Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
"kenapa juga aku harus bilang ke kau?” katanya pelan, tapi tajam.
“Memangnya kita sedekat itu?”
Kalimat itu membuat Leonard terdiam.
Beberapa detik berlalu tanpa suara. Tatapan Leonard tak lagi dingin melainkan terkejut, seolah tidak menyangka Leora akan membalas dengan cara seperti itu.
“Kau—” Leonard berhenti, menarik napas. “Kau istriku.”
Leora menghela napas kecil, lalu memalingkan wajah ke jendela.
“Iya,” katanya lirih. “Istri yang bahkan tidak tahu kapan suaminya pulang, ke mana dia pergi, dan harus menunggu tanpa penjelasan.”
Kata-kata itu tidak diucapkan dengan marah. Justru terlalu tenang. Dan justru itu yang menusuk.
Leonard mengepalkan tangannya pelan. Rasa bersalah kembali muncul, kali ini lebih nyata.
“Aku tidak terbiasa menjelaskan,” ucapnya akhirnya. “Dan aku tidak suka dikekang.”
Leora menoleh lagi, menatapnya lurus.
“Aku juga tidak suka merasa diabaikan.”
Hening kembali turun. Kali ini bukan hening canggung melainkan hening dua orang yang sama-sama keras kepala, sama-sama terluka, dan sama-sama belum tahu bagaimana harus melangkah.
Leonard menunduk sedikit, suaranya lebih rendah.
“Kita tidak sedekat itu… tapi kita juga bukan siapa-siapa.”
Leonard menatap Leora cukup lama, seolah masih ingin melanjutkan pembicaraan itu.
“Kau tahu,” ucapnya akhirnya, suaranya lebih rendah, “aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti itu.”
Leora menyilangkan tangannya di depan dada.
“Kau selalu menyimpulkan sendiri.”
“Dan kau selalu merasa tidak perlu menjelaskan apa pun,” balas Leora tanpa ragu.
Hening sejenak. Ketegangan menggantung di antara mereka.
Leonard menghela napas pelan. “Kalau begini terus, pembicaraan kita tidak akan ada ujungnya.”
Leora mengangguk kecil, lalu berkata datar,
“Terserah. Ngomong sama kamu memang tidak akan ada habisnya.”
Ia berbalik menuju pintu kamar.
“Ayo turun. Kita sarapan.”
Leonard mengikutinya.
Baru beberapa langkah keluar kamar, langkah Leora tiba-tiba melambat. Wajahnya sedikit berubah. Tangannya refleks menahan perutnya, seolah menahan rasa tidak nyaman yang datang tiba-tiba.
Leonard langsung menghampiri.
“Itu masih sakit,” katanya tegas tapi tidak keras. “Kita ke dokter saja.”
Leora menepis tangannya sebelum sempat menyentuh.
“Tidak perlu.”
“Leora—”
“Aku tidak butuh belas kasihmu,” ucapnya dingin. “Aku bisa mengurus diriku sendiri.”
Leonard terdiam. Raut khawatir jelas terlihat meski ia berusaha menyembunyikannya.
Leora kembali melangkah tanpa menoleh, berjalan menuju ruang makan dengan langkah sedikit lebih pelan dari biasanya.
Leonard berdiri sesaat di belakangnya, lalu menyusul.
Dan pagi itu, mereka duduk di meja yang sama
tanpa jarak fisik,
namun dengan jarak perasaan yang terasa jauh lebih lebar dari sebelumnya.
Ruang makan terasa terlalu luas untuk pagi yang sunyi.
Tak ada percakapan.
Leora menyuap perlahan, tapi beberapa detik kemudian ia berhenti. Tangannya kembali menahan perutnya, gerakannya halus tapi tak luput dari perhatian Leonard.
Leonard menurunkan sendoknya.
Tatapannya mengarah ke salah satu pelayan yang berdiri tak jauh dari meja. Tanpa suara, hanya dengan sedikit anggukan kepala dan satu lirikan singkat, ia memberi isyarat.
Pelayan itu mengangguk paham dan segera pergi.
Leora menyadari gerakan itu. Ia menatap Leonard sekilas.
“Apa yang kau lakukan?”
“Tidak apa-apa,” jawab Leonard singkat, kembali menatap piringnya.
Beberapa menit kemudian, pelayan itu kembali membawa segelas air hangat dan beberapa obat. Ia meletakkannya perlahan di sisi Leora.
“Ini dari Tuan,” ucapnya sopan sebelum mundur.
Leora menatap gelas dan obat itu lama. Rahangnya mengeras.
“Aku sudah bilang tidak perlu, gausah sok perhatian deh” katanya pelan, tanpa menatap Leonard.
Leonard akhirnya mengangkat wajah. “Aku tidak memintamu berterima kasih.”
Leora mendengus kecil. “Lalu apa ini kalau bukan rasa kasihan?”
Leonard berdiri dari kursinya, mendekat satu langkah—tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk membuat Leora mengangkat kepala.
“Ini bukan belas kasih,” ucapnya rendah. “Ini tanggung jawab.”
Leora menatapnya, mencoba mencari sesuatu di wajah Leonard entah ketulusan, entah kebohongan. Namun yang ia temukan hanya ekspresi kaku yang terlalu terlatih untuk dibaca.
Ia memalingkan wajah.
“Aku tidak terbiasa bergantung pada siapa pun,” katanya lirih.
Leonard terdiam beberapa detik, lalu berkata,
“Aku juga.”
Hening kembali turun.
Akhirnya, Leora meraih gelas itu. Ia minum seteguk kecil bukan karena disuruh, tapi karena tubuhnya memang membutuhkannya. Leonard memperhatikannya diam-diam, lalu kembali ke kursinya seolah tidak ingin ketahuan.
Setelah sarapan selesai, suasana kembali hening.
Dua orang bodyguard sudah berdiri rapi di dekat pintu, salah satunya memegang tas kerja Leonard. Udara pagi terasa lebih terang, tapi jarak di antara dua orang itu masih sama dinginnya.
Leonard berdiri lebih dulu. Leora ikut bangkit dari kursinya, berdiri beberapa langkah di belakang.
“Kau istirahat saja,” ucap Leonard datar. “Tidak perlu mengantarku ke depan.”
Leora terkekeh kecil. Tawa yang sengaja dibuat ringan nyaris mengejek.
“Dih, pede amat lo,” katanya santai. “Siapa juga yang mau nganterin lo, hah? Berharap banget.”
Leonard menatapnya. Tidak marah, tidak tersinggung. Tatapan itu justru tenang, terlalu tenang, seolah menyimpan sesuatu yang tidak ia ucapkan.
Tanpa membalas, ia berbalik. Mengambil tas kerjanya dari tangan bodyguard dan melangkah pergi.
Pintu tertutup perlahan di belakangnya.
Leora berdiri diam.
Ia memandangi punggung Leonard yang semakin menjauh, langkahnya tegap, rapi, kembali menjadi sosok CEO dingin yang dikenalnya. Suara langkah itu menghilang, digantikan keheningan rumah yang terasa lebih luas dari sebelumnya.
Leora menarik napas pelan.
Entah kenapa, dadanya terasa sedikit sesak bukan karena sakit yang tersisa,
melainkan karena sesuatu yang perlahan mulai ia sadari, tapi belum berani ia akui.
Pintu mobil tertutup rapat.
Leonard duduk di kursi belakang, jasnya rapi, dasinya terpasang sempurna. Salah satu bodyguard duduk di depan, mobil mulai melaju meninggalkan halaman rumah.
Kota masih belum sepenuhnya ramai. Jalanan pagi membentang lurus, tapi pikiran Leonard tidak.
Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi, menatap keluar jendela tanpa benar-benar melihat apa pun. Pantulan wajahnya di kaca terlihat tenang terlalu tenang.
Namun bayangan Leora kembali muncul begitu saja.
Nada tawanya yang mengejek.
Tatapan dinginnya saat menolak bantuan.
Dan punggungnya yang ia tinggalkan tanpa menoleh tadi.
Leonard mengepalkan tangannya perlahan. Luka di tangannya berdenyut, mengingatkannya pada pagi yang seharusnya tak pernah terjadi.
Kenapa aku peduli?
Pertanyaan itu muncul tanpa izin.
Ponselnya bergetar. Nama Adriel muncul di layar.
Leonard mengangkat panggilan.
“Ya.”
“Dokumen rapat sudah siap, Tuan,” suara Adriel terdengar profesional seperti biasa. “Dan… tangan Tuan. Apakah perlu saya siapkan dokter kantor?”
Leonard terdiam sesaat.
“Tidak perlu,” jawabnya cepat. “Aku baik-baik saja.”
“Apa Tuan yakin?”
Leonard menatap tangannya sendiri. Perban darurat yang dipasang tergesa tadi pagi terlihat kontras dengan setelan mahalnya.
“Fokus ke pekerjaan,” katanya dingin. “Itu saja.”
Panggilan terputus.
Leonard kembali menyandarkan tubuhnya. Ia menghembuskan napas panjang, lalu menutup mata sejenak.
Ia bisa mengendalikan perusahaan.
Ia bisa mengendalikan orang lain.
Tapi pagi ini, satu hal menjadi jelas
Leora bukan bagian dari rencana.
Dan justru karena itu… ia menjadi gangguan terbesar.
Mobil melaju memasuki kawasan perkantoran.
Leonard membuka mata, ekspresinya kembali tertutup rapi. Topeng CEO kejam itu kembali terpasang.
......................
Mobil berhenti tepat di depan gedung Alastair Group.
Leonard turun dengan langkah mantap. Adriel sudah menunggunya di lobi, tablet di tangan, ekspresi profesional seperti biasa.
“Selamat pagi, Tuan,” sapa Adriel sambil berjalan di sisi Leonard.
Leonard hanya mengangguk. Mereka melangkah beriringan menuju lift, melewati lorong utama kantor yang mulai ramai oleh karyawan.
Di kejauhan, Leonard melihat dua orang berjalan tak jauh di depan mereka Arga dan Dimas.
Tanpa bermaksud menguping, langkah Leonard melambat sepersekian detik. Suara percakapan keduanya masuk ke pendengarannya dengan jelas.
“Eh, katanya Leora nggak masuk hari ini,” ujar Dimas.
“Iya,” sambungnya, “Selin bilang sih dia sakit.”
Arga langsung menoleh. “Sakit? Kemarin masih kelihatan baik-baik aja. Parah nggak, ya?”
Nada itu terlalu peduli.
Langkah Leonard berhenti.
Adriel menyadarinya, tapi memilih diam.
Leonard melangkah cepat menghampiri mereka.
Arga dan Dimas langsung tersentak saat menyadari siapa yang berdiri di belakang mereka. Keduanya spontan menunduk.
“Selamat pagi, Bos,” ucap mereka hampir bersamaan.
Leonard menatap keduanya dengan ekspresi datar. Suaranya rendah, tenang namun menekan.
“Peraturan baru,” katanya.
“Fokus pada pekerjaan masing-masing. Tidak perlu memikirkan urusan orang lain.”
Arga dan Dimas saling melirik singkat sebelum menjawab serempak,
“Baik, Pak.”
Leonard kemudian menoleh ke Adriel. “Sampaikan ke seluruh divisi.”
Adriel langsung mengangguk. “Baik, Tuan.”
Leonard melangkah melewati mereka, namun berhenti satu langkah di depan Arga. Tanpa menoleh sepenuhnya, ia berkata dingin,
“Arga. Temui saya di ruang saya setelah ini.”
Arga menelan ludah. “Baik, Pak.”
Leonard kembali berjalan menuju liftnya, jasnya berkibar ringan, wajahnya kembali tanpa celah.
Namun di balik sikap profesional itu, satu hal semakin jelas
Ia tidak suka ketika perhatian orang lain tertuju pada Leora.
Dan ia sendiri belum siap mengakui alasannya.
......................
Pintu ruang kerja Leonard tertutup rapat.
Arga berdiri tegak di depan meja besar itu, punggungnya lurus, tangan saling menggenggam di depan. Udara di ruangan terasa berat, meski AC bekerja normal.
Leonard duduk di kursinya, membuka tablet tanpa langsung menatap Arga.
“Duduk,” perintahnya singkat.
Arga menurut.
Leonard mulai berbicara seolah ini murni urusan pekerjaan.
“Laporan proyek divisi pemasaran revisi ulang. Aku ingin analisis risiko ditambahkan.”
Ia menggeser satu berkas. “Kerja sama vendor kemarin, kau ambil alih. Deadline dipercepat.”
Berkas lain menyusul. “Dan presentasi untuk rapat direksi minggu depan, kau yang siapkan.”
Arga mengangguk cepat. “Baik, Pak.”
Leonard belum selesai.
“Mulai hari ini, kau juga ikut evaluasi internal divisi. Semua temuan laporkan langsung ke Adriel.”
Ia akhirnya mengangkat kepala. Tatapannya lurus, tajam. “Jelas?”
“Jelas, Pak.”
Beberapa detik berlalu. Leonard menutup tabletnya perlahan. Suara klik itu terdengar lebih keras dari seharusnya.
Baru kemudian ia bersandar di kursi.
“Sekarang,” ucapnya tenang, terlalu tenang, “aku ingin bertanya sesuatu.”
Arga menegakkan punggungnya lagi. “Silakan, Pak.”
Leonard menatapnya tanpa berkedip.
“Apa hubungan Anda dengan Leora?”
Pertanyaan itu jatuh begitu saja tanpa emosi, tanpa penjelasan.
Arga jelas terkejut. “Saya… kami rekan kerja, Pak.”
“Hanya itu?” Leonard menyela.
Arga menelan ludah. “Iya, Pak. Kami satu tim. Tidak lebih.”
Leonard mengangguk kecil, seolah menerima jawaban itu. Namun tatapannya belum berpaling.
“Pastikan tetap seperti itu,” katanya dingin. “Di kantor ini, profesionalitas adalah segalanya.”
“Baik, Pak,” jawab Arga cepat.
Leonard berdiri, menandakan percakapan selesai.
“Anda bisa kembali bekerja.”
Arga bangkit dan membungkuk sopan. “Terima kasih, Pak.”
Saat pintu tertutup di belakang Arga, Leonard tetap berdiri di tempatnya. Tangannya mengepal pelan di sisi tubuh.
Ia tahu
pertanyaannya barusan tidak sepenuhnya profesional.
Dan itu justru yang paling mengganggunya.