The Thousand Faces Of The Demon Sage
Malam menuruni pegunungan Jingluo seperti kabut yang memiliki nyawa.
Udara dingin membawa bau besi, abu, dan dupa yang terbakar setengah.
Langit gelap tanpa bintang; hanya satu bulan pucat yang terpantul di genangan air perak di kaki kuil tua.
Di tengah reruntuhan itu berdiri seorang pemuda berambut hitam panjang.
Tubuhnya penuh luka, matanya tenang tapi asing, seolah ia baru saja kembali dari dunia yang bukan milik manusia.
Namanya Shen Wuyan.
Ia menatap pantulan dirinya di air.
Namun yang menatap balik bukan wajah yang sama.
Bayangan itu tersenyum, padahal bibirnya sendiri tetap diam.
“Siapa kau?” gumamnya.
Bayangan itu menjawab dengan suara yang rendah dan berat, seperti berasal dari dalam bumi.
“Aku adalah wajah yang kau buang, Shen Wuyan.”
Seketika air di bawahnya beriak, danau itu bergemuruh lembut seperti jantung yang berdetak.
Dari dalamnya muncul wajah demi wajah—tua, muda, lelaki, perempuan, manusia, iblis—semuanya hidup.
Sebagian menatapnya dengan kebencian, sebagian menangis, sebagian tersenyum gila.
Wuyan mundur selangkah, tapi wajah-wajah itu mengikuti gerakannya.
Setiap langkahnya menimbulkan gema aneh di udara, seolah dunia mengulang waktu yang pernah ia lupakan.
Di kepalanya, suara-suara asing mulai muncul: jeritan perang, doa biksu yang terbakar, tawa seorang wanita yang kehilangan anaknya, bisikan pria yang mati menyesali hidupnya.
Ia menutup telinga, tapi suara itu bukan datang dari luar.
Mereka datang dari dalam jiwanya sendiri.
Kenapa aku bisa mendengar ini? pikirnya.
Siapa mereka?
Bayangan di air itu membuka mata perlahan.
Tatapannya sama dengan milik Wuyan, tapi dalamnya tidak manusiawi.
“Karena kau bukan satu jiwa. Kau adalah seribu.”
Suara itu bergema di udara, mengguncang reruntuhan kuil.
Wuyan menatap ke sekeliling, dan batu-batu tua mulai retak seperti sedang bernapas.
Di langit, kilat berkelebat, menerangi gunung-gunung jauh di utara—tempat sekte Langit Murni menyalakan obor suci mereka.
Sekte itu percaya, di antara semua makhluk hidup, hanya mereka yang berhak menentukan apa yang disebut ‘kebenaran’.
Dan malam itu, mereka sedang memburu sesuatu yang disebut sebagai reinkarnasi Sang Sage Iblis.
Wuyan menggenggam dadanya, napasnya berat.
“Reinkarnasi? Itu… mustahil.”
“Mustahil?” Bayangan itu tertawa kecil.
“Seribu tahun lalu, ketika Sage Iblis dihancurkan oleh langit, jiwanya terpecah menjadi ribuan fragmen.
Masing-masing wajah terlahir kembali di tubuh manusia biasa, membawa sisa ingatan masa lalu.
Namun satu wadah dipilih untuk menampung semuanya. Dan wadah itu… adalah dirimu.”
Petir menyambar di kejauhan, menerangi wajah Wuyan yang kini pucat.
Seketika, bayangan-bayangan di air mulai bergerak.
Mereka berbicara dalam bahasa yang tak ia pahami—campuran jeritan, bisikan, dan doa.
Namun maknanya jelas: mereka semua menginginkan tubuhnya.
Rasa sakit tiba-tiba meledak di kepala Wuyan.
Gambaran asing memenuhi pikirannya: ia melihat peperangan yang belum pernah ia alami, membunuh dengan tangan yang bukan miliknya, mencintai seseorang yang tidak ia kenal, lalu mati ribuan kali di dunia yang berbeda.
Semua itu terasa nyata.
Setiap wajah adalah dirinya.
Setiap diri adalah dosa yang tidak bisa dihapus.
Bayangan di air memandangnya dengan tatapan kasihan.
“Begitulah nasib Sage Iblis. Ia menanggung wajah seluruh manusia, agar tak satu pun dari mereka dilupakan.”
Shen Wuyan memejamkan mata.
Ia ingin menolak, tapi setiap kali ia menolak satu wajah, rasa sakitnya bertambah sepuluh kali lipat.
Ketika ia menerima satu wajah, rasa sakitnya mereda—namun kenangan yang datang bersamanya membuatnya semakin hancur.
Langit bergetar, dan hujan turun.
Tetes-tetes air jatuh ke permukaan danau, tapi tidak menimbulkan riak.
Seolah hujan pun takut menyentuh laut jiwa itu.
Dari kejauhan, bunyi terompet perang menggema.
Sekte Langit Murni telah tiba di kaki gunung.
Mereka membawa ribuan biksu bersenjata, mantra penyegel, dan pedang yang bersinar dengan kekuatan surgawi.
Di mata mereka, Shen Wuyan bukan manusia—ia adalah sisa kutukan dari masa lalu, sesuatu yang harus dimusnahkan demi “kedamaian dunia”.
Namun di mata Wuyan, kebenaran terasa berbeda.
Ia mulai melihat kenangan di balik setiap wajah:
Seorang murid sekte yang dibunuh karena berani mencintai iblis.
Seorang pemimpin yang memerintahkan pembantaian demi “kesucian”.
Seorang anak yang mati dibakar karena lahir dengan tanda di dahi.
Dan seorang pria berpakaian hitam yang berdiri sendirian di tengah medan perang, menatap langit sambil berkata:
“Menjadi iblis sejati berarti menerima semua wajah manusia yang kau benci.”
Kata-kata itu berputar di benak Wuyan.
Ia merasakan sesuatu bergetar di dalam dadanya—bukan rasa takut, tapi semacam kesadaran yang selama ini terkunci.
Ia menatap bayangannya lagi, dan kali ini, bayangan itu tidak tersenyum.
Mereka menatap satu sama lain dengan tenang, seolah dua sisi cermin yang akhirnya saling mengenali.
Jika menjadi manusia berarti berpura-pura suci, maka apa bedanya dengan dusta?
Jika menjadi iblis berarti menanggung dosa semua manusia, bukankah itu justru bentuk paling murni dari penerimaan?
Shen Wuyan menarik napas panjang.
Petir menyambar di belakangnya, menerangi wajahnya yang kini setengah manusia, setengah sesuatu yang lain.
Matanya memantulkan ribuan wajah di danau, semuanya menatapnya dengan harap dan ketakutan yang sama.
Dengan suara tenang, ia berbisik,
“Jika menjadi iblis berarti menerima semua sisi manusia… maka aku akan menjadi iblis sejati.”
Permukaan danau bergetar keras.
Bayangan itu tersenyum lagi, kali ini dengan senyum yang sama seperti dirinya.
Cermin air pecah menjadi serpihan cahaya, berubah menjadi pusaran perak yang terbuka seperti mata raksasa.
Tanah berguncang, gunung bergetar, langit terbakar merah.
Pasukan Langit Murni yang mendaki gunung melihat ledakan cahaya itu dan membeku.
Dari dalam kabut perak, suara-suara bergema—jeritan, tawa, tangisan, dan doa—menyatu menjadi satu suara yang mengguncang seluruh lembah.
“Selamat datang kembali, Sage Iblis.”
Dan malam itu, dunia berubah.
Bukan karena iblis bangkit,
tetapi karena satu manusia akhirnya berhenti berpura-pura menjadi suci.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments