Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.
Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.
"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.
Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bunga Yang Mekar di Tengah Badai
Senin pagi di Universitas Pelita Bangsa biasanya diawali dengan wajah-wajah mengantuk dan langkah kaki yang diseret malas. Namun, pagi ini, atmosfer di koridor Fakultas Ekonomi terasa berbeda. Ada bisik-bisik yang menjalar cepat dari lobi hingga ke kantin, seolah ada selebriti yang baru saja mampir.
Pusat perhatian itu bukanlah artis ibu kota, melainkan seorang mahasiswi semester satu yang baru saja turun dari ojek online.
Intan Puspita Dewi.
Selama dua bulan ini, Intan dikenal sebagai mahasiswi yang "biasa saja". Kemeja flanel kebesaran, celana jeans longgar, rambut diikat asal-asalan, dan wajah polos tanpa riasan. Ia adalah tipe yang mudah terlupakan di tengah keramaian.
Tapi hari ini, Intan memutuskan untuk membakar habis identitas "biasa"-nya itu. Kalimat Arga tentang 'pajangan dan tukang bersih-bersih' di restoran kemarin telah menampar harga dirinya begitu keras hingga membangunkannya dari tidur panjang.
Intan berjalan menyusuri koridor dengan dagu terangkat. Rambut panjangnya yang biasa kusut, kini telah dipotong sebahu dengan gaya lob (long bob) yang membingkai wajah tirusnya dengan sempurna. Ia mengenakan blus satin berwarna maroon yang dimasukkan rapi ke dalam celana bahan high-waist berwarna hitam, menonjolkan pinggang rampingnya.
Dan yang paling mengejutkan: riasan wajahnya. Tidak tebal, tapi cukup untuk mempertegas matanya yang indah dan memberikan rona segar di pipinya.
"Eh, itu Intan kan? Gila, beda banget!"
"Sumpah, gue kira anak pindahan. Cantik banget woy."
"Dia potong rambut ya? Jadi kelihatan dewasa banget."
Bisikan-bisikan itu terdengar jelas, tapi Intan tidak menunduk malu seperti biasanya. Ia terus melangkah, bunyi hak sepatu loafers-nya mengetuk lantai koridor dengan irama percaya diri.
"Intan?!"
Sarah, yang sedang menunggu di depan kelas, melongo sampai ponselnya nyaris jatuh.
"Sar," sapa Intan santai sambil tersenyum.
"Gila! Lo kesambet apaan?!" Sarah memutar tubuh Intan, menelitinya dari ujung rambut sampai kaki. "Lo abis menang lotre? Atau abis make over di salon mahal? Sumpah, lo cantik banget, Tan! Pangling gue!"
Intan tertawa kecil. "Lagi pengen aja, Sar. Bosen jadi upik abu terus."
"Bagus! Biar si 'Bapak' itu nyesel tujuh turunan!" dukung Sarah berapi-api.
Mereka masuk ke ruang kelas. Kehadiran Intan langsung menyedot perhatian. Beberapa mahasiswa laki-laki yang biasanya cuek, kini berebut menyapanya atau sekadar menawarkan kursi.
"Pagi, Tan. Tumben rapi. Mau presentasi?" tanya Budi, ketua kelas.
"Enggak, Bud. Cuma mau menghargai diri sendiri aja," jawab Intan diplomatis.
Di barisan belakang, Rangga yang kebetulan sedang membagikan selebaran acara BEM, terpaku menatap Intan. Ada kekaguman yang tulus di matanya.
"Keren potongannya," puji Rangga singkat saat Intan duduk. "Kelihatan lebih fresh."
"Makasih, Kak," balas Intan tulus.
Namun, drama sesungguhnya baru dimulai lima menit kemudian.
Pintu kelas terbuka. Suasana hening seketika. Argantara Ramadhan melangkah masuk dengan aura dingin yang biasa. Jas hitam, kemeja putih, wajah kaku.
Arga meletakkan tasnya di meja dosen. Ia membuka laptop tanpa melihat ke arah mahasiswa.
"Selamat pagi. Kumpulkan tugas minggu lalu di meja depan. Sekarang," perintah Arga datar.
Mahasiswa mulai bergerak maju mengumpulkan tugas. Arga sibuk memandangi layar laptopnya, sampai sebuah aroma parfum yang familiar—namun berbeda—tercium oleh hidungnya. Bukan aroma bayi yang biasa dipakai Intan, tapi aroma vanilla dan mawar yang elegan.
Arga mendongak.
Tepat di depannya, Intan sedang meletakkan buku tugas.
Dunia Arga seolah berhenti berputar selama tiga detik.
Matanya membelalak sedikit di balik kacamata bacanya. Ia menatap gadis di depannya itu dengan rasa tidak percaya. Rambut pendek yang segar, baju yang pas badan, dan... lipstick? Sejak kapan istri kecilnya ini pandai berdandan?
Arga menahan napas. Jantungnya berdegup kencang, sebuah reaksi biologis murni seorang laki-laki melihat wanita cantik. Dan wanita cantik itu adalah miliknya—setidaknya di atas kertas.
Intan menyadari tatapan Arga. Ia tidak menghindar. Ia justru menatap balik mata suaminya dengan sorot menantang, lalu tersenyum tipis—sangat tipis dan dingin.
"Ini tugas saya, Pak," ucap Intan formal.
Suara itu menyadarkan Arga. Ia berdeham keras, menutupi kecanggungannya.
"Ya. Duduk," perintah Arga kaku.
Intan berbalik badan, mengibaskan rambut pendeknya. Gerakan sederhana itu entah kenapa terlihat sangat memikat di mata Arga. Ia melihat Intan berjalan kembali ke kursinya, dan saat itulah Arga menyadari bencana lain.
Hampir seluruh mahasiswa laki-laki di kelas itu menatap Intan. Tatapan mereka lapar. Tatapan memuja.
Ada yang berbisik pada temannya, "Gila, bening banget."
Ada yang curi-curi pandang sambil senyum-senyum.
Darah Arga mendidih. Panas cemburu menjalar dari dada hingga ke telinganya.
Berani-beraninya mereka menatap istri saya seperti itu, batin Arga mengamuk. Ia ingin berteriak menyuruh mereka semua menunduk, tapi ia tidak punya kuasa untuk itu tanpa membongkar rahasianya.
"Ehem!" Arga memukul meja dosen cukup keras, membuat seisi kelas terlonjak kaget.
"Mata kalian ke depan!" bentak Arga galak. "Papan tulis ada di sini, bukan di kursi teman kalian!"
Mahasiswa laki-laki yang tertangkap basah langsung menunduk ketakutan. Sarah menyenggol lengan Intan sambil menahan tawa. Intan hanya mengangkat bahu acuh tak acuh.
Sepanjang jam kuliah itu, konsentrasi Arga hancur lebur. Ia mencoba menjelaskan materi Manajemen Risiko, tapi matanya terus-menerus melirik ke arah Intan.
Ia kesal melihat Intan tertawa kecil saat Sarah membisikkan sesuatu. Ia kesal melihat Intan merapikan rambutnya ke belakang telinga. Ia kesal karena Intan terlihat begitu bersinar tanpa dirinya.
Arga merasa seperti kehilangan kendali. Selama ini ia menganggap Intan sebagai anak kecil yang bergantung padanya. Tapi hari ini, Intan membuktikan bahwa dia bisa berdiri sendiri, bahkan berlari meninggalkannya.
"Oke, pertanyaan terakhir," ucap Arga di penghujung kelas, matanya terkunci pada Intan. Ia ingin menguji gadis itu. Ia ingin meruntuhkan sedikit kepercayaan diri barunya yang mengganggu itu.
"Saudari Intan," panggil Arga.
Seluruh kelas menoleh.
"Ya, Pak?" Intan berdiri dengan tenang.
"Menurut kamu, apa langkah pertama yang harus dilakukan perusahaan jika mengalami krisis reputasi akibat skandal internal?" tanya Arga. Pertanyaan yang cukup sulit dan menjebak.
Intan terdiam sejenak. Arga menunggu dengan senyum kemenangan tipis, berharap Intan akan gugup dan meminta bantuannya lewat tatapan mata.
Namun, Intan justru mengangkat dagunya.
"Transparansi dan pengakuan, Pak," jawab Intan lantang dan tegas. "Perusahaan harus berhenti menutupi kesalahan, mengakui fakta yang ada, dan meminta maaf secara terbuka. Karena semakin ditutupi dengan kebohongan atau pengalihan isu, reputasi akan semakin hancur. Publik menghargai kejujuran daripada kesempurnaan palsu."
Hening.
Jawaban itu... jawaban itu terasa sangat personal. Arga merasa jawaban itu bukan untuk studi kasus perusahaan, tapi ditujukan langsung untuknya. Untuk pernikahan mereka yang penuh kebohongan dan "kesempurnaan palsu".
Arga terpaku. Ia tidak bisa membantah.
"Jawaban yang... tepat," ucap Arga akhirnya, suaranya terdengar kalah. "Kelas bubar."
Arga membereskan laptopnya dengan kasar. Ia ingin segera keluar dari ruangan itu sebelum ia meledak.
Saat ia berjalan menuju pintu, ia berpapasan lagi dengan Intan yang hendak keluar bersama Sarah.
Jarak mereka sangat dekat. Arga bisa mencium aroma parfum baru Intan yang memabukkan.
Arga memperlambat langkahnya. Tanpa menoleh, ia berbisik sangat pelan, hanya bisa didengar oleh Intan saat bahu mereka bersisipan.
"Jangan pakai lipstick semerah itu lagi ke kampus. Mengganggu konsentrasi."
Itu bukan teguran dosen. Itu adalah rengekan seorang pria yang cemburu setengah mati.
Intan berhenti sejenak. Ia menoleh ke punggung suaminya yang menjauh. Senyum miring terukir di bibirnya.
"Itu urusan saya, Pak," gumam Intan pelan.
Hari itu, di Universitas Pelita Bangsa, Intan Puspita Dewi bukan lagi sekadar istri rahasia yang tersembunyi. Dia telah mekar menjadi bunga yang cantik, dan Argantara baru saja menyadari bahwa ia bukan satu-satunya kumbang yang menginginkannya. Dan kesadaran itu adalah siksaan terberat bagi egonya yang masih tinggi.
makan tuh gengsi Segede gaban😄