Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Hari Pertama yang Tidak Ramah"
Keputusan itu akhirnya diambil Alya pada malam yang sunyi, ditemani suara kipas kos yang berdecit pelan. Kartu nama itu tergeletak di atas meja kecil, di samping ponsel murahnya. Ia menatapnya lama, seolah kartu itu bisa menjawab semua ketakutannya.
Lingkungan lebih aman.
Jam kerja lebih manusiawi.
Dua kalimat itu berputar-putar di kepalanya.
Alya mengirim pesan singkat ke nomor yang tertera.
*Mas, saya Alya. Kalau tawarannya masih ada, saya mau coba.*
Balasan datang tidak lama kemudian.
*Masih. Datang besok jam 8 pagi. Pakai baju rapi. Nama kafenya Senyawa.*
Alya memejamkan mata. Dadanya berdebar, bukan karena bahagia sepenuhnya, tapi karena ia sadar: hidupnya sedang berbelok.
---
Kafe Senyawa berada di daerah yang jauh berbeda dari bar tempat ia bekerja sebelumnya. Tidak ada musik menghentak. Tidak ada lampu temaram yang menyembunyikan niat. Ruangannya terang, wangi kopi bercampur kayu, dengan jendela besar yang membiarkan cahaya pagi masuk tanpa malu-malu.
Alya berdiri canggung di depan pintu, seragam barunya terasa kaku di tubuh. Ini hari pertamanya.
“Masuk aja,” kata seorang perempuan dari balik kasir. Usianya sekitar tiga puluhan, wajahnya tegas. “Kamu Alya, ya?”
“Iya, Mbak.”
“Saya Mira. Supervisor di sini.”
Nada suaranya datar, profesional. Tidak hangat, tapi juga tidak merendahkan. Alya mengangguk cepat.
Hari itu berjalan lebih cepat dari yang ia bayangkan—dan lebih berat.
Alya belum terbiasa dengan sistem pesanan, cara menyeduh kopi yang presisi, dan ritme kerja yang berbeda. Di bar, kesalahan kecil sering ditertawakan. Di sini, kesalahan dicatat.
“Bukan begitu cara pegang portafilter,” kata Mira tajam saat Alya ragu-ragu.
“Kalau belum yakin, tanya. Jangan asal,” lanjutnya ketika Alya salah mengantar pesanan.
Saat satu gelas kopi tersaji tidak sesuai standar, Mira menariknya kembali.
“Alya,” katanya dengan suara tertahan tapi jelas terdengar oleh staf lain, “ini bukan bar malam. Di sini, pelanggan bayar mahal untuk kualitas. Kalau kamu tidak siap, bilang dari awal.”
Wajah Alya memanas. Tangannya gemetar. Rasanya ingin sekali menangis
“Iya, Mbak. Maaf,” katanya pelan.
Tidak ada bentakan. Tidak ada hinaan. Tapi entah kenapa, itu justru lebih menusuk. Alya menunduk, menelan rasa ingin menangis. Ia merasa bodoh. Merasa tidak pantas berada di tempat seterang ini.
Saat jam kerja selesai, Alya duduk sebentar di bangku belakang kafe. Bahunya terasa berat. Hari pertama yang ia bayangkan sebagai awal yang baik justru terasa seperti pengingat: ia masih harus belajar banyak, dan itu tidak akan mudah.
Namun, satu hal ia sadari—tidak ada tatapan menjijikkan. Tidak ada sentuhan yang membuatnya ingin menghilang. Hanya lelah karena bekerja.
Dan itu, entah kenapa, terasa lebih jujur.
---
Malamnya, Alya pulang ke rumah dan langsung melihat sang ayah bersama wanita jalang itu lagi, botol minum keras berserakan. Seperti biasa, Alya ingin langsung masuk kekamar, tapi tak lama kemudian sang ayah memanggil nya.
“Gimana kerjaan barunya?” suara ayahnya terdengar kaku. Sambil merangkul wanita jalang itu
“Baik, Yah… capek, tapi—”
“Uangnya?”
Pertanyaan itu memotong kalimat Alya.
“Belum gajian. Tapi kata mereka, minggu depan sudah—”
“Biasanya kamu tiap hari bisa kirim,” suara ayahnya meninggi. “Ini baru berapa hari pindah kerja, sudah beda.”
Alya menggigit bibir. “Gajinya bulanan, Yah. Tapi lebih stabil. Dan… tempatnya lebih aman.”
“Aman nggak bisa dimakan!” bentak ayahnya. “Kamu pikir hidup cuma soal nyaman? Kita butuh uang! Penagih uang terus kesini, beras juga habis!”
Kata-kata itu menghantam lebih keras dari marah Mira siang tadi.
“Ayah kira kamu berhenti dari bar itu cuma buat gaya-gayaan? Di sana kamu bisa dapat lebih. Sekarang malah nyusahin.”
Air mata Alya jatuh tanpa suara.
“Alya nggak mau kerja di tempat yang—” suaranya pecah. “—yang bikin Alya takut tiap hari.”
Hening sejenak di ujung telepon.
Lalu ayahnya berkata dingin, “Takut itu urusan kamu. Tanggung jawab itu urusan keluarga.”
Rasanya seperti dihantam beton.
Alya masuk kekamar, terduduk dilantai menekuk lututnya. Dadanya sesak. Ia baru saja keluar dari satu tekanan, hanya untuk masuk ke tekanan lain yang lebih sunyi.
Malam itu, Alya menangis lagi. Bukan karena marah dimarahi, bukan karena uang. Tapi karena ia sadar, memilih jalan yang lebih aman tidak selalu berarti mendapat pengertian.
---
Di tempat lain, Mira berdiri di depan jendela kafe yang sudah tutup, menelepon seseorang.
“Anak baru itu… Alya,” katanya singkat. “Dia lambat, tapi bukan malas.”
Di ujung sana, Zavian mendengarkan tanpa menyela.
“Kalau dia bertahan seminggu,” lanjut Mira, “dia bisa jadi bagus.”
Zavian mengangguk pelan, meski tak terlihat.
“Pastikan dia tidak dipatahkan,” katanya. “Dia sudah cukup banyak menahan.”
Telepon ditutup.
Dan tanpa Alya tahu, di balik hari pertama yang membuatnya ingin menyerah, ada mata yang memperhatikan dari jauh—bukan untuk menguasai, tetapi memastikan ia punya kesempatan kedua.
Ini tentang jatuh di tempat baru, dan bertanya dalam diam:
*Apakah bertahan di jalan yang benar selalu harus sesakit ini?*
*"Kalau ibu masih ada hidup Alya pasti lebih baik.... setidaknya"*. *"Kenapa Alya harus hidup seperti ini Tuhan"*