Lima abad setelah hilangnya Pendekar Kaisar, dunia persilatan terbelah. Pengguna tombak diburu dan dianggap hina, sementara sekte-sekte pedang berkuasa dengan tangan besi.
Zilong, pewaris terakhir Tombak Naga Langit, turun gunung untuk menyatukan kembali persaudaraan yang hancur. Ditemani Xiao Bai, gadis siluman rubah, dan Jian Chen, si jenius pedang, Zilong mengembara membawa Panji Pengembara yang kini didukung oleh dua sekte pedang terbesar.
Di tengah kebangkitan Kaisar Iblis dan intrik berdarah, mampukah satu tombak menantang dunia demi kedamaian, ataukah sejarah akan kembali tertulis dalam genangan darah?
"Satu Tombak menantang dunia, satu Pedang menjaga jiwa, dan satu Panji menyatukan semua."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Kilat Naga di Atas Granit Hitam
Zhang Wei meraung, suaranya menggetarkan udara di sekitar arena. Sebagai pendekar dari Sekte Pedang Besi, ia mengandalkan kekuatan fisik murni dan berat senjatanya. Dengan satu lompatan besar, ia mengangkat pedang raksasanya tinggi-tinggi, siap membelah Zilong menjadi dua.
"Mati kau, Tikus Gunung!"
DUARRRR!
Pedang besar itu menghantam lantai granit dengan kekuatan ribuan pon. Debu mengepul hebat, menciptakan retakan kecil di permukaan batu yang seharusnya keras itu. Penonton bersorak, menyangka Zilong telah hancur berkeping-keping. Namun, saat debu menipis, sosok Zilong tidak ada di sana.
"Terlalu banyak celah dalam seranganmu." sebuah suara dingin terdengar dari balik punggung Zhang Wei.
Zhang Wei terlonjak kaget dan segera memutar tubuhnya, mengayunkan pedangnya secara horizontal. Namun, Zilong hanya merunduk dengan gerakan yang sangat halus, seolah-olah ia sedang menari mengikuti irama angin.
Zilong memutar Tombak Naga Langitnya. Gerakannya tidak terburu-buru, namun setiap putaran menciptakan pusaran udara yang tajam.
"Kau ingin melihat kekuatan tombak?" bisik Zilong. "Perhatikan baik-baik."
Zilong melesat maju. Alih-alih menggunakan tenaga kasar, ia menggunakan teknik Aliran. Mata tombaknya mematuk seperti ular kobra, sangat cepat dan presisi.
Ting! Ting! Ting!
Hanya dalam tiga detik, Zilong telah mendaratkan sepuluh tusukan ringan di titik-titik saraf lengan dan kaki Zhang Wei. Tusukan itu tidak dalam, namun cukup untuk memutus aliran Qi lawan.
"A-apa yang kau lakukan?!" Zhang Wei berteriak frustrasi. Ia mencoba mengangkat pedangnya lagi, namun lengannya mendadak terasa lumpuh. Pedang raksasa itu jatuh berdenting keras ke lantai.
Zilong kemudian memposisikan tombaknya di samping tubuh, menariknya sedikit ke belakang, lalu melakukan satu hentakan lurus ke arah dada Zhang Wei—bukan dengan mata tajamnya, melainkan dengan ujung gagang tombaknya.
"Teknik Naga: Dorongan Gelombang!"
BUGH!
Gelombang tekanan udara yang transparan terpancar dari ujung gagang tombak. Zhang Wei terlempar ke udara seolah dihantam oleh palu raksasa yang tak kasat mata. Tubuh kekarnya melayang melewati batas arena dan menghantam dinding pembatas dengan keras hingga pingsan seketika.
Arena yang tadinya riuh rendah oleh ejekan mendadak senyap sesunyi kuburan. Ribuan penonton ternganga. Seorang pendekar dari sekte ternama dikalahkan hanya dalam hitungan detik oleh "si pembawa kayu rami" tanpa setetes darah pun yang tumpah.
Zilong menyandarkan tombaknya di bahu, menatap datar ke arah kerumunan. "Siapa selanjutnya?" tanya Zilong singkat.
Di balkon kehormatan, para petinggi sekte berdiri dari kursi mereka dengan wajah tegang. Hanya Master Jian yang tetap duduk, namun jemarinya tampak gemetar halus di atas pegangan kursi.
"Itu bukan sekadar teknik tombak biasa," bisik Master Jian dengan mata berbinar kagum. "Itu adalah Gaya Naga Langit yang asli. Teknik yang seharusnya sudah punah seratus tahun yang lalu."
Petinggi di sebelahnya mendesis benci. "Apapun itu, kita tidak bisa membiarkan dia mempermalukan pendekar pedang lebih jauh. Kirimkan murid-murid dari tiga sekte besar di babak berikutnya. Hancurkan dia sebelum dia sempat menjadi pahlawan!"
Di Bawah Panggung
Zilong berjalan kembali menuju tempat duduknya. Xiao Bai menyambutnya dengan seringai lebar di balik tudungnya.
"Kau terlalu pamer, Zilong," goda Xiao Bai. "Lihat, sekarang para tetua itu menatapmu seolah kau adalah iblis yang harus dimusnahkan."
"Aku tidak pamer," jawab Zilong sambil duduk kembali. "Aku hanya sedang memberi mereka pelajaran pertama tentang kerendahan hati. Sayangnya, sepertinya mereka adalah murid yang bodoh."
Zilong memejamkan matanya, memulihkan energinya. Ia tahu bahwa kemenangan mudah ini hanyalah pembukaan. Musuh yang sebenarnya baru saja mulai mengasah pedang mereka dalam kegelapan.