Kabur dari perjodohan toksik, Nokiami terdampar di apartemen dengan kaki terkilir. Satu-satunya harapannya adalah kurir makanan, Reygan yang ternyata lebih menyebalkan dari tunangannya.
Sebuah ulasan bintang satu memicu perang di ambang pintu, tapi saat masa lalu Nokiami mulai mengejarnya, kurir yang ia benci menjadi satu-satunya orang yang bisa ia percaya.
Mampukah mereka mengantar hati satu sama lain melewati badai, ataukah hubungan mereka akan batal di tengah jalan?
Yuk simak kisahnya dalam novel berjudul "Paket Cinta" ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16.Maaf
Napas Nokiami tertahan di tenggorokannya. Ia menunggu. Menunggu sebuah penjelasan yang bisa jadi akan menghancurkannya atau justru membebaskannya. Udara koridor terasa dingin dan berat, sarat dengan pengakuan yang baru saja tumpah dan pertanyaan yang masih menggantung di udara.
Nokiami menatap Reygan, mencoba membaca sesuatu di wajah pria itu yang kini terlihat begitu lelah dan terbuka, seolah semua lapisan pertahanannya telah luruh bersamaan dengan pintu lift yang tertutup tadi.
Reygan memutar tabung salep itu di antara jemarinya yang panjang dan kapalan.
“Dulu … ayahku pelari. Amatir, sih, bukan profesional. Cuma hobi lari maraton di akhir pekan.”
Nokiami mengerjapkan mata, sama sekali tidak menduga arah pembicaraan ini.
Ayahnya?
“Setiap kali pergelangan kakinya kambuh,” lanjut Reygan, matanya masih terpaku pada tabung putih itu, seolah sedang menatap sebuah relik dari masa lalu, “dia selalu pakai ini. Katanya cuma merek ini yang paling manjur. Paling cepat meredakan nyeri.”
Ia berhenti sejenak seraya menelan ludah. “Waktu aku lihat kakimu bengkak, cuma ini yang terlintas di kepalaku. Aku tidak ingat merek lain.” Ia akhirnya mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata Nokiami. Tatapannya jernih, tanpa jejak sarkasme. “Jadi, maaf. Aku tidak tahu kalau merek ini punya kenangan buruk untukmu.”
Maaf.
Kata itu keluar dari bibirnya dengan begitu lugas, begitu tanpa syarat, hingga membuat Nokiami terhuyung ke belakang. Sebuah permintaan maaf yang tulus. Bukan yang dibungkus kebohongan canggung tentang pelanggan lantai empat, bukan pula yang disamarkan sebagai ‘bagian dari layanan’. Hanya sebuah permintaan maaf.
Beban yang selama ini menekan dada Nokiami terasa menguap. Aroma mentol dan kamper yang tadinya mencekik kini terasa netral. Itu bukan lagi salep milik Leo. Itu adalah salep milik ayah seorang pelari amatir. Sebuah kenangan tentang kegigihan, bukan penghinaan.
“Oh.” Hanya itu yang bisa keluar dari bibir Nokiami, suaranya nyaris berbisik. “Aku … aku tidak tahu.”
“Mana mungkin kau tahu,” balas Reygan dengan sedikit senyum tipis yang getir menyentuh sudut bibirnya. “Sekarang kembalikan! Biar kubuang.”
Ia mengulurkan tangannya. Namun, Nokiami justru menggenggam tabung itu lebih erat.
“Tidak,” katanya cepat. “Tidak usah. Aku akan menyimpannya.” Ia menatap tabung itu, kini dengan pandangan yang sama sekali berbeda. “Sebagai pengingat.”
“Pengingat apa? Pengingat kalau kurir di apartemenmu ini bodohnya tidak ketulungan?”
“Bukan,” sahut Nokiami, senyum tulus pertama dalam beberapa hari terakhir akhirnya merekah di wajahnya. “Sebagai pengingat kalau tidak semua hal di dunia ini berputar tentang dia.”
Reygan menatapnya lama, seolah mencoba memahami perubahan yang baru saja terjadi di dalam diri gadis di hadapannya. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya mengangguk pelan, sebuah anggukan singkat yang terasa sarat makna.
“Aku harus pergi. Masih banyak pesanan,” katanya, kembali mengenakan topeng dinginnya, meskipun kini terasa sedikit longgar.
“Reygan,” panggil Nokiami saat pria itu berbalik.
Pria menghentikan langkahnya kemudian menoleh sedikit.
“Terima kasih.”
Reygan tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan langkahnya menuju tangga darurat karena mungkin lift terasa terlalu lama. Meninggalkan Nokiami sendirian di koridor, dengan sebuah tabung salep dan perasaan ringan yang aneh dan semangat yang mulai bangkit.
Keesokan harinya, apartemen itu terasa berbeda. Sinar matahari pagi yang menembus jendela tidak lagi terasa mengejek, melainkan hangat. Untuk pertama kalinya, Nokiami tidak terbangun dengan perasaan terancam. Percakapannya dengan Reygan semalam telah melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh perban elastis mana pun. Itu mampu meluruskan sesuatu yang terkilir di dalam jiwanya.
Ia terpincang-pincang ke dapur, membuka kulkas yang isinya mulai menipis. Ada beberapa butir telur, sisa mentega, sekotak susu, dan sekantong tepung terigu yang ia beli dalam kepanikan beberapa hari lalu. Matanya menatap bahan-bahan sederhana itu, dan sebuah keinginan yang telah lama terkubur mulai menggeliat bangkit. Sebuah kerinduan akan aroma manis yang memenuhi udara, akan kehangatan oven, akan presisi menakar gula dan tepung.
Ia ingin membuat kue.
Seketika, suara lain menyela di benaknya. Suara Leo. Dingin, meremehkan, dan selalu diiringi decakan lidah.
“Membuat kue lagi, Nokia? Kenapa kamu sengaja menyiksa diri dengan membuat bom kalori yang jelas-jelas tidak boleh kamu makan?”
“Lihat tanganmu. Penuh adonan. Menjijikkan. Lebih baik kamu habiskan waktumu di gym, bukan di dapur.”
“Rasanya terlalu manis. Seperti dirimu. Terlalu banyak, terlalu berlebihan.”
Nokia memejamkan mata, tangannya mencengkeram pinggiran meja dapur. Selama bertahun-tahun, suara itu telah meracuni salah satu kegemarannya yang paling murni. Ia berhenti membuat kue, berhenti menikmati prosesnya, karena setiap adukan adonan terasa seperti sebuah pengakuan dosa. Setiap gigitan kue terasa seperti sebuah kegagalan.