Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
penyusup
Gideon terdiam lama, lalu ia mengeluarkan sebuah surat yang tampak sedikit terbakar dari sakunya. "Ayahmu tidak mati karena aku, Emelia. Dia mati mencoba melindungiku. Dia tahu ada pengkhianat di kastil, dan dia mencoba mengirimkan pesan ini padamu sebelum mereka membakar rumahnya."
Emelia menerima surat itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, tertulis tulisan tangan ayahnya yang kasar namun penuh kasih: "Emelia, jangan percaya pada siapapun kecuali suamimu. Ada ular di desa kita..."
Tangis Emelia kembali pecah, kali ini bukan karena kebencian, melainkan karena penyesalan yang luar biasa. Ia jatuh ke pelukan Gideon, memohon ampun atas ketidakpercayaannya.
"Sudahlah," bisik Gideon sambil mengusap rambutnya. "Perang kita di ibu kota belum berakhir. Dan kali ini, tidak akan ada lagi rahasia di antara kita."
Emelia mendongak dengan wajah pucat, tangannya menunjuk ke arah kegelapan hutan di pinggir lembah. "Gideon, tunggu! Ini belum usai... aku melihat wanita tadi, dia masih selamat! Dia berlari masuk ke dalam hutan saat pasukannya kocar-kacir!"
Gideon menoleh tajam ke arah hutan yang dimaksud Emelia. Matanya menyipit, memancarkan kedinginan yang mematikan. Ia tahu wanita itu bukan sekadar pemimpin tentara bayaran, melainkan kunci untuk membongkar siapa dalang sebenarnya di ibu kota.
"Dia tidak akan pergi jauh," desis Gideon. Ia menoleh ke arah Komandan Night Hawks yang baru saja mendekat dengan baju zirah yang bersimbah darah musuh. "Komandan, kepung sektor barat hutan! Jangan biarkan dia keluar hidup-hidup, tapi pastikan dia masih bisa bicara saat aku menemukannya."
"Siap, Tuan Duke!" Komandan itu memberi isyarat, dan separuh pasukan berkuda langsung memacu kuda mereka menuju kegelapan hutan.
Gideon kembali menatap Emelia. Ia melepas jubah hitamnya yang tebal dan menyampirkannya ke bahu Emelia yang gemetar. "Tetaplah di sini bersama sisa pengawal. Aku sendiri yang akan menyeretnya keluar."
"Tidak, Gideon! Jangan pergi sendirian!" seru Emelia, menahan lengan suaminya. "Wanita itu licik, dia punya pistol dan mungkin jebakan lain di dalam sana."
Gideon menggenggam tangan Emelia, lalu mencium keningnya dengan lembut namun tegas. "Dia telah menghancurkan kepercayaanmu padaku, dia telah mencoba membunuhmu, dan dia bertanggung jawab atas fitnah kematian ayahmu. Aku tidak akan membiarkan matahari terbit sebelum dia membayar setiap tetes air mata yang kau keluarkan hari ini."
Tanpa menunggu jawaban lagi, Gideon melompat ke atas kudanya. Dengan satu hentakan tali kekang, ia memacu kudanya secepat kilat masuk ke dalam rimbunnya pepohonan, menghilang di balik bayang-bayang hutan yang mencekam.
Emelia berdiri mematung, dikelilingi oleh pasukannya yang bersiaga. Di kejauhan, sayup-sayup terdengar suara tembakan pistol yang memecah kesunyian hutan, diikuti oleh teriakan kemarahan wanita itu.
Jantung Emelia berdegup kencang. Ia tahu, di dalam hutan yang gelap itu, Gideon bukan lagi seorang suami yang lembut, melainkan sosok "Iblis dari Jasper" yang tidak akan memberi ampun pada siapapun yang mengusik miliknya.
Namun, di tengah ketegangan itu, Emelia menyadari sesuatu. Ia melihat salah satu prajurit Night Hawks yang berdiri tidak jauh darinya sedang memegang sebuah lencana. Lencana itu bukan milik pasukan Gideon, melainkan lencana yang sama dengan yang dipakai wanita tadi.
Pengkhianat itu masih ada di sini, tepat di sampingku, batin Emelia ngeri. Ia perlahan meraba saku jubah Gideon yang ia pakai, mencari senjata apa pun yang tersisa sementara mata prajurit itu mulai melirik ke arahnya dengan tatapan yang sangat tidak asing.
Emelia menahan napas, berusaha menjaga ekspresi wajahnya agar tetap terlihat rapuh di bawah balutan jubah tebal Gideon. Matanya melirik tajam ke arah prajurit tersebut. Pria itu tidak lagi berdiri dalam posisi siaga layaknya pelindung; ia justru menggeser posisi tubuhnya, perlahan mempersempit jarak antara mereka sementara prajurit lainnya sibuk memperhatikan arah hutan tempat Gideon pergi.
Di dalam saku jubah Gideon, jari-jari Emelia menyentuh sesuatu yang dingin dan berat. Sebuah pistol saku berukir perak. Gideon ternyata meninggalkan senjatanya untuknya.
"Nyonya Duchess," suara prajurit itu terdengar rendah, hampir seperti bisikan. "Tuan Duke mungkin sangat kuat, tapi dia terlalu ceroboh meninggalkan permata berharganya di tangan orang seperti aku."
Emelia menggenggam pistol itu erat-earn, jempolnya perlahan menarik pelatuk di dalam saku tanpa menimbulkan suara. "Siapa yang mengirimmu? Apakah wanita itu atau Raja?" tanya Emelia, suaranya tenang meskipun jantungnya berdegup kencang.
Prajurit itu tersenyum tipis, matanya berkilat jahat. "Sama saja, bukan? Kami semua menginginkan kematian keluarga pengkhianat sepertimu. Darahmu akan menjadi harga yang mahal bagi—"
Belum sempat pria itu menghunuskan belatinya, Emelia dengan gerakan secepat kilat mengarahkan laras pistol dari dalam saku jubah dan melepaskan tembakan.
DOR!
Pria itu terhuyung ke belakang, memegang bahunya yang bersimbah darah. Para prajurit Night Hawks lainnya tersentak dan langsung mengepung pria itu, menyadari bahwa ada musuh dalam selimut di tengah mereka.
"Tangkap dia!" perintah Emelia dengan suara yang kini penuh otoritas, sangat jauh dari gadis desa yang polos. "Dia bukan bagian dari kita!"
Di saat yang sama, dari dalam kegelapan hutan, Gideon muncul. Ia tidak lagi menunggangi kudanya, melainkan berjalan kaki sambil menyeret sosok wanita pemimpin tadi yang sudah terikat tak berdaya. Pakaian Gideon penuh noda darah musuh, wajahnya kaku seperti batu.
Gideon berhenti saat melihat kekacauan di sekitar Emelia. Matanya langsung tertuju pada prajurit yang sedang ditekan ke tanah oleh pasukannya, lalu pada pistol di tangan Emelia.
"Emelia!" Gideon berlari mendekat, langsung memeriksa tubuh istrinya. "Kau terluka?"
"Aku baik-baik saja, Gideon," jawab Emelia dengan napas terengah, ia menatap wanita yang diseret Gideon. "Tapi pengkhianatan ini jauh lebih besar dari yang kita duga. Mereka ada di mana-mana."
Wanita yang terikat itu tertawa lirih, meski wajahnya lebam. "Kau menang kali ini, Duke. Tapi di ibu kota... Raja sudah menyiapkan panggung yang jauh lebih besar untuk kematian istrimu. Kematian ayahnya hanyalah makanan pembuka."
Gideon mencengkeram rahang wanita itu dengan keras hingga tawanya terhenti. "Maka aku akan memastikan Raja melihat bagaimana aku menghancurkan setiap panggung yang dia buat dengan tangan kosongku sendiri."
Gideon berbalik menatap Emelia, kali ini tatapannya penuh dengan janji yang mematikan. "Kita tidak akan menunggu fajar lagi. Kita berangkat ke ibu kota sekarang. Dan kali ini, tidak ada satu pun pengkhianat yang akan tersisa hidup-hidup di belakang kita."
Dengan kunci perak di tangan Emelia dan amarah Gideon yang memuncak, perjalanan menuju ibu kota bukan lagi sekadar pelarian, melainkan serangan balik yang akan mengguncang pondasi kerajaan.