Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Gugatan Maut dan Runtuhnya Harga Diri
Cilla melangkah ke dapur dengan perasaan dongkol. Namun, begitu kakinya menginjak area dapur, ia langsung terdiam bingung. Ia menatap deretan panci, penggorengan, dan spatula yang tertata rapi di dinding dapur Aini seolah melihat benda-benda dari planet lain. Seumur hidupnya, ia hanya tahu cara memesan makanan melalui aplikasi atau menunggu pelayan menyajikan hidangan di restoran mewah.
"Duh, ini kompor nyalainnya gimana sih? Tombolnya banyak sekali," gumam Cilla sambil memutar-mutar tombol kompor gas dengan ragu. Setelah beberapa kali mencoba dan hampir membuat dapur berbau gas yang menyengat, api akhirnya menyala dengan suara blug.
Ia mulai membuka lemari bumbu, namun matanya berputar melihat deretan toples yang tidak diberi label.
"Mana garam, mana gula? Mana bumbu kaldu? Semuanya putih begini, mana aku tahu!" keluhnya frustrasi. Ia membuka kulkas dengan harapan menemukan bahan makanan siap saji yang tinggal dihangatkan, namun ia terkejut melihat isinya yang hampir kosong melompong. Aini sudah memindahkan semua stok makanan premium ke tempat rahasia yang tak mungkin ditemukan Cilla.
"Hah? Kosong? Ini gimana ceritanya Mbak Aini belanja? Cuma ada telur empat butir ini dan sayur bayam?!" seru Cilla kesal sambil mengambil wadah plastik berisi empat butir telur.
"Ya sudah lah, rebus saja. Merebus kan gampang, tinggal cemplungin ke air. Tidak butuh bumbu, tidak butuh keahlian."
Cilla mengambil panci kecil, mengisinya dengan air yang terlalu banyak sampai hampir meluap, lalu memasukkan empat butir telur itu secara kasar tanpa perasaan. Ia tidak tahu bahwa telur mentah harus dimasukkan perlahan. Akibatnya, dua telur langsung retak begitu menghantam dasar panci, membuat putih telurnya keluar dan berbuih kotor di dalam air mendidih.
Sambil menunggu telur direbus, Cilla tidak memperhatikan waktu. Ia malah kembali asyik bermain ponsel di meja dapur, membalas komentar di media sosialnya. Air rebusan itu mulai mendidih hebat, meluap ke pinggir panci, menyiram tungku kompor yang panas, dan membuat lantai dapur menjadi becek serta licin.
Varo, yang baru saja selesai mandi dan hanya mengenakan kaos oblong putih dengan handuk tersampir di bahu, kembali berdiri di depan pintu kamar Aini. Bau amis dari telur rebus yang gagal mulai tercium menyengat sampai ke sana. Ia mencoba mengetuk pintu sekali lagi, suaranya kini terdengar memohon.
Tok! Tok! Tok!
"Aini, buka pintunya, Sayang. Mas mau ambil kemeja kerja di dalam lemari. Mas tidak tahu kamu simpan di sebelah mana. Tolonglah, Mas bisa tambah telat ke kantor kalau bajunya tidak ada. Ini saja Mas sudah telat. Kita bicara baik-baik ya? Mas lapar banget ini, Cilla tidak becus di dapur," bujuk Varo dengan suara yang dibuat selembut mungkin.
Tak lama kemudian, terdengar suara kunci diputar dengan suara yang mantap.
Ceklek.
Pintu terbuka, namun sosok yang keluar bukanlah Aini dengan daster lusuhnya. Aini tampil luar biasa cantik dan berkelas. Ia mengenakan setelan blazer kantor berwarna pastel yang sangat pas di tubuhnya, tas tangan bermerek di bahu, dan riasan wajah yang sempurna namun tetap natural. Di tangannya, ia memegang sebuah kunci mobil dengan logo mewah yang masih mengkilap.
"Kamu mau ke mana, Aini? Dan... itu kunci mobil siapa? Kok Mas baru lihat kunci secantik itu?" tanya Varo tertegun, matanya tak berkedip menatap istrinya yang seolah lahir kembali menjadi wanita yang berbeda kasta dengannya.
Aini tidak menjawab. Ia bahkan tidak memberikan tatapan pada wajah Varo. Ia melangkah tegap melewati suaminya tanpa sepatah kata pun. Ibu Sarah yang mendengar suara pintu langsung lari dari ruang makan dan matanya terbelalak melihat penampilan Aini yang mengalahkan gaya sosialita di kampung mereka.
"Heh! Mau pamer ke mana kamu dandan seperti itu?! Pagi-pagi bukannya di dapur membantu madumu malah mau keluyuran! Lihat itu dapurmu berantakan dan bau amis gara-gara si Cilla kebingungan mengurus peralatanmu!" teriak Ibu Sarah dengan wajah memerah.
Aini terus berjalan menuju garasi tanpa menoleh. Di sana, terparkir sebuah mobil putih keluaran terbaru yang masih sangat bersih, kontras dengan mobil lama Varo yang berdebu di sampingnya.
"ASTAGA! Mobil siapa itu terparkir di sini?!" Ibu Sarah menjerit histeris sampai suaranya serak. "Varo! Ini mobil baru kamu ya? Wah, bagus sekali! Tapi kenapa Aini yang pegang kuncinya?! Aini! Turun tidak kamu! Jangan lancang pakai mobil anak saya tanpa izin!"
Ibu Sarah berlari sekuat tenaga menghalangi pintu mobil saat Aini baru saja akan masuk. "Kamu jangan mimpi mau bawa kabur mobil mewah ini! Ini pasti dibeli pakai uang hasil kerja keras Varo selama ini yang kamu kuras diam-diam! Enak saja kamu mau pakai jalan-jalan sementara anak saya berangkat kerja pakai mobil lama yang sudah bunyi mesinnya!"
Aini menurunkan kaca mobil sedikit, menatap Ibu Sarah dengan tatapan yang sangat tajam, dingin, dan penuh otoritas.
"Minggir, Bu. Saya ada urusan penting ke luar rumah. Jangan sampai saya panggil polisi karena ada orang asing yang menghalangi jalan saya di rumah saya sendiri dan di atas mobil milik saya sendiri."
Varo mendekat dengan wajah bingung bercampur rasa iri yang membakar hati.
"Aini... kamu beli mobil ini? Pakai uang dari mana? Kok Mas tidak tahu kamu punya tabungan sebanyak ini? Kamu menyembunyikan sesuatu dari suamimu?"
Aini tertawa hambar, suara tawanya terdengar menyakitkan di telinga Varo.
"Uang dari mana? Kamu tanya uang dari mana, Mas? Selama ini kamu pikir tabungan yang aku kumpulkan dari sisa nafkahmu? Lucu sekali. Uang yang kamu beri bahkan tidak cukup untuk beli ban mobil ini. Ini mobil saya. Hasil keringat saya dari bisnis sampingan yang selama ini kalian remehkan, kalian anggap remeh, dan kalian sepelekan. Mobil ini atas nama saya pribadi, dan tidak ada satu rupiah pun uang haram kamu di sini."
Ibu Sarah ternganga, wajahnya memerah karena malu dan marah yang meledak-ledak. "Bohong! Mana mungkin kamu punya uang sebanyak ini! Kamu pasti korupsi uang dapur yang Varo kasih kan? Kamu mencuri uang keluarga untuk kemewahanmu sendiri sementara kami makan seadanya!"
"Korupsi uang dapur?" Aini menaikkan sebelah alisnya dengan gaya elegan.
"Uang dapur yang hanya cukup untuk makan tempe dan tahu setiap hari itu? Lucu sekali Ibu ini. Justru karena kalian terlalu parasit dan hanya tahu cara menghabiskan uang, saya belajar cari uang sendiri di luar pengetahuan kalian. Sekarang, minggir! Atau Ibu mau saya tabrak agar kaki Ibu tahu rasanya kerasnya ban mobil mahal?"
Aini menekan tombol start, suara mesin yang halus dan bertenaga terdengar memenuhi garasi. Ia perlahan mundur keluar, meninggalkan Ibu Sarah yang hanya bisa menghentak-hentakkan kakinya ke lantai semen karena kesal dan iri yang membara di dadanya.
Beberapa saat kemudian di meja makan, suasana terasa sangat suram. Cilla menyajikan empat butir telur rebus itu di atas piring tanpa hiasan apa pun. Kondisinya sangat mengenaskan; dua telur hancur berantakan dan air rebusannya masih menempel amis di piring, tanpa ada nasi, sambal, atau bahkan kerupuk sekalipun.
"Makanan apa ini, Cilla?! Cuma telur rebus hancur begini yang kamu hidangkan untuk mertuamu?! Kamu tidak bisa goreng telur atau sekadar buat nasi goreng yang layak?!" seru Ibu Sarah dengan nada meremehkan saat melihat piring di depannya.
"Hanya itu yang ada di kulkas, Bu! Bahan-bahannya habis semua! Tanya saja sama Mbak Aini kenapa dia tidak belanja atau kenapa dia simpan makanannya! Aku juga tidak tahu cara nyalain kompor Mbak Aini yang aneh itu, jariku sampai sakit!" sahut Cilla mulai melawan, suaranya meninggi, tidak lagi semanis saat ia merayu Varo dulu.
"BERANI KAMU MENYAUTI UCAPAN SAYA?! Kamu itu menantu baru, harusnya kamu lebih pintar dan lebih rajin dari Aini agar Varo tidak menyesal, bukan malah malas dan tidak bisa apa-apa begini!" bentak Ibu Sarah.
Ting!
Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Varo yang diletakkan di atas meja. Varo membukanya dengan malas, namun seketika wajahnya berubah pucat pasi seperti mayat.
"Ada apa, Mas? Kenapa wajahmu tegang begitu? Seperti melihat hantu saja," tanya Cilla yang mulai merasa tidak nyaman.
"Ini... tagihan listrik dan air bulan ini. Mereka bilang belum dibayar sama sekali dan akan diputus hari ini kalau tidak dilunasi sebelum jam dua siang," Varo menatap tajam ibunya dengan tatapan menginterogasi.
"Ibu, bukannya uang bulanan yang Varo kasih kemarin itu sudah termasuk untuk bayar semua tagihan rutin rumah ini? Ibu bilang sudah beres?"
Ibu Sarah gelagap, keringat dingin mulai muncul di dahinya.
"Su-sudah kok, Varo... Ibu sudah bayar... mungkin mereka yang salah catat..." (Padahal uangnya ia gunakan untuk DP perhiasan emas diam-diam).
Varo mencoba memakan satu telur rebus hancur itu untuk menahan amarah yang mulai mendidih. Namun begitu digigit, bagian dalamnya masih setengah mentah dan sangat amis, membuat perutnya mual seketika.
"UHUUKKK! UHUUKKK! Amis sekali!" Varo membuang makanannya ke lantai.
"Cilla! Kamu merebus telur saja tidak becus! Kamu niat kasih makan orang atau mau bikin saya keracunan pagi-pagi?! Sial sekali hidupku pagi ini!"
Ibu Sarah ikut mencium bau amisnya dan langsung berteriak menumpahkan kekesalannya.
"PUIH! Kamu mau membunuh kami ya?! Telur mentah begini kamu kasih! Benar-benar tidak becus jadi istri!"
"Maaf, Bu... aku... aku tidak sengaja... aku kan juga baru belajar..." Cilla akhirnya pecah tangisnya. Ia menangis sesenggukan di meja makan, merasa terpojok oleh semua orang, sementara Aini sedang berada di luar sana menikmati mobil barunya.
Kantor Pengadilan Agama...
Aini melangkah keluar dari lobi kantor Pengadilan Agama dengan perasaan yang jauh lebih lega, seolah beban berton-ton telah diangkat dari bahunya. Di sampingnya, Rania, sahabat setianya yang terus menemani, menepuk pundaknya dengan rasa bangga yang luar biasa.
"Gimana, Ai? Sudah beres semua proses pendaftarannya? Tidak ada kendala di dalam?" tanya Siska penuh antusias.
"Alhamdulillah, Sis. Semua bukti kuat sudah aku serahkan. Petugas tadi bilang gugatanku sangat kuat dan lengkap karena bukti perselingkuhannya sangat nyata. Aku sudah tidak sabar melihat wajah mereka saat surat ini datang," jelas Aini dengan senyum puas yang menghiasi wajah cantiknya.
"Bagus! Biar sekalian kena mental si Varo itu di depan bos dan teman-teman kantornya. Aku sudah tidak sabar mendengar kabar dia dipecat atau dipermalukan. Yuk, kita rayakan dengan makan siang paling mahal di kota ini! Biar uangmu bermanfaat untuk dirimu sendiri!"
Aini tertawa lepas, sebuah tawa tulus yang menandai awal dari kebebasan barunya dan berakhirnya masa-masa ia menjadi babu di rumahnya sendiri.
BERSAMBUNG...