Saat kehamilan itu benar-benar terjadi pada Livia, dia bermaksud memberikan kejutan dengan datang ke kantor suaminya untuk mengabarkan kabar bahagia tersebut.
Tapi apa yang dia dapatkan, sangatlah mengguncang perasaannya.
Ternyata di ruangannya, Alex tengah bersama seorang wanita berparas lembut, dengan gadis kecil yang duduk di pangkuannya.
Bukannya merasa bersalah, setelah kejadian itu Alex malah memberi pernyataan, "kita berpisah saja!" Betapa hancur hati Livia. Dia tak menyangka, Alex yang begitu
mencintainya, dengan mudah mengatakan kata-kata perpisahan. Lalu apa jadinya jika suatu hari Alex mengetahui kalau dia sudah menelantarkan darah dagingnya sendiri dan malah memberikan kasih sayangnya pada anak yang tidak ada hubungan darah dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LABRAK
Livia melangkah ke arah mobilnya, diiringi Sean yang di sisinya.
"Liv, ayo aku antar. Biarkan aku yang menyetir." Sean menadahkan tangannya meminta kunci mobil Livia.
"Tidak usah, Pak, terima kasih, saya bisa sendiri."
"Sudah, jangan membantah!"
Sean tak sabar. Dia langsung merebut kunci di tangan Livia dan membukakan pintu mobil untuk wanita itu.
"Masuklah, Liv!" ujarnya lembut, membuat Livia tak bisa menolak lagi. Setelah Livia masuk, Sean memutar dan masuk di bagian kemudi. Dia mulai menyalakan mesin mobil dan melajukannya keluar dari basement.
Beberapa saat tak ada yang bicara, hanya sunyi yang menemani hingga pertengahan perjalanan.
"Liv, kamu marah?"
Livia menggeleng.
"Terus, kenapa diam saja dari tadi?"
Livia menghembuskan napas gusar. Pandangannya yang dari tadi lurus ke depan, kini dialihkan ke wajah Sean.
"Pak, saya berterima kasih anda sudah menolong saya
Di situasi tadi. Tapi saya mohon sekali lagi, stop mencampuri kehidupan saya! Jujur, saya tidak nyaman!"
ucapnya dengan
suara lembut, tapi mengandung ketegasan.
"Aku hanya ingin membantu, Liv. Apalagi kamu sedang dalam keadaan hamil. Bagaimana bisa aku diam saja?"
"Tapi saya tidak nyaman. Apalagi dengan kelakuan Anda yang menguntit saya dari belakang."
"Oke. Saya minta maaf."
Setelah itu tak ada lagi yang bicara hingga sampai ke basement gedung apartemen. Livia langsung keluar dari mobil.
"Terima kasih, Pak. Saya akan langsung naik."
"Tunggu, belanjaan kamu banyak. Biarkan saya membawakannya. "
Tanpa menunggu persetujuan, Sean mengeluarkan barang belanjaan Livia dan membawanya menuju lift.
Livia hanya bisa menatapnya gusar.
Watu sudah menunjukkan pukul 8 malam, saat Livia selesai makan malam. Tiba-tiba terdengar bunyi bel. Livia dan Elis saling bertatapan.
"siapa ya bu, malam-malam begini ada tamu? Tidak biasanya." Kata Elis, agak sedikit aneh.
"Entahlah bi. Coba lihat dulu di monitor sebelum dibuka." Pinta Livia. Elis menurut. Tak lama kemudian ia kembali.
"Dua orang perempuan, Bu. Tapi..."
"Tapi apa?"
"Saya kenal yang satunya... Bu Natalia."
Livia menghembus napas lelah. "Ada apa lagi ini Tuhan?" Tanya hatinya berbisik.
Jujur, dia sudah sangat lelah dengan semua drama yang harus dia perankan akhir-akhir ini.
"Buka saja bi Saya ingin tahu apa maunya?"
Elis mengangguk, lalu berjalan ke ruang tamu dan membuka pintu.
Saat pintu terbuka dan melihat Elis berdiri di hadapannya, tentu saja Natalia yang mengenal Elis sebagai salah satu asisten rumah tangga Sean, kaget.
"Elis, kenapa ada di sini?" Tanya Natalia curiga.
"Saya kerja di sini. Bu. Ada keperluan apa ya. Bu Natalia datang ke sini?"
Elis tak segera mempersilahkan Natalia yang datang bersama Brenda, masuk. Dia masih berdiri di ambang pintu sambil memegang pegangan pintu.
"Aku ingin ketemu sama Livia. Dia ada, kan?" tanya Natalia dengan nada sedikit kasar.
"Ada keperluan apa, ya? Bu Livia sedang beristirahat."
"Belagu banget kamu, Elis! Kamu minggir, saya mau masuk!"
Natalia mendorong tubuh Elis dengan bertenaga, membuat Elis nyaris terjengkang.
"Bu, jangan kasar!"
"Kamu sendiri yang minta dikasari. Cepat panggil Livia, saya mau bicara sama dia!"
Tapi sebelum Elis membantah lagi, Livia datang.
"Ada apa ini?"
Semua menoleh ke arahnya.
"Akhirnya, kamu muncul juga."
"Bi Elis, terima kasih. Bibi boleh pergi," ujar Livia.
Elis mengangguk sopan pada Livia, lalu pergi dari situ. Tapi sebelumnya, dia melayangkan tatapan tajam pada Natalia, seolah ingin memperingatkan wanita itu lewat tatapannya.
Mereka duduk bertiga di ruang tamu. Livia menatap Brenda, merasa heran kedua wanita itu bisa bersama.
"Brenda temenku. Aku yang minta ditemani dia,"
kata Natalia, seakan tahu isi kepala Livia.
"Tahu dari mana kalian tempat tinggal saya?" tanya Livia penasaran.
"Tentu saja dari menguntit calon tunanganku. Dan ternyata dia datang ke sini untuk menemui kamu."
Sudah bisa ditebak.
"Ada apa Mbak Natalia datang ke sini?" tanya Livia membuka pembicaraan ke pokoknya.
"Aku tahu kamu wanita pintar. Pasti kamu sudah bisa menebak kedatangan aku ke sini untuk apa. Aku hanya ingin kamu jauhi Sean! Dia itu calon tunangan aku."
Suara Natalia mulai meninggi dan penuh penekanan.
"Saya tidak pernah mendekati Pak Sean. Bagaimana bisa saya menjauhinya?" balas Livia tak kalah tegas.
"Jadi kamu menantang aku? Kamu mau merusak hubungan aku dengan Sean?"
Natalia mulai agak lepas kontrol.
"Haduhhh... jujur ya, saya lelah dengan semua drama ini, Mbak. Jika ada permasalahan antara Mbak dan Pak Sean, tolong selesaikan berdua. Jangan pernah libatkan saya! Saya tidak ada hubungannya dengan permasalahan kalian."
"Justru permasalahan kami berasal dari kamu. Kalau kamu nggak ada di antara kami, sampai saat ini hubungan aku dengan Sean baik-baik saja. Kenapa kamu tega merusaknya, Livia?"
Livia memutar bola matanya.
"Terus saya harus bagaimana?"
"Menjauh!"
"Kalau saya tidak mau?"
"Berarti harus tanggung akibatnya."
"Ini ancaman?"
"Anggap sebuah peringatan."
Livia menatap Natalia tanpa gentar.
"Lucu. Datang ke rumah saya tanpa diundang, lalu bicara seenaknya seperti ini. Mbak pikir saya ini siapa?"
"Kamu tahu siapa dirimu, Livia. Perempuan pengganggu! Kamu pikir saya nggak tahu permainan kamu? Selama ini kamu diam-diam menarik perhatian Sean!"
"Kalau memang hubungan kalian kuat, kehadiran saya tidak akan jadi ancaman."
"Jangan pura-pura bijak! Kamu kira saya nggak lihat cara kamu bersikap di kantor? Semua sok sopan, padahal kamu manipulatif!"
Livia menarik napas, menahan diri.
"Ini rumah saya. Kalau Mbak tidak bisa bicara dengan cara yang pantas, silakan keluar."
Sebelum perdebatan semakin panas, tiba-tiba terdengar bunyi bel. Suaranya nyaring, memotong
Ketegangan yang menggantung di ruang tamu.
Livia dan Natalia sama-sama menoleh.
Elis muncul dari arah dapur, sedikit tergesa.
"Maaf, Bu... ada Pak Sean di depan. Saya panggil karena saya khawatir."
Sebelum Livia sempat bereaksi, suara langkah terdengar dari luar, dan tak lama kemudian pintu dibuka oleh Elis. Sean masuk dengan wajah serius, menyapu ruangan dengan tatapan tajam.
"Natalia.!"
Suara Sean dalam dan tegas. Semua menoleh.
Livia langsung berdiri, sedikit mundur karena kaget.
Natalia tampak terkejut.
"Kamu? Kenapa kamu di sini?"
Sean melirik Livia sekilas, memastikan dia baik-baik saja. Lalu menatap Natalia tajam.
"Aku di sini karena aku tahu kamu ke sini. Aku diberi tahu oleh Bi Elis. Dan aku tidak akan diam saat kamu mempermalukan Livia di rumahnya sendiri."
Natalia melangkah maju.
"Kamu membelanya, Sean? Di depan aku? Kamu sengaja datang ke sini karena dia?"
Sean menahan diri. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya tajam.
"Aku datang karena aku tahu apa yang terjadi. Aku tidak akan biarkan siapa pun menyakiti Livia, apalagi kamu."
Brenda mencoba menenangkan.
"Pak Sean, Natalia cuma... terlalu emosional. Dia hanya butuh kepastian."
"Kepastian apa?" potong Sean. "Bahwa dia bisa berbuat semaunya? Datang ke rumah orang, menuduh tanpa bukti, menghakimi seenaknya?"
Natalia menggertakkan gigi. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi bukan karena sedih. Karena harga dirinya terusik.
"Jadi kamu membenarkan semua yang dia lakukan?"
"Dia tidak melakukan apa-apa. Kamu yang datang dengan tuduhan. Livia hanya ingin hidup tenang."
Natalia terdiam. Hening sesaat.
"Aku nggak akan lupa ini," gumamnya. "Kalau kamu pikir aku akan diam saja... SALAH!"
Lalu ia menoleh ke Brenda.
"Ayo."
Brenda hanya memberi isyarat anggukan kepala pada Livia dan Sean, sebelum mengikuti Natalia keluar.
Begitu pintu tertutup, Livia memejamkan mata, lelah.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Saya akan resign dari kantor, mulai besok."
Jawaban Livia malah di luar dugaan dan sangat mengagetkan Sean.
"Kamu mau resign hanya gara-gara gertakan Natalia?"
Livia menggeleng. "Itu hanya salah satu alasan kecil. Alasan utamanya karena nanti perut saya akan semakin besar. Saya tidak ingin Alex ataupun keluarganya tahu saya sedang hamil. Apalagi kalau sampai tahu ini adalah anaknya Alex."
Sean gusar. Dia tak ingin Livia pergi darinya. Dia sangat khawatir dengan nasib Livia.
"Kamu akan ke mana?"
"Mungkin ke suatu tempat yang jauh dari sini."
"Liv, tapi nanti siapa yang akan menolongmu kalau ada apa-apa?"
"Ada Tuhan, Pak! Saya akan pasrahkan seluruh diri saya pada-Nya," jawab Livia, diplomatis.
"Kalau Bi Elis mau, saya akan ajak dia," lanjutnya. Sean agak sedikit tenang.
"Baiklah, aku akan atur semuanya."
"Tidak usah, biar saya sendiri yang mengurus diri saya."
"Liv, aku tahu kamu independent woman, tapi tetap saja, tak ada satu manusia pun yang tak membutuhkan
Pertolongan. Turunkan egomu sedikit. Ini demi bayi yang ada dalam kandungan kamu."
Livia terdiam. Dia serba salah. Menerima bantuan Sean berarti dia akan tetap menjadi pengganggu hubungan orang.
"I'd better go quietly.," batinnya.
Tapi di depan Sean, kepala Livia mengangguk.
kewajiban x mendampingi suami ..
semoga selalu rukun ,saling melengkapi
kekurangan masing 2 ...