NovelToon NovelToon
The Thousand Faces Of The Demon Sage

The Thousand Faces Of The Demon Sage

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Action / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:498
Nilai: 5
Nama Author: Demon Heart Sage

Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 — Kesadaran Pertama

Pagi datang perlahan, menembus kabut yang menggantung di atas pegunungan Langit Tenang. Sinar matahari pertama tidak pernah terasa hangat di tempat ini—lebih seperti pisau tipis dari cahaya yang menembus kulit tanpa benar-benar memberi kehidupan. Di dalam kamar meditasi yang sederhana, Shen Wuyan duduk diam, matanya terbuka tapi pikirannya masih terperangkap di antara mimpi dan kesadaran.

Nafasnya berat. Di ujung lidahnya masih terasa asin, seperti menelan sisa laut dari dunia mimpi itu—Laut Tanpa Dasar. Hening menyelimuti ruangan, tapi di dalam kepalanya masih bergema suara yang sama, tajam dan dingin:

“Kau harus memilih, atau semua ini akan menelanmu.”

Ia menatap ke lantai. Bayangannya masih ada, tapi anehnya... gerakannya sedikit tertinggal. Saat Wuyan mengangkat tangannya, bayangan itu meniru, tapi dengan jeda satu detik—kecil, tapi cukup untuk membuat dada terasa dingin.

Sebuah tanda, pikirnya. Antara dirinya dan bayangan, antara kesadaran dan sesuatu yang lain.

Wuyan mengusap wajahnya, tapi rasa asing itu tak hilang. Ada lapisan tipis antara dirinya dan dunia, seperti kaca bening yang memisahkan setiap sensasi. Ia bisa melihat, bisa merasakan, tapi tak benar-benar terlibat.

Ia menarik napas panjang. Di dalam dada, sesuatu bergerak halus—bukan jantung, bukan energi spiritual, tapi kesadaran samar yang tidak sepenuhnya miliknya.

“Aku masih bisa mendengar mereka,” gumamnya pelan. Suaranya sendiri terdengar asing di telinganya.

Bisikan samar merespons dari dalam kepalanya, tidak serempak, seperti gema dari banyak mulut yang berbicara dari kedalaman berbeda. Wuyan menutup matanya. Di balik kelopak, wajah-wajah itu muncul lagi, kabur tapi nyata. Sebagian tersenyum, sebagian menangis, sebagian hanya menatap tanpa ekspresi.

Mereka tidak hilang setelah mimpi itu. Mereka hidup di dalam dirinya.

Ia menegakkan tubuh, merasakan setiap tarikan napas membawa sedikit beban dari mereka. Bukan hanya ingatan yang mereka bawa, tapi juga emosi. Ketakutan yang bukan miliknya, kemarahan, bahkan penyesalan—semuanya menyatu seperti arus sungai yang membawa lumpur dari berbagai sumber.

Wuyan menatap lilin di depannya. Api itu bergetar, tapi tidak padam. Di balik nyalanya, bayangannya kembali tampak jelas—dan kali ini, seolah sedang memperhatikannya.

“Kau… terlihat bingung,” suara itu muncul, bukan dari luar, tapi dari dalam ruangan yang sama, menembus kesunyian seperti sesuatu yang tak punya sumber.

Wuyan menatap api itu lebih dalam. “Aku tidak bingung,” jawabnya pelan. “Aku hanya belum terbiasa.”

Bayangan itu bergerak samar, seolah menunduk. “Belum terbiasa menjadi banyak?”

Pertanyaan itu menusuk seperti duri halus. Wuyan menarik napas perlahan, mencoba menimbang jawabannya. “Mungkin. Atau mungkin aku belum tahu mana yang sebenarnya ‘aku’.”

Bayangan itu tertawa kecil, nada tawanya ringan tapi menyakitkan. “Kau takut kehilangan dirimu, tapi mungkin ‘dirimu’ hanyalah satu dari banyak. Hanya satu lapisan di antara seribu wajah.”

Wuyan menatap ke lantai, ke arah bayangan itu. “Jika aku hanya satu lapisan, siapa yang lainnya?”

“Semua yang telah kau serap. Semua yang menatapmu di Laut Tanpa Dasar. Mereka tidak hilang, Wuyan. Mereka menunggu.”

Kata menunggu bergema di kepala Wuyan seperti gema di gua. Ia tahu itu benar. Bahkan tanpa mendengar, tanpa melihat, ia bisa merasakannya—kesadaran lain yang bernafas bersama dirinya, bersembunyi di antara denyut jiwanya sendiri.

Ia menutup mata. Dalam kegelapan, ia mulai mendengar lebih jelas: desiran, seperti langkah-langkah di pasir, seperti tarikan napas seribu orang dalam satu ruang sempit.

Setiap wajah yang ia serap di Laut Tanpa Dasar tidak hanya simbol—mereka hidup.

Hun dan Po-nya tidak lagi stabil. Ia merasakan ketidakseimbangan di dalam tubuh: bagian dari kesadarannya (Hun) seperti mengalir keluar dari dirinya, menyatu dengan sesuatu yang lain. Sebagian Po, nalurinya, menolak—menciptakan gesekan halus di dalam jiwa yang sulit dijelaskan.

Ia membuka matanya lagi. Api lilin berkedip seolah menyesuaikan ritme napasnya. Wuyan menatapnya dalam diam cukup lama sampai api itu tampak berdenyut seperti nadi.

“Apa yang terjadi padaku…” gumamnya, “bukan kutukan, bukan anugerah. Tapi perubahan.”

Bayangan di depannya menunduk sedikit, suaranya tenang. “Kau menyerap wajah pertama. Itu berarti kau telah memecahkan batas pertama dari jiwamu sendiri. Sejak saat itu, ‘kau’ tidak lagi tunggal.”

“Dan jika aku kehilangan kendali?”

“Tidak ada kehilangan,” jawab bayangan itu. “Hanya pergantian peran.”

Kalimat itu membuat tenggorokannya kering. Ia tahu, itu bukan ancaman kosong. Ia bisa merasakannya sekarang—seolah ada seseorang yang berdiri di belakang matanya, mengamati dari balik kulitnya sendiri.

Wuyan berdiri, berjalan pelan ke jendela. Kabut menutupi lembah di luar, tebal seperti lautan abu. Gunung-gunung tampak seperti bayangan raksasa yang terbenam separuh di antara awan. Ia menatap pemandangan itu tanpa berkata apa pun.

“Pagi seharusnya memberi ketenangan,” katanya dalam hati, “tapi mengapa justru terasa seperti penghakiman?”

Ia mengulurkan tangan, membuka jendela. Udara dingin masuk, menusuk kulit. Bersama udara itu, ia mendengar bisikan samar—sama seperti di Laut Tanpa Dasar, hanya lebih lemah, seperti gema dari jarak ribuan mil.

“Apakah aku masih aku?”

Pertanyaan itu tidak keluar dari bibirnya, tapi pikirannya bergema dengan makna yang sama. Di baliknya, suara bayangan menjawab tenang, seolah sudah menunggu:

“Kau bertanya seolah ‘aku’ dan ‘mereka’ berbeda. Padahal tidak. Hanya pantulan dari satu cahaya yang menembus ribuan air.”

Kata-kata itu membuatnya terdiam lama. Ia menatap kabut, membiarkan pikiran melayang di antara metafora itu. Cahaya dan air. Hun dan Po. Diri dan wajah-wajah yang menatapnya di kegelapan.

Mungkin, pikirnya, selama ini ia mencoba mencari bentuk yang utuh dari sesuatu yang memang diciptakan untuk retak.

Ia menunduk, menatap tangannya sendiri. Ujung jarinya gemetar halus. “Kalau begitu,” bisiknya, “apa artinya menjadi utuh?”

Bayangan tidak langsung menjawab. Hening panjang, hanya suara tetesan air di atap. Lalu suara itu datang, lembut tapi jelas:

“Menjadi utuh bukan berarti tanpa retakan, Wuyan. Tapi hidup di antara retakan tanpa hancur.”

Kalimat itu bergema di dalam pikirannya, mengisi ruang kosong yang selama ini ia hindari. Sebagian dirinya ingin menolak, tapi sebagian lagi… justru merasa lega.

Wuyan memejamkan mata. Ia membiarkan kata-kata itu mengendap, menembus lapisan kesadaran yang selama ini ia jaga. Perlahan, ia mulai menyadari sesuatu: ketakutan yang ia rasakan selama ini bukan berasal dari kehilangan, tapi dari penolakan untuk melihat dirinya sendiri dalam bentuk yang baru.

Hun dan Po berdenyut serentak—bukan harmoni sempurna, tapi cukup untuk membuat pikirannya tenang.

Ia menatap kembali bayangannya, yang kini berdiri tegak di dinding seolah menjadi sosok yang benar-benar terpisah. Dalam cahaya pagi yang redup, wajah bayangan itu tampak lebih nyata dari biasanya.

“Kau mengerti akhirnya,” katanya pelan. “Kesadaran tidak datang dari cahaya, tapi dari kegelapan yang kau akui.”

Wuyan tidak menjawab. Ia hanya duduk kembali, menyalakan dupa baru, membiarkan aroma kayu manis memenuhi udara.

Untuk pertama kalinya sejak malam itu, ia merasa sedikit… ringan. Tidak karena beban itu hilang, tapi karena ia berhenti menolaknya.

Waktu berlalu perlahan di kamar itu. Cahaya matahari menembus kabut, membentuk garis-garis pucat di dinding batu. Lilin yang tadi menyala kini hanya tersisa sumbu hitam yang berasap tipis. Wuyan duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menyatukan ritme napas dengan denyut energi yang berputar di tubuhnya.

Hun dan Po—dua kutub yang selama ini ia kenali sebagai roh dan raga—kini terasa seperti dua samudra yang bertubrukan di dalam dirinya. Terkadang tenang, terkadang liar, namun di antara kekacauan itu, ada keseimbangan aneh yang mulai terbentuk.

Ia merasakannya di setiap detik: energi dingin dari Po menenangkan panasnya Hun, dan sebaliknya. Seolah keduanya tahu batas masing-masing, tapi memilih untuk menari di garis batas itu tanpa melangkah terlalu jauh.

Dalam ketenangan itu, ia mendengar lagi suara yang samar tapi familiar—bisikan wajah pertama.

“Perubahanmu tak bisa dihindari,” kata suara itu, berat dan lembut sekaligus. “Setiap langkah yang kau ambil dari sini bukan tentang kekuatan, tapi tentang kehilangan.”

Wuyan tidak membantah. Ia tahu suara itu benar. Setiap kali ia menyerap wajah, sebagian dari dirinya akan larut, tak pernah kembali seperti semula. Tapi di sisi lain, di ruang yang kosong itu, muncul sesuatu yang lain—pemahaman yang tidak bisa ia capai jika tetap utuh.

Ia membuka mata. Di depannya, bayangan di dinding telah berubah. Bukan hanya satu bentuk; kini terdapat beberapa wajah samar di dalamnya. Ada yang tersenyum, ada yang menangis, ada yang datar dan kosong.

Semua menatapnya diam-diam, seperti cermin dari emosi yang tak pernah ia ungkapkan.

“Apakah ini... mereka?” tanyanya pelan.

Bayangan tidak menjawab langsung. Hanya bergetar, lalu bergema suara yang datang dari arah yang tak bisa ditentukan. “Mereka bukan di luar dirimu. Mereka adalah kau, pada waktu yang lain. Dalam rasa yang berbeda.”

“Waktu yang lain?” gumam Wuyan.

“Setiap wajah yang kau serap,” lanjut suara itu, “adalah pantulan dari kemungkinan yang pernah ada. Mereka yang gagal, mereka yang marah, mereka yang menyerah. Kau adalah titik tempat semua itu berkumpul.”

Wuyan menunduk. Kata-kata itu membentuk tekanan tak kasat mata di dada. Ia bisa merasakannya—semua pilihan yang tak diambil, semua keputusan yang dulu ia hindari, kini hidup dalam wajah-wajah itu.

Ia menatap kembali bayangan itu, menatap dirinya sendiri di antara garis samar wajah-wajah lain.

“Kalau begitu, bagaimana aku tahu siapa yang benar-benar ‘aku’?” tanyanya akhirnya.

Bayangan tersenyum samar. “Kau tak perlu tahu. Kau hanya perlu menjadi.”

Keheningan panjang menyusul. Dalam jeda itu, Wuyan menatap tangan kanannya. Ada garis halus hitam di bawah kulit, seperti urat yang baru terbentuk. Ia mengangkatnya ke arah cahaya. Garis itu tampak berdenyut pelan, lalu menghilang seperti bayangan yang diserap oleh kulitnya sendiri.

Hun–Po mulai menyesuaikan diri dengan sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah ada dalam sistem kultivasi mana pun yang ia pelajari.

Hun-nya membelah, tapi tidak hancur. Po-nya melebur, tapi tidak lenyap.

Dan di antara keduanya, ada kesadaran ketiga yang lahir perlahan—tenang, tapi tegas. Kesadaran yang bukan hanya dirinya sendiri, tapi gabungan dari semua wajah yang ia bawa.

Ia mulai memahami sesuatu: jalan kultivasi jiwanya tidak lagi seperti para murid lain di Sekte Langit Tenang.

Bagi mereka, kesempurnaan berarti mengendalikan semua bagian diri hingga satu arah.

Bagi Wuyan, kesempurnaan berarti menerima bahwa tidak ada kendali mutlak.

Ia menatap ke arah dupa yang kini tinggal abu.

Kata-kata dari mimpinya terngiang kembali: “Kau harus memilih, atau semua ini akan menelanmu.”

Mungkin yang dimaksud bukan pilihan antara kekuatan dan kehancuran, melainkan antara penolakan dan penerimaan.

Menolak berarti dilahap oleh wajah-wajah yang menuntut pengakuan.

Menerima berarti hidup bersama mereka—menjadi wadah bagi semua kemungkinan yang ia bawa.

“Menjadi iblis sejati berarti menerima semua wajah manusia,” gumamnya lirih, kalimat itu terlintas tanpa sadar. Ia tak tahu dari mana datangnya, tapi terdengar seperti kebenaran yang sudah lama tertulis di dalam dirinya.

Bayangan di dinding mulai bergoyang lembut, membentuk siluet yang menyerupai dirinya. Suaranya datang lagi, kali ini lebih lembut, hampir seperti doa.

“Kau sudah mulai mengerti, Shen Wuyan. Ini bukan tentang menguasai kekuatan. Ini tentang berdamai dengan bentukmu yang terpecah. Kau bukan lagi seorang murid yang mencari kesempurnaan. Kau sedang menjadi sesuatu yang melampaui batas itu.”

Wuyan menatapnya dalam, merasakan detak di dada yang berbeda dari biasanya—lebih dalam, lebih luas. Ia menunduk, lalu menatap ke lantai. Dalam bayangan tubuhnya, wajah-wajah itu perlahan memudar, menyisakan hanya satu: wajahnya sendiri.

Namun kali ini, ketika ia tersenyum... bayangan itu ikut tersenyum juga. Tanpa jeda. Tanpa penundaan. Sempurna.

Ia menutup mata. Dalam kegelapan, suara-suara yang biasanya berbisik kini diam. Tak ada yang menentang, tak ada yang menggoda. Hanya keheningan yang dalam, seolah semua jiwa di dalam dirinya sedang mengatur napas bersamaan.

Ketika ia membuka mata lagi, udara di sekeliling terasa berbeda. Dingin, tapi tenang.

Wuyan tahu—ini bukan akhir, tapi awal dari sesuatu yang lebih besar. Kesadaran baru telah terbentuk, dan sejak saat itu, setiap langkahnya akan dituntun oleh dua arah: dirinya sendiri dan semua wajah yang pernah ia serap.

Ia berbisik pelan pada bayangan, nyaris seperti berbicara kepada diri sendiri.

“Kalau ini jalanku, maka aku akan berjalan di atasnya.”

Bayangan membalas lirih, suaranya bergema halus di dinding batu.

“Dan kau akan kehilangan lebih banyak dari yang bisa kau hitung. Tapi itulah harga dari memahami segalanya.”

Wuyan tersenyum samar. “Mungkin kehilangan bukan akhir. Mungkin itu permulaan.”

Bayangan tak menjawab kali ini. Ia hanya menatap, dan untuk sesaat, seolah ruangan itu dipenuhi oleh ratusan mata yang membuka bersamaan—bukan dengan ancaman, tapi dengan pengakuan.

Semuanya diam. Semuanya memandang padanya.

Wuyan menghela napas panjang. “Kalau begitu, mari kita mulai.”

Dalam keheningan itu, sebuah getaran halus terasa di udara. Lingkaran cahaya muncul di bawah tubuhnya, samar dan berdenyut. Cahaya itu bukan milik sekte, bukan teknik kultivasi yang ia kenal. Itu adalah sesuatu yang lahir dari dalam dirinya sendiri—dari keseimbangan antara Hun, Po, dan semua wajah yang berdiam di antaranya.

Wajah pertama muncul di balik bayangan, samar namun jelas, menatapnya dengan sorot mata yang tak lagi mengancam.

“Sekarang kau mengerti,” katanya perlahan, “apa arti retakan.”

Wuyan mengangguk tanpa suara. Ia tahu, untuk pertama kalinya, bahwa jalan yang ia pilih bukan jalan manusia biasa, bukan pula jalan para dewa. Ini adalah jalan bagi mereka yang mau hancur demi menjadi utuh.

Bayangan itu perlahan tersenyum. Cahaya di sekeliling ruangan redup. Udara menebal, seolah dunia menarik napas bersamaan. Dan sebelum semuanya lenyap dalam kabut tipis, suara terakhir terdengar—penuh arti, tenang, dan dalam:

“Kau baru saja membuka pintu pertama, tapi jalanmu baru dimulai.”

Wuyan menunduk sedikit. Matanya tertutup, bibirnya membentuk garis halus antara tenang dan ketakutan. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang baru—kesadaran yang tak lagi rapuh.

Ia tahu, mulai hari itu, dirinya bukan lagi hanya Shen Wuyan.

Ia adalah kumpulan wajah, fragmen jiwa, dan kehendak yang tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Dan di dalam setiap retakan, ada satu cahaya yang menunggu untuk dikenali.

1
knovitriana
update Thor, jangan lupa mampir
knovitriana
keren Thor, jangan lupa mampir 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!