NovelToon NovelToon
Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Cintapertama / Mengubah Takdir / Obsesi / Cinta pada Pandangan Pertama / Fantasi Wanita
Popularitas:57
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26: Kehangatan di Tengah Kemiskinan

Sebuah kunci tua dengan gantungan berbentuk unik yang sepertinya memegang kunci rahasia lain dari masa lalu Arfan kini berada dalam genggaman Fatimah yang gemetar. Ia menatap benda logam itu dengan air mata yang masih mengalir deras, sementara suara gemuruh air sungai di bawah tebing seolah menelan harapan hidupnya.

Fatimah merayap di pinggir tebing yang rapuh, mengabaikan tanah yang sesekali runtuh ke bawah sana. Ia berteriak memanggil nama Arfan berkali-kali sampai suaranya hilang ditelan angin malam yang dingin, namun hanya keheningan mencekam yang membalasnya.

Cahaya senter dari arah kejauhan mulai terlihat bergoyang-goyang menembus pepohonan lebat. Fatimah tahu ia tidak bisa berlama-lama meratapi nasib di tempat itu jika ingin tetap selamat dari kejaran anak buah keluarga Al Fahri yang mungkin menyusul Baskara.

Dengan sisa tenaga yang ada, Fatimah berdiri dan menyimpan kunci misterius itu ke dalam saku pakaiannya yang masih basah kuyup. Ia berlari menjauh dari bibir jurang, menembus semak belukar yang menyayat kulit tangannya tanpa rasa peduli sedikit pun.

Langkah kakinya membawanya menuju pemukiman kumuh yang terletak di kolong jembatan beton raksasa pinggiran kota. Bau sampah yang menyengat dan asap dari pembakaran ban bekas menyambut kehadirannya yang tampak sangat berantakan dan menyedihkan.

Seorang nenek tua yang sedang duduk di atas dipan kayu lapuk menatap Fatimah dengan pandangan penuh rasa curiga. Fatimah mendekat dengan napas terengah-engah, mencoba mencari perlindungan sementara sebelum fajar menyingsing di ufuk timur.

"Tolong saya, Nek, saya hanya butuh tempat untuk bersembunyi sebentar saja," ucap Fatimah dengan suara yang sangat parau.

Nenek itu memperhatikan pakaian Fatimah yang basah serta kain cadar yang sudah kotor terkena lumpur sungai. Ia tidak segera menjawab, melainkan hanya menggeser duduknya sedikit untuk memberikan ruang bagi Fatimah agar bisa duduk di atas dipan tersebut.

"Masuklah ke dalam gubuk, Nak, jangan biarkan orang-orang di luar melihatmu dalam kondisi seperti ini," balas nenek itu dengan nada datar namun ramah.

Di dalam gubuk yang hanya berdindingkan kardus dan seng bekas, Fatimah merasakan kehangatan yang tidak pernah ia sangka sebelumnya. Meskipun tempat ini sangat sempit dan hanya beralaskan plastik tebal, ia merasa lebih aman daripada saat berada di tengah hutan tadi.

Nenek itu memberikan sebuah kain sarung tua yang sudah pudar warnanya agar Fatimah bisa menyelimuti tubuhnya yang sedang menggigil kedinginan. Fatimah menerimanya dengan penuh rasa syukur, meskipun hatinya tetap tertinggal di sungai tempat Arfan terjatuh.

Pikiran Fatimah melayang pada pengorbanan Arfan yang begitu besar demi melindungi nyawanya dari pengkhianatan Baskara. Ia merasa sangat berdosa jika harus menyerah sekarang, sementara Arfan mungkin sedang berjuang antara hidup dan mati di bawah sana.

"Apa yang terjadi padamu? Kau tampak seperti orang yang baru saja lolos dari maut," tanya nenek itu sambil menyodorkan segelas air putih hangat.

Fatimah meminum air itu dengan perlahan, merasakan hangatnya cairan tersebut mengalir melewati tenggorokannya yang terasa sangat kering. Ia menundukkan kepala, tidak berani menceritakan secara rinci tentang tragedi di tebing sungai yang melibatkan senjata api dan pengkhianatan.

"Seseorang yang sangat baik telah menolong saya, tapi dia terjatuh ke sungai demi menyelamatkan saya dari orang jahat," jawab Fatimah singkat dengan isak tangis yang kembali pecah.

Nenek tua itu menghela napas panjang, ia seolah sudah terbiasa mendengar kisah tragis dari orang-orang yang singgah di kolong jembatan ini. Baginya, dunia di luar sana memang jauh lebih kejam daripada kemiskinan yang ia jalani setiap hari di tempat kumuh tersebut.

Ia bercerita bahwa banyak orang hilang di sungai itu dan jarang sekali ada yang ditemukan dalam keadaan selamat jika terseret arus sampai ke hilir. Kata-kata nenek itu seolah menjadi sembilu yang menusuk ulu hati Fatimah, menghancurkan sisa-sisa harapan yang ia miliki untuk Arfan.

Fatimah merogoh sakunya dan mengeluarkan kunci tua yang tadi ia temukan di lokasi perkelahian antara Arfan dan Baskara. Ia memperhatikannya di bawah cahaya lilin yang kecil, mencoba mencari petunjuk apa pun yang tersirat dari bentuk gantungan kunci tersebut.

Gantungan kunci itu berbentuk sebuah perisai kecil dengan ukiran huruf yang sudah agak aus dimakan usia yang sangat lama. Fatimah merasa kunci ini adalah barang yang sangat berharga bagi Arfan, sesuatu yang mungkin berhubungan dengan alasan mengapa ia menjadi pengacara.

"Nek, apakah Nenek pernah melihat lambang seperti ini sebelumnya di daerah sekitar sini?" tanya Fatimah sambil menunjukkan gantungan kunci itu.

Nenek itu mendekatkan matanya yang sudah rabun ke arah benda logam tersebut, mencoba mengingat-ingat memori masa lalunya yang sudah mulai memudar. Tiba-tiba wajah nenek itu berubah menjadi sangat pucat, seolah ia baru saja melihat sebuah hantu dari masa kegelapan kota ini.

"Sembunyikan benda itu, Nak! Jangan biarkan siapapun melihatnya jika kau ingin tetap bernapas besok pagi!" bisik nenek itu dengan suara yang sangat gemetar.

Fatimah terkejut melihat reaksi nenek tersebut, ia segera menggenggam kunci itu erat-erat dan menyimpannya kembali ke balik pakaiannya. Ketakutan yang terpancar dari mata nenek tua itu memberikan tanda bahwa kunci ini bukanlah barang sembarangan yang bisa dimiliki oleh orang biasa.

Nenek itu menjelaskan bahwa lambang perisai tersebut adalah milik sebuah keluarga bangsawan yang sudah lama runtuh akibat kasus pembantaian besar-besaran. Ia memperingatkan Fatimah bahwa siapapun yang membawa kunci itu akan selalu diincar oleh kelompok rahasia yang menguasai sisi gelap kota.

"Kenapa Tuan Arfan memiliki benda berbahaya seperti ini?" gumam Fatimah dalam hati dengan penuh rasa tanda tanya yang besar.

Kehangatan yang tadi ia rasakan di dalam gubuk tiba-tiba berganti menjadi kecemasan yang luar biasa menyiksa batinnya. Ia menyadari bahwa misi perlindungan yang dilakukan Arfan selama ini bukan hanya karena urusan kecelakaan Luna semata.

Ada rahasia yang jauh lebih besar dan lebih kelam yang sedang disembunyikan oleh Arfan di balik sikap dingin dan profesionalnya sebagai pengacara. Fatimah merasa terjebak dalam sebuah jaring laba-laba raksasa yang melibatkan banyak pihak yang sangat berpengaruh dan mematikan.

Malam semakin larut, namun mata Fatimah sama sekali tidak bisa terpejam meskipun tubuhnya sudah sangat letih dan butuh istirahat. Setiap kali ia menutup mata, bayangan wajah Arfan yang tersenyum tipis sebelum terjatuh ke sungai selalu muncul mengusik ketenangannya.

Ia mulai berdoa di dalam hati, memohon kepada Sang Pencipta agar memberikan keajaiban bagi pria yang sudah menjadi pelindungnya tersebut. Fatimah berjanji bahwa jika Arfan selamat, ia akan menceritakan identitas aslinya sebagai Zahra tanpa ada yang ditutup-tutup lagi.

Di luar gubuk, suara langkah kaki sepatu bot yang berat terdengar berjalan pelan di atas tumpukan sampah dan tanah kering. Fatimah menahan napas, ia memberi isyarat kepada nenek tua itu untuk tetap diam dan mematikan lilin yang masih menyala redup.

"Siapa di sana? Keluar atau kami akan membakar tempat kumuh ini!" teriak sebuah suara laki-laki yang terdengar sangat kasar dan penuh ancaman.

Nenek tua itu segera menyuruh Fatimah masuk ke dalam sebuah lubang persembunyian kecil di bawah tumpukan kain perca dan karung-karung bekas. Fatimah merangkak masuk dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun yang bisa memancing perhatian orang-orang di luar.

Ia bisa mendengar dinding gubuk kardus itu ditendang dengan sangat keras sampai hampir rubuh menimpa tubuh nenek tua yang masih berada di dalam. Fatimah menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan teriakan amarah yang bergejolak saat melihat nenek itu diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi.

"Kami mencari wanita bercadar yang membawa barang berharga, dimana kau menyembunyikannya, tua bangka!" bentak pria itu lagi sambil mengacak-acak isi gubuk.

Fatimah memeluk kunci tua itu di dadanya, ia merasa sangat bersalah karena telah membawa bahaya ke tempat tinggal nenek yang tidak berdosa ini. Melalui celah karung bekas, ia melihat dua orang pria bertubuh besar dengan tato berbentuk ular di leher mereka sedang mengintimidasi sang nenek.

Mereka mulai membongkar tumpukan barang-barang di sudut gubuk, sangat dekat dengan posisi Fatimah yang sedang bersembunyi di bawah lantai tanah. Jantung Fatimah berdetak sangat kencang, ia tahu hanya masalah waktu sebelum mereka menemukan keberadaannya yang hanya tertutup kain tipis.

Salah satu pria itu meraih ujung karung yang menutupi kepala Fatimah, ia siap untuk menyentakkan kain tersebut dengan sekali tarikan yang sangat kuat. Fatimah menutup matanya rapat-rapat, bersiap menghadapi kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada dirinya malam ini.

Tiba-tiba, sebuah suara ledakan kecil terdengar dari arah jembatan beton, diikuti oleh cahaya lampu biru merah yang berputar-putar dengan sangat cepat. Suara sirine polisi menggema di seluruh pemukiman kumuh, membuat dua pria bertato itu terkejut dan segera menghentikan aksi penggeledahan mereka.

"Sial, polisi datang! Kita harus pergi dari sini sekarang juga sebelum terkepung!" ucap pria itu sambil berlari keluar gubuk dengan terburu-buru.

Fatimah menunggu beberapa saat sampai suasana benar-benar sepi sebelum ia berani keluar dari lubang persembunyian yang sangat menyesakkan itu. Ia segera menghampiri nenek tua yang tergeletak di lantai dengan kondisi yang sangat lemas akibat tertekan rasa takut yang luar biasa.

Nenek itu memegang tangan Fatimah dengan sangat erat, ia menyuruh Fatimah untuk segera pergi melalui jalan pintas di belakang gubuk menuju pasar tradisional. Ia menjelaskan bahwa pria-pria itu pasti akan kembali dengan jumlah yang lebih banyak setelah polisi pergi dari area kolong jembatan.

Fatimah mencium tangan nenek itu sebagai tanda terima kasih yang paling tulus, lalu ia segera berlari meninggalkan gubuk tersebut di bawah bayang-bayang gelap. Ia tidak tahu harus pergi kemana lagi, namun kunci di sakunya seolah menuntunnya untuk menuju ke sebuah alamat yang tertera di sana.

Langkah kaki Fatimah terhenti saat ia sampai di depan sebuah pintu besi tua yang terletak di ujung gang sempit pasar tradisional yang sepi. Di atas pintu itu, terdapat sebuah plat nomor kuno yang sudah berkarat, namun bentuknya sangat mirip dengan ukiran yang ada pada kunci miliknya.

Fatimah memasukkan kunci tersebut ke dalam lubang kunci yang sudah sangat kotor, lalu memutarnya dengan penuh harapan serta doa yang tulus. Pintu besi itu berderit pelan saat terbuka, menyingkap sebuah ruangan rahasia yang dipenuhi oleh berkas-berkas lama milik keluarga Arfan yang hilang.

Di tengah ruangan itu, terdapat sebuah foto besar seorang pria yang sangat mirip dengan Arfan, namun pria itu mengenakan seragam kebesaran militer yang gagah. Fatimah melangkah mendekati foto tersebut, namun tiba-tiba ia merasakan sebuah benda dingin menempel di bagian belakang kepalanya secara mendadak.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!