Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17 : SEBAIKNYA JANGAN BERTANYA TENTANG ITU
Erlangga mencengkeram daguku dengan kasar hingga aku meringis. Matanya memerah, memancarkan kemarahan yang meluap karena privasinya telah kulanggar.
"Siapa yang memberimu izin masuk ke sini?" desisnya. Suaranya rendah tapi sangat mengancam. "Jangan pernah lancang menyentuh apa pun di ruangan ini lagi. Mengerti?"
Ia menyentakkan tanganku hingga aku mundur selangkah, lalu ia mengunci pintu ruang kerja itu dengan dentuman keras. Aku terdiam di lorong, gemetar karena takut sekaligus bingung.
Setelah dia pergi dan mengunci pintu ruang kerja itu dari luar, aku segera mencari Bi Sumi. Aku menemukannya di dapur, sedang menunduk dalam sambil memotong sayuran.
"Bi, siapa Sarah?" bisikku, duduk di sampingnya.
Bi Sumi tersentak. Ia menatap ke arah pintu, memastikan Erlangga tidak ada di sana. "Non Shilla... sebaiknya jangan bertanya tentang itu. Tuan Erlangga bisa marah besar."
"Aku sudah tahu semuanya, Bi. Aku tahu soal kecelakaan itu. Aku hanya ingin tahu, wanita seperti apa dia sampai Erlangga menjadi gila seperti ini?"
Bi Sumi berhenti bergerak, namun ia tidak menatapku. Tangannya yang memegang kain lap tampak kaku. "Non Shilla, saya hanya pelayan di sini. Tugas saya hanya memasak dan bersih-bersih," jawabnya dingin dan datar.
"Tapi Bi, Anda pasti tahu sesuatu. Dia ingin aku menjadi orang lain!" desakku.
Bi Sumi meletakkan kain lapnya dan menatapku dengan tatapan kosong. "Saya tidak ingin ikut campur urusan Tuan Erlangga dan Anda. Di rumah ini, lebih baik tidak tahu apa-apa jika ingin tenang. Sebaiknya Non segera kembali ke kamar dan ikuti saja apa maunya."
Tanpa menunggu reaksiku, ia berbalik dan pergi ke dapur, menutup pintu rapat-rapat. Aku ditinggalkan dalam kesunyian yang mencekam, menyadari bahwa aku benar-benar sendirian di rumah ini. Tidak ada sekutu, tidak ada penjelasan.
**
Langkah kakinya yang berat berdentum di atas lantai kayu, seirama dengan detak jantungku yang kian memburu. Belum sempat aku menenangkan diri, pintu kamar terbuka dengan bantingan keras yang menghantam dinding.
Erlangga berdiri di sana. Napasnya memburu, matanya merah padam seperti monster yang baru saja dilepaskan dari rantainya.
"Berani-beraninya kau..." suaranya rendah, serak oleh amarah yang tertahan.
Ia melangkah maju. Refleks, aku mundur hingga punggungku menabrak pinggiran meja rias. "Erlangga, maafkan aku, aku tidak bermaksud—"
Brak!
Ia menyapu semua botol parfum dan alat rias di atas meja dengan satu gerakan tangan yang kasar. Pecahan kaca berdenting di lantai, menciprat ke arah kakiku yang telanjang. Sebelum aku sempat berteriak, tangan besarnya sudah mencengkeram leherku—tidak cukup kuat untuk mencekik, tapi cukup untuk membuatku merasa nyawaku ada di genggamannya.
"Kau pikir kau siapa, hah?" desisnya tepat di depan wajahku. Aroma alkohol dan parfum mahalnya yang tajam menusuk indra penciumanku. "Kau hanya pion. Kau di sini karena aku menginginkanmu di sini. Kau tidak punya hak untuk menyelidiki hidupku, apalagi masuk ke ruangan itu!"
"S-sakit, Erlangga..." rintihku, air mata mulai mengalir deras.
Bukannya melepaskan, ia justru menyentakkan tubuhku hingga aku jatuh tersungkur di atas tumpukan pecahan kaca. Rasa perih yang tajam menusuk telapak tanganku, tapi ia tidak peduli. Ia menjambak rambutku, memaksaku mendongak menatap wajahnya yang bengis.
"Dengarkan aku baik-baik, Shilla," ucapnya dengan penekanan di setiap kata. "Mulai detik ini, kau adalah bayanganku. Kau tidak boleh melangkah ke ruangan itu lagi. Kau tidak boleh bicara pada siapa pun tanpa izinku. Kau harus menuruti semua perintahku, sekecil apa pun itu. Mengerti?!"
Aku hanya bisa mengangguk pasrah di tengah isak tangis yang menyesakkan dada.
Ia melepaskan jambakannya dengan kasar, membuat kepalaku terhentak. Ia berdiri tegak, memandangku dengan tatapan jijik seolah aku hanyalah kotoran di sepatunya. Ia mengeluarkan sapu tangan, mengusap tangannya yang baru saja menyentuhku, lalu membuang kain itu ke lantai.
"Hapus air matamu. Aku tidak butuh drama," katanya dingin, kembali ke nada suaranya yang datar namun otoriter. "Nanti malam, aku akan membawamu menemui keluargaku. Kau akan memakai gaun yang sudah kusiapkan. Kau akan tersenyum, kau akan bersikap anggun, dan kau akan menjadi wanita paling sempurna yang pernah mereka lihat."
Ia melirik jam tangannya, lalu kembali menatapku dengan mata yang kembali menajam. "Jangan coba-coba mempermalukanku di depan orang tuaku. Jika kau melakukan satu saja kesalahan... aku pastikan kau akan menyesal pernah dilahirkan ke dunia ini."
Tanpa kata pamit, ia berbalik dan keluar. Terdengar bunyi kunci diputar dari luar—klik. Aku terkunci. Aku sendirian di kamar yang kini terasa seperti sel penjara, dikelilingi pecahan kaca dan aroma ketakutan yang pekat.
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,