Mursyidah Awaliyah adalah seorang TKW yang sudah lima tahun bekerja di luar negeri dan memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Tanpa dia tahu ternyata suaminya menikah lagi diam-diam dengan mantan kekasihnya di masa sekolah. Suami Mursyidah membawa istri mudanya itu tinggal di rumah yang dibangun dari uang gaji Mursyidah dan bahkan semua biaya hidup suaminya dan juga istrinya itu dari gaji Mursyidah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PANGGILAN TELEPON
Mbok Walijah yang sedang berada di belakang rumah memberi makan ayamnya tergopoh berjalan ke depan.
Wanita tua itu berpikir jika Mursyidah yang berbalik pulang karena sesuatu hal telah terjadi pada wanita yang sudah dianggap olehnya tersebut. Sesampai di depan rumahnya mbok Walijah melihat jelas Gunadi yang berteriak sambil menggedor pintu rumah Mursyidah. Rupanya itu suara gaduh yang dia dengar. Wanita sepuk
itu menghela napas pelan. Dia sudah tidak terkejut lagi
jika Gunadi melakukan ini. Sedari awal sudah dia duga
jika Gunadi akan mengetahui kepulangan Mursyidah.
Mbok Walijah berjalan mendekat ke teras rumah Mursyidah.
"Gunadi apa yang kamu lakukan di situ?" tegur mbok walijah setelah agak dekat.
Gunadi menghentikan gerakan tangannya yang sedang memukul pintu, lalu menoleh pada mbok Walijah.
"Mana Aliya?!" Gunadi bertanya dengan nada sedikit tinggi.
"Ini sudah yang kedua kalinya kamu datang ke sini dalam waktu berdekatan. Ada apa tiba-tiba kamu menanyakan Aliyah? Kamu lupa jika dia masih bekerja di luar negeri atau kamu sudah terlalu rindu padanya hingga kamu tidak sabar dia pulang?" sindir mbok Walijah.
"Jangan berpura-pura lagi mbok, saya tahu jika Aliya sudah pulang dan dia sudah lebih dari dua minggu ada di sini," sanggah Gunadi.
Mbok Walijah kembali menghela napas sambil berusaha tenang. Jangan sampai Gunadi mengetahui kebohongannya. Mbok Walijah sempat tercengang, Gunadi tahu jika Mursyidah sudah lama pulang, tapi mengapa baru sekarang dia bertanya. Siapakah yang memberi tahu suami Mursyidah tersebut.
"Kalau memang Aliyah pulang dan sudah selama itu, lalu bagaimana mungkin kunci rumah masih saya pegang? Bagaimana cara dia masuk ke dalam rumah? Ada-ada saja. Rupanya kamu. Sudah terlalu rindu dengan istrimu yang kau duakan itu? Menyesal menduakannya?"
Mbok Walijah menggeleng-gelengkan kepalanya dengan raut wajah tersenyum mengejek Gunadi.
"Saya tidak percaya!" kembali Gunadi membantah.
"Tidak percaya? Apa perlu saya buka pintu itu? Baiklah, saya akan mengambil kunci dulu untuk membuka pintu itu."
Mbok Walijah berlalu masuk ke dalam rumah. Gunadi masih berdiri di tempatnya menunggu mbok Walijah kembali. Dia yakin sekali jika wanita tua tetangga dekat Mursyidah tersebut hanya menggertaknya saja. Dia tidak yakin jika wanita itu akan berani membukakan pintu. Tidak berapa lama mbok Walijah keluar dengan membawa seikat anak kunci.
"Saya akan membukakan pintu, barangkali saja kamu masih bisa mencium harum istri yang sangat kamu rindukan itu tertinggal dalam rumah."
Mbok Walijah berjalan mendekati pintu hendak memasukkan anak kunci. belum sempat mbok walijah membuka pintu, dari sudut matanya dia melihat Gunadi yang berjalan mundur. Gunadi memutar tubuhnya lalu berjalan cepat menuju tempat motornya di parkir.
"Loh. kenapa tidak jadi?!" tanya Mbok Walijah setengah berteriak sambil membuka pintu selebar mungkin. "Coba cari istrimu di dalam! Mungkin saja dia bersembunyi di salah satu kamar yang ada di sini! Coba sini cari, kalau ketemu langsung bawa ke rumahmu!"
Gunadi menyalakan mesin motornya, dia tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh mbok Walijah. Hatinya kembali ragu dengan kata-kata Samirah kakaknya. Kalau memang Mursyidah pulang dan ada di rumah itu mana mungkin mbok Walijah seberani itu membuka pintu. Gunadi meningalkan rumah ibu Mursyidah dengan banyak pertanyaan di benaknya yang tidak dapat dia jawab sendiri.
Setelah agak menjauh dari lokasi rumah ibu Mursyidah dan tidak terlihat lagi oleh mbok Walijah, Gunadi menghentikan motornya. Lelaki itu mengambil ponselnya dan menghubungi Aini. Tidak berapa lama telepon tersambung dan diangkat oleh Aini.
"Halo ada apa mas?" tanya Aini dari seberang telepon.
"Aini kamu lagi di mana ini sekarang?"
"Lagi di kampus, mas tidak percaya? Apa mas mau berubah ke panggilan video?"
Gunadi spontan menggeleng karena mendengar suara ramai, ada suara tawa dan juga suara orang yang mengobrol. Dia percaya jika adik iparnya tersebut memang sedang di kampusnya.
"Gimana mas? Mau video call?" Aini kembali mengulangi pertanyaannya saat tidak ada jawaban dari suami kakaknya tersebut.
Gunadi baru menyadari jika Aini tidak melihat gelengan kepalanya. Lelaki itu buru-buru menjawab pertanyaan Aini.
"Tidak usah. Oh ya kakakmu sudah pulang?" Gunadi langsung menanyakan kebenaran tentang kepulangan Mursyidah. Aini yang sudah menduga jika Gunadi akan bertanya tentang kakaknya tidak terkejut sama sekali.
Gadis itu cepat bersandiwara dengan berpura-pura kaget.
"Apa? Mbak Aliya pulang? Dia mengabari mas pulang? kok dia nggak mengabari aku ya? Sekarang dia udah di rumah mas? Aku minta ijin dulu ya biar bisa pulang dan bertemu dengan mbak Al--"
"Sudah, sudah!" potong Gunadi kesal. " Jadi kamu tidak tau kakakmu pulang?"
"Lho? Kok jadi aku, kan tadi mas yang bilang kalau mbak Aliya sudah pulang. Aku pikir dia beneran pulang dan sekarang ada di rumah mas," sahut Aini.
"Ya sudah!" Gunadi berdecak kesal lalu mematikan ponselnya memutus percakapan mereka. Pria itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Akhirnya dia memutuskan kembali ke kiosnya dengan hati yang kecewa.
Dalam mobil yang dikendarainya, pak Paiman mengangkat panggilan telepon dari bosnya.
"Halo mas Pram, bapak sudah dalam perjalanan pulang," ucap pak Paiman begitu dia mengangkat panggilan telepon dari bosnya tersebut.
"Bapak antar dia sampai mana?"
"Sampai naik bus damri mas."
"Lho kok naik bus damri katanya pesawatnya berangkat besok?" Pak Paiman tersenyum mendengar nada cemas dari si bos.
"Kata non Aliya dia mau cari penginapan dekat bandara biar nggak terlambat besok pagi mas," ujar pak Paiman menjelaskan.
"Ok! Langsung pulang ke rumah saja Pak, mama minta diantar belanja katanya."
"Iya mas, tadi mama mas Pram sudah..."
Klik. Telepon terputus. 'Menelepon bapak'. Pak Paiman meneruskan kalimatnya sendiri. Selalu saja begitu, jika kepentingannya sudah selesai selalu diputus sepihak. Pak Paiman menghembuskan napas kasar. Pria itu melanjutkan perjalanannya pulang menuju rumah bosnya tersebut. Panas matahari siang itu sudah semakin terik karena jarum jam sudah di angka dua belas siang.
Sore harinya mbok Walijah menelepon Mursyidah memberitahu wanita itu jika Gunadi kembali datang ke rumahnya dan langsung menanyakan keberadaannya.
"Aliyah... Nduk, untung kamu sudah berangkat kalau tidak kamu pasti bertemu dengan suamimu itu. Dia datang marah-marah dan menggedor pintu rumah dengan keras. Untung nduk... Kamu sudah berangkat," kata mbok Walijah saat panggilannya diangkat Mursyidah.
"Iya mbok, aku sudah punya firasat dia akan datang mbok setelah kami bertemu di mal waktu itu. Makanya aku berangkat lebih cepat dan memilih menginap di dekat bandara," jawab Mursyidah lega.
"Syukurlah nduk... Mbok cemas tadi. Sekarang kamu udah sampai?"
"Iya mbok, saya udah di penginapan. Besok pagi langsung ke bandara. Nggak jauh kok dari tempat aku menginap."
Setelah berbincang beberapa saat kedua wanita itu pun mengakhiri percakapan telepon mereka.
"Jangan lupa aktifkan lagi nomor lamamu!" Pesan mbok Walijah sebelum menutup teleponnya.
Dua hari kemudian...
Pagi-pagi sekali Gunadi sudah berlari ke rumah ibunya.
"Bu... Ibu!"
Gunadi berteriak memanggil ibunya saat sudah berada dalam rumah.
"Ada apa Gun? Pagi-pagi buta kamu sudah ribut?"
Rukmini keluar dengan wajah bantal karena wanita itu baru saja bangun tidur.
"Bu, semalam Aliyah menelepon aku Bu. Ternyata nomornya sudah aktif lagi."
"Terus dia bilang apa? Kenapa dia telat mengirim uang?" Tanya Rukmini tidak sabar.
"Aku belum sempat berbicara sama dia Bu karena semalam aku tidak mengangkat panggilan teleponnya, aku --"
"Bodoh kamu Gun!" Sembur Rukmini marah.
"Waktu itu aku sudah tidur Bu, lagi pula ada Astuti di situ," sahut Gunadi membela diri.
"Ya sudah coba telepon balik sekarang!" Perintah Rukmini.
Gunadi menuruti perintah ibunya tanpa melihat pukul berapa saat itu.
Sudah lebih sepuluh kali panggilan telepon itu
Tersambung, tapi sama sekali tidak juga diangkat hingga Rukmini menatap anaknya itu dengan raut wajah kesal.
"Telepon lagi!" Perintahnya.
aku suka cerita halu yg realitis.