Kim Min-seok siluman rubah tampan berekor sembilan, yang sudah hidup lebih dari 1000 tahun,Kim Min-seok hidup dengan menyembunyikan identitasnya sebagai seekor gumiho,Ia berkepribadian dingin dan juga misterius.
Dirinya menjalin hidupnya dengan kesepian menunggu reinkarnasi dari kekasihnya yang meninggal Beratus-ratus tahun yang lalu.
Kim Min-seok kemudian bertemu dengan Park sung-ah mahasiswi jurusan sejarah, saat itu dirinya menjadi dosen di universitas tersebut.
Mereka terjerat Takdir masa lalu yang mempertemukan mereka, mampukah Kim Min-seok mengubah takdir tragis di masalalu yang terulang kembali di masa depan.
apakah kejadian tragis di masalalu akan kembali terjadi kepada dirinya dan juga kepada park sung-ah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Heryy Heryy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
༿BAB༌༚16
Beberapa minggu setelah hari itu di ruang kantor Kim Min-seok, suasana di kampus menjadi semakin meriah.
Badan pengurus mahasiswa mengadakan acara tahunan yang selalu dinanti-nanti oleh semua mahasiswa dan dosen: acara mendaki gunung dan berkemah di bukit yang terletak tidak jauh dari kota Seoul.
Tujuan acara ini bukan hanya untuk bersenang-senang, tapi juga untuk mempererat hubungan antar mahasiswa dan antara mahasiswa dengan dosen.
Hari H acara tiba dengan langit yang cerah dan matahari yang menyinari. Para mahasiswa dan mahasiswi berkumpul di gerbang kampus sejak pagi hari, membawa tas ransel yang penuh dengan perlengkapan mendaki: baju hangat, sepatu mendaki, makanan, minuman, dan perlengkapan berkemah.
Di antara mereka adalah Park Sung-ah dan Yoo In-a, yang berjalan dengan langkah yang ceria dan penuh semangat. Sung-ah terlihat lebih segar dan bahagia dari sebelumnya—setelah percakapan dengan Min-seok beberapa minggu yang lalu, dia merasa lega bahwa malam itu hanya mimpi, dan dia bisa fokus kembali pada kuliah dan kehidupan sehari-hari.
"Seru banget ya, Sung-ah! Akhirnya kita bisa keluar dari kampus dan menghirup udara segar di gunung!" ucap In-a dengan semangat, menggoyangkan lengan Sung-ah.
Sung-ah tersenyum lebar. "Iya dong, In-a! Aku sudah lama tidak mendaki gunung. Semoga pemandangannya bagus dan kita bisa melihat matahari terbenam yang indah!" jawab dia dengan suara yang ceria.
Beberapa saat kemudian, dosen-dosen yang ikut acara juga tiba, termasuk Kim Min-seok. Dia mengenakan baju kemeja abu-abu dan celana jeans, sepatu mendaki hitam, dan tas ransel yang kecil.
Dia terlihat lebih santai dari biasanya, tapi wajahnya tetap memiliki tatapan yang waspada. Ketika dia melihat Sung-ah dan In-a yang sedang tertawa, dia tersenyum lemah—suatu senyum yang hanya terlihat sesaat saja sebelum dia kembali ke tatapan yang biasa.
Ketua badan pengurus mahasiswa kemudian membuka pidato singkat, menjelaskan rencana pendakian dan peraturan yang harus diikuti. "Kita akan mendaki bukit Bukhan, tepatnya ke puncak yang dikenal dengan nama Bukhan-san Peak. Jalur pendakinya tidak terlalu sulit, tapi semua harus berhati-hati ya.
Dan ada satu hal yang penting—jangan pernah mendekati kuil yang terletak di tengah hutan di sepanjang jalur. Kuil itu sudah tua dan angker, banyak cerita yang tidak menyenangkan tentang tempat itu. Jadi kita harus menghindarinya sepenuhnya!" ucap dia dengan suara yang tegas.
Sung-ah merasa hati dia berdebar sedikit ketika mendengar kata "kuil". Dia tidak tahu mengapa, tapi dia merasa ada sesuatu yang menarik dirinya ke kuil itu. Tapi dia mengangguk, mengikuti peraturan yang diberikan.
Setelah pidato selesai, kelompok pendaki mulai berjalan menuju arah bukit. Jalur pendakinya dimulai dari jalan yang landai, dikelilingi oleh pohon-pohon pinus yang rimbun dan bunga-bunga liar yang mekar. Udara di hutan terasa segar dan sejuk, dan bunyi kicau burung membuat suasana semakin menenangkan. Semua orang berbicara dan tertawa, menikmati perjalanan bersama.
Namun, tidak lama setelah mereka memulai pendakian, Sung-ah merasa ada yang memperhatikannya. Dia merasakan pandangan yang tajam di punggungnya, seolah-olah seseorang atau sesuatu sedang mengawasinya dari kejauhan.
Dia memutar kepala, melihat sekeliling. Tapi tidak ada apa-apa—hanya dia, In-a, dan beberapa mahasiswi lain yang berjalan di dekatnya. Semua orang terlihat sibuk dengan percakapan mereka sendiri, tidak ada yang menatapnya.
"Kenapa, Sung-ah? Kamu terkejut apa?" tanya In-a dengan khawatir, melihat wajah Sung-ah yang sedikit pucat.
"Saya tidak tahu, In-a. Rasanya seperti ada yang melihat saya, tapi ketika saya lihat, tidak ada apa-apa," jawab Sung-ah dengan suara yang lemah.
In-a memeluknya dengan lemah. "Jangan khawatir, Sung-ah. Mungkin hanya khayalan mu saja. Atau mungkin burung yang terbang di atas kepala kita. Kita ada banyak orang, jadi tidak akan ada masalah apa-apa."
Sung-ah tersenyum lemah, merasa sedikit lebih tenang. Mereka melanjutkan pendakian, dan rasa bahwa ada yang memperhatikannya mulai mereda—meskipun tidak sepenuhnya hilang.
Setelah mendaki selama sekitar satu jam, mereka mencapai setengah jalur pendakian. Di kejauhan, di atas bukit yang sedikit lebih rendah, Sung-ah melihatnya: sebuah kuil yang tua dan angker, terbuat dari batu bata yang lapuk dan dipenuhi lumut.
Kuil itu terletak di tengah hutan yang sunyi, seolah-olah tersembunyi dari pandangan orang banyak. Sung-ah merasa hati dia berdebar kencang—ada sesuatu yang familiar tentang kuil itu, seolah-olah dia pernah melihatnya sebelum ini, meskipun dia yakin dia tidak pernah datang ke sini sebelumnya.
Dia berjalan ke arah salah satu mahasiswa laki-laki yang sedang berdiri di dekatnya, melihat kuil itu dengan tatapan yang penasaran. "Maaf, kamu tahu kuil apa itu? Mengapa orang bilang itu angker?" tanya dia dengan suara yang lemah.
Mahasiswa itu melihat ke arah kuil, wajahnya sedikit memerah karena takut. "Itu adalah kuil Bukhan, yang sudah ada sejak zaman dinasti Joseon. Orang-orang bilang kuil itu dihuni oleh roh-roh yang tidak tenang—roh orang yang telah meninggal di hutan dan tidak bisa pulang ke rumah.
Beberapa orang bahkan mengatakan bahwa mereka pernah melihat cahaya aneh di dalam kuil pada malam hari, atau mendengar suara teriakan yang menyakitkan. Jadi kita harus benar-benar menghindarinya ya. Jangan coba mendekatinya!" ucap dia dengan suara yang serak, lalu berjalan cepat menjauh dari sana.
Sung-ah mengangguk, hati dia penuh dengan keheranan. Mengapa kuil itu membuatnya merasa familiar? Mengapa dia ingin mendekatinya meskipun dia tahu itu berbahaya?
Pada saat itu, dari kejauhan, ular jelmaan Imugi yang telah menyembunyikan diri di dalam hutan melihat semua itu. Dia telah mengikuti kelompok pendaki sejak mereka memulai perjalanan, menyembunyikan diri di antara pohon-pohon dan semak-semak.
Dia merasakan energi dari Sung-ah yang kuat dan jelas—energi yang dia kenal terlalu baik. Tapi dia ingin memastikan sekali lagi bahwa Sung-ah benar-benar adalah reinkarnasi Song Hye-yoon. Dengan kekuatan sedikit yang dia miliki, dia memulai transformasi.
Cahaya hitam yang lemah menyelimuti tubuh ular itu, dan dalam sepersekian detik, dia berubah menjadi seorang kakek-kakek tua yang kurus dan renta.
Dia mengenakan baju kemeja abu-abu yang lusuh, celana jeans yang usang, dan topi tengkorak yang menutupi rambutnya yang putih. Badannya membungkuk, dan dia memegang tongkat kayu untuk menopang langkahnya.
Dengan langkah yang lemah dan goyah, kakek tua itu berjalan ke arah jalur pendakian, menghampiri kelompok di mana Sung-ah dan In-a berada. Saat dia mendekati mereka, dia sengaja tergelincir di atas akar pohon yang terlihat, dan secara tidak sengaja menabrak Sung-ah dengan lemah.
"Ah! Maaf, nak! Aku tidak sengaja!" teriak kakek tua itu dengan suara yang lemah dan serak, hampir terjatuh.
Sung-ah cepat menangkap tangannya untuk menopangnya. "Tidak apa-apa, Kakek. Kamu baik-baik saja? Jangan tergesa-gesa ya, jalurnya licin," katanya dengan suara yang ramah dan penuh perhatian.
In-a juga mendekati mereka, membantu kakek tua itu berdiri dengan kuat. "Kakek mau kemana? Apakah kakek juga mendaki gunung? Kamu harus berhati-hati ya, kakek tua sekarang."
Kakek tua itu tersenyum lemah, matanya yang merah (yang sembunyi di balik kacamata) melihat Sung-ah dengan tatapan yang penuh makna. "Aku hanya berjalan-jalan di hutan, nak.
Terima kasih banyak atas bantuan mu. Kamu seorang gadis yang baik hati ya." Saat dia berbicara, dia menyentuh tangan Sung-ah dengan lemah.
Dalam sepersekian detik, dia merasakan energi yang kuat dari tubuh Sung-ah—energi yang sama persis dengan energi Song Hye-yoon. Dia telah memastikan. Park Sung-ah benar-benar adalah reinkarnasi Song Hye-yoon.
"Kakek harus pulang ya, sebelum jalurnya semakin gelap," katanya Sung-ah dengan perhatian.
"Baiklah, nak. Terima kasih sekali lagi. Semoga perjalanan mu menyenangkan," ucap kakek tua itu dengan senyum lemah, lalu berjalan kembali ke arah hutan dengan langkah yang lemah.
Setelah kakek tua itu menghilang dari pandangan, Sung-ah dan In-a melanjutkan pendakian. Mereka berjalan dengan lebih lambat, menikmati pemandangan yang semakin indah seiring dengan semakin tinggi mereka mendaki. Setelah beberapa waktu lagi, mereka akhirnya mencapai puncak bukit.
Pemandangannya luar biasa—dari atas, mereka bisa melihat seluruh kota Seoul yang menyebar luas di bawahnya, dengan gedung-gedung tinggi yang menyala terang dan sungai yang mengalir seperti tali emas. Semua orang terkejut dan terpesona dengan keindahan pemandangan itu.
Mereka kemudian mulai membuat tenda untuk berkemah. Semua orang bekerja sama—mencari kayu bakar untuk api unggun, memasak makanan, dan merapikan tempat tidur.
Suasana menjadi semakin meriah dan ceria, dengan semua orang bernyanyi, berbicara, dan tertawa bersama. Sung-ah merasa bahagia dan tenang—ini adalah momen yang dia butuhkan setelah semua kesulitan yang dia alami.
Di tengah kegembiraan itu, jauh di bawah puncak, kakek tua itu kembali berubah menjadi ular kecil yang hitam. Dia memandang ke arah puncak bukit, ke arah tempat Sung-ah berada, matanya yang merah menyala dengan kebencian dan harapan. Dia telah memastikan bahwa Sung-ah adalah reinkarnasi Song Hye-yoon.
Sekarang, hanya masalah waktu sebelum dia bisa membawanya ke kuil, membuat dia melepaskan Imugi dari segel, dan melaksanakan sumpahnya untuk melenyapkan Kim Min-seok. Dia akan menunggu—sedikit lagi waktu, dan semua rencananya akan terwujud.
Di puncak bukit, Kim Min-seok berdiri di sudut yang sunyi, memandang ke arah hutan di mana kuil itu berada. Dia merasakan energi yang lemah tapi jahat dari arah itu—energi yang dia kenal terlalu baik.
Dia melihat kakek tua itu yang baru saja menghilang ke dalam hutan, dan dia merasa ada yang tidak beres. Dia tidak tahu apa itu, tapi dia tahu bahwa bahaya sedang mendekat.
Matahari mulai terbenam, menyebarkan cahaya oranye dan merah ke seluruh langit. Semua orang berkumpul di sekitar api unggun, menikmati makanan dan percakapan. Sung-ah duduk di samping In-a, memandang matahari terbenam yang indah. Dia tidak tahu bahwa dia sedang diamati oleh sesuatu yang jahat di dalam hutan.
Dia tidak tahu bahwa dia adalah kunci untuk melepaskan Imugi dari segel. Dan dia tidak tahu bahwa perjuangan yang akan mengubah hidupnya sepenuhnya akan segera dimulai—di kuil angker yang terletak di tengah hutan bukit Bukhan.