lagi ikut lomba lari cepat atau rapper yang lagi konser.
"Bagaimana saksi? Sah?"
"SAH!"
Kata sakti itu menggema. Sah. Satu kata tiga huruf yang mengubah status Keira dari jomblo merdeka menjadi istri orang. Air mata menetes di pipi Keira tanpa permisi. Kak Bobby buru-buru mengelapnya dengan tisu agar maskara tidak luntur.
"Jangan nangis Neng! Mahal makeup-nya!" pekik Kak Bobby panik.
Keira akhirnya dituntun keluar kamar untuk menemui suaminya. Ya Tuhan. Suami. Geli sekali rasanya menyebut Arkan sebagai suami.
Keira berjalan pelan menuruni tangga didampingi dua sepupunya. Semua mata tertuju padanya. Di ujung sana Arkan berdiri menunggu. Saat melihat Keira mata Arkan sedikit membelalak. Mulutnya sedikit terbuka.
Keira sampai di hadapan Arkan. Mereka saling bertatapan. Keira berharap ada momen romantis seperti di film saat pengantin pria mencium kening pengantin wanita dengan penuh cinta.
Arkan meraih tangan Keira untuk dicium sebagai tanda bakti istri. Saat Keira membungkuk mencium tangan Arkan dia mendengar bisikan setan.
"Tumben wangi. Biasanya bau minyak tawon," bisik Arkan pelan.
Keira langsung menegakkan tubuhnya dan melotot. Dia mencubit punggung tangan Arkan dengan keras saat pura-pura menyalaminya.
"Aww!" Arkan meringis pelan tapi langsung menutupinya dengan senyum lebar ke arah kamera.
"Sekarang silakan pengantin pria mencium kening istrinya," instruksi Pak Penghulu.
Arkan maju selangkah. Dia memegang kedua bahu Keira. Wajahnya mendekat. Keira memejamkan mata pasrah. Bibir Arkan menyentuh keningnya. Lama. Cukup lama untuk membuat para tamu bersorak "Ciyeee".
"Jangan geer. Gue lakuin ini biar Papa seneng aja. Bedak lo tebel banget sih. Kayak donat gula," bisik Arkan lagi tepat di depan dahi Keira.
Keira menginjak kaki Arkan yang tersembunyi di balik kain batik. Arkan menahan napas menahan sakit tapi tetap mempertahankan senyum palsunya. Mereka adalah aktor dan aktris terbaik hari ini. Piala Citra seharusnya jatuh ke tangan mereka.
Resepsi diadakan siang harinya di gedung mewah. Ribuan tamu datang silih berganti. Keira merasa kakinya mau patah. Sepatu hak tinggi dua belas senti ini benar-benar menyiksa. Dia sudah berdiri selama tiga jam nonstop menyalami tamu yang tidak dia kenal sebagian besarnya.
Arkan di sebelahnya tampak santai. Dia menebar senyum maut ke setiap tamu wanita yang datang.
"Selamat ya Mas Arkan. Istrinya cantik banget," puji seorang teman bisnis Arkan.
"Makasih Om. Iya cantik tapi galak. Hati-hati kalau dekat-dekat suka gigit," canda Arkan yang disambut tawa oleh tamu itu.
Keira mencubit pinggang Arkan lagi. Lengan dan pinggang Arkan pasti sudah biru-biru sekarang karena cubitan Keira seharian ini.
"Bisa diem nggak mulut lo. Gue capek nih. Kaki gue kayak mau copot," keluh Keira saat tamu sedang sepi.
"Lemah lo. Baru juga berdiri tiga jam. Gue dong tiap hari gym angkat beban kuat," sombong Arkan.
"Ya beda lah Bambang! Lo pake sepatu teplek gue pake egrang!" semprot Keira.
Tiba-tiba Keira merasakan tubuhnya oleng. Kakinya kram. Dia kehilangan keseimbangan dan nyaris jatuh terjungkal ke belakang.
Dengan gerakan refleks yang sangat cepat tangan kekar Arkan menangkap pinggang Keira. Dia menarik tubuh Keira hingga menempel ke dada bidangnya. Wajah mereka berdekatan. Sangat dekat.
Para tamu undangan yang melihat kejadian itu langsung heboh.
"Duh romantis banget sih pengantin baru. Mau jatuh aja ditangkep."
"Drakor dunia nyata ini mah."
Keira menatap mata Arkan. Jantungnya berdebar lagi. Apakah Arkan khawatir padanya?
"Lo berat banget sih Ra. Makan apa aja lo tadi pagi? Batako?" tanya Arkan merusak suasana.
Keira langsung mendorong dada Arkan menjauh dan berdiri tegak lagi. Rasa kagumnya langsung menguap ke angkasa.
"Diem lo! Gue diet ya!"
Arkan tertawa kecil. Sebenarnya dia tidak merasa Keira berat. Tubuh Keira pas dan mungil dalam pelukannya. Dia hanya suka melihat wajah Keira yang merah merona saat marah. Itu hiburan tersendiri di tengah resepsi yang membosankan ini.
Tiba-tiba seorang wanita cantik dengan gaun merah menyala naik ke pelaminan. Rambutnya panjang bergelombang. Wajahnya cantik tapi terlihat angkuh.
Mata Arkan langsung terpaku pada sosok itu. Senyum di wajahnya memudar perlahan.
Itu Clara.
Keira menyadari perubahan sikap Arkan. Dia menatap wanita berbaju merah itu dengan curiga. Wanita itu menyalami orang tua Arkan dengan akrab lalu berjalan menuju pengantin.
"Selamat ya Arkan. Aku nggak nyangka kamu nikah secepat ini," ucap Clara sambil mengulurkan tangan. Suaranya terdengar manis tapi tatapannya tajam menusuk.
Arkan menyambut uluran tangan itu dengan kaku. "Makasih Clara. Makasih udah dateng."
Clara beralih menatap Keira. Dia memindai penampilan Keira dari atas sampai bawah dengan tatapan menilai. Tatapan yang membuat Keira merasa risih.
"Selamat ya Mbak Keira. Jaga Arkan baik-baik ya. Dia itu manja dan picky soal makanan. Semoga Mbak betah," kata Clara dengan nada yang seolah-olah dia lebih mengenal Arkan daripada siapapun.
Keira tersenyum miring. Naluri perangnya bangkit.
"Terima kasih Mbak Clara. Tenang aja. Arkan sekarang udah ada pawangnya. Jadi dia nggak akan manja lagi. Kalau nakal tinggal saya sentil ginjalnya," jawab Keira santai tapi menusuk.
Wajah Clara sedikit berubah masam. Dia melepaskan tangan Keira dan berlalu turun dari pelaminan.
"Siapa dia?" tanya Keira langsung pada Arkan setelah Clara pergi.
"Temen lama," jawab Arkan singkat. Dia membuang muka dan pura-pura sibuk membetulkan letak keris di punggungnya.
Keira tahu Arkan bohong. 'Temen lama' tidak akan menatap Arkan dengan tatapan terluka seperti tadi. Dan Arkan tidak akan menjadi segugup ini hanya karena teman lama. Ada sejarah di antara mereka. Dan Keira benci mengakui kalau dia sedikit penasaran. Sedikit saja kok.
Malam harinya mereka akhirnya sampai di kamar hotel tempat mereka menginap. Kamar Suite mewah dengan pemandangan kota Jakarta di malam hari. Di tengah ruangan ada ranjang king size yang dihiasi kelopak bunga mawar merah membentuk hati. Dan ada sepasang angsa dari handuk yang saling berciuman.
Norak. Pikir Keira.
Keira langsung melepaskan sepatu hak tingginya dan melemparnya sembarangan.
"Ahhh lega banget! Kaki gue serasa diamputasi!" teriak Keira sambil memijat kakinya.
Arkan masuk sambil melonggarkan dasinya. Dia menutup pintu kamar dan menguncinya. Bunyi 'klik' kunci pintu membuat suasana mendadak canggung.
Mereka berdua terjebak di satu ruangan. Hanya berdua. Suami istri. Dan satu kasur.
Arkan berjalan menuju kulkas mini dan mengambil botol air mineral. Dia meneguknya sampai habis.
"Lo mau mandi duluan apa gue?" tanya Arkan tanpa menatap Keira.
"Gue duluan. Badan gue lengket banget kena hairspray sama bedak," jawab Keira.
Keira berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Tapi langkahnya terhenti. Dia baru sadar dia masih memakai kebaya akad yang kancingnya ada di belakang. Dan kancingnya sangat banyak. Deretan kancing kecil dari leher sampai pinggang.
Keira berusaha menggapai punggungnya sendiri. Tangannya berputar-putar aneh seperti orang lagi senam yoga tapi tetap tidak sampai.
Arkan yang melihat tingkah aneh istrinya itu menahan tawa.
"Ngapain lo? Kesurupan?" tanya Arkan.
Keira mendengus kesal. Dia menyerah. Dia butuh bantuan. Harga dirinya harus diturunkan sedikit malam ini.
"Arkan. Tolongin gue," cicit Keira pelan.
"Hah? Apa? Nggak denger. Telinga gue agak budek kena suara speaker tadi," goda Arkan pura-pura tuli.
"Tolong bukain resleting kebaya gue!" teriak Keira jengkel.
Arkan tersenyum puas. Dia berjalan mendekati Keira. Dia memutar tubuh Keira agar membelakanginya.
Arkan melihat punggung Keira yang terekspos di balik kain kebaya transparan itu. Kulitnya putih mulus. Tengkuk leher Keira terlihat jenjang. Arkan menelan ludah. Mendadak tenggorokannya kering.
"Cepetan dong. Jangan lama-lama. Gue ngantuk," omel Keira saat Arkan diam saja.
"Sabar. Ini kancingnya kecil banget kayak kesabaran lo," jawab Arkan.
Jari-jari Arkan mulai membuka kancing satu persatu. Sentuhan kulit jari Arkan di punggung Keira membuat gadis itu merinding. Napas Arkan terasa hangat di tengkuknya.
Suasana kamar menjadi hening dan intim. Hanya suara napas mereka yang terdengar.
"Ra," panggil Arkan pelan. Suaranya terdengar berat.
"Apa?" jawab Keira gugup.
"Lo pake korset ketat banget sih. Pantesan tadi pas resepsi lo makannya dikit. Takut meledak ya perutnya?"
Puar. Suasana romantis langsung hancur berkeping-keping.
Keira langsung berbalik setelah kancing terakhir terbuka. Dia memegangi bagian depan kebayanya agar tidak melorot.
"Dasar cowok mesum! Pikiran lo cuma ngejek fisik orang aja bisanya!" maki Keira lalu lari masuk ke kamar mandi dan membanting pintu.
Arkan tertawa terbahak-bahak di luar. Dia melempar tubuhnya ke atas kasur empuk itu hingga kelopak mawar berhamburan.
Dia menatap langit-langit kamar. Senyum di wajahnya perlahan menghilang. Bayangan Clara di resepsi tadi kembali muncul. Pesan yang dikirim Clara sebelum resepsi masih terbayang di otaknya.
[Aku hamil anak kamu Arkan.]
Arkan memejamkan mata erat-erat. Pusing. Kepalanya mau pecah. Itu tidak mungkin benar. Dia dan Clara sudah putus tiga bulan lalu. Dan mereka tidak pernah melakukan hal sejauh itu. Clara pasti bohong.
Tapi bagaimana kalau benar? Bagaimana nasib pernikahannya dengan Keira?
Suara gemericik air shower terdengar dari kamar mandi. Arkan menoleh ke pintu kamar mandi. Dia merasa bersalah pada Keira. Gadis itu tidak tahu apa-apa. Dia menyeret Keira ke dalam masalah hidupnya yang rumit.
"Maafin gue Ra," gumam Arkan pelan.
Malam pertama mereka sepertinya tidak akan seindah di novel-novel romantis. Malam ini akan menjadi awal dari badai besar yang siap menghantam kapal rumah tangga mereka yang baru saja berlayar.