NovelToon NovelToon
JATUH UNTUK BANGKIT

JATUH UNTUK BANGKIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3: SURAT DARI LUAR

#

Tahun kedua di penjara tidak lebih mudah dari tahun pertama. Hanya berbeda. Seperti cara tubuh beradaptasi dengan racun—bukan karena racunnya hilang, tapi karena sel-sel sudah belajar bertahan meski terus digerogoti dari dalam.

Elang tidak lagi menghitung hari. Tidak lagi menatap langit-langit dengan mata kosong. Setiap pagi, ia bangun sebelum subuh, sholat—bukan lagi dengan air mata seperti malam pertama itu, tapi dengan ketenangan dingin yang lebih menakutkan dari kesedihan. Ia sholat seperti prajurit yang mempersiapkan diri untuk perang, bukan seperti orang yang mencari kedamaian.

Setelah sholat, latihan fisik. Push-up sampai lengan gemetar. Sit-up sampai perut terbakar. Squat sampai kaki tidak bisa berdiri. Tubuhnya yang dulu atletis dari gym mewah kini menjadi lebih keras, lebih padat—dibentuk oleh kelaparan, kerja paksa, dan obsesi untuk tidak lemah lagi. Setiap otot adalah armor. Setiap tetesan keringat adalah pembayaran untuk kekuatan yang suatu hari akan ia butuhkan.

Siang hari, kerja paksa di bengkel. Memperbaiki mesin, mengelas besi, mengangkat beban. Tangannya yang dulu halus kini penuh kapalan dan luka. Kuku-kukunya retak dan kotor—tidak ada lagi manicure bulanan seperti dulu. Tapi Elang tidak peduli. Setiap kapalan adalah medali. Setiap luka adalah pengingat bahwa ia masih hidup, masih bisa merasakan sakit, masih belum menyerah.

Sore, belajar dengan Farrel. Catur. Psikologi. Strategi. Terkadang Farrel membawa narapidana lain—mantan lawyer yang mengajarkan celah hukum, mantan akuntan yang menjelaskan cara menyembunyikan uang, mantan konglomerat yang berbagi cerita tentang bagaimana dunia bisnis sebenarnya bekerja: kotor, kejam, tanpa belas kasihan.

"Di luar sana," kata mantan konglomerat itu—Pak Harjo, 60 tahun, dihukum karena penggelapan pajak—sambil merokok kretek selundupan di sudut lapangan, "nggak ada yang namanya clean business di level kita. Semua orang kotor. Yang beda cuma yang ketahuan sama yang nggak."

"Terus gimana caranya nggak ketahuan?" Elang bertanya, matanya tajam, menyerap setiap kata.

Pak Harjo tersenyum—senyum lelaki tua yang sudah melihat terlalu banyak. "Jangan serakah. Dan selalu punya fall guy—orang yang bisa disalahkan kalau semuanya berantakan."

Elang mencatat mental. Semuanya. Setiap pelajaran adalah senjata untuk nanti.

Malam, sendirian di sel, ia menulis. Bukan jurnal—itu terlalu berbahaya jika ada yang menemukan. Tapi kode. Angka. Simbol. Rencana yang hanya ia mengerti. Nama-nama. Tanggal. Strategi. Semuanya disimpan di kepala dan di lembaran-lembaran kecil yang ia sembunyikan di kasur, di celah dinding, di tempat-tempat yang tidak akan diperiksa sipir yang malas.

Farrel pernah bertanya, "Loe nulis apa sih tiap malam?"

"Blueprint," Elang menjawab singkat. "Blueprint untuk menghancurkan orang yang menghancurkan gue."

Farrel mengangguk puas. "Good. Tapi inget, rencana terbaik adalah yang fleksibel. Kehidupan di luar nanti nggak akan sesuai persis dengan yang loe bayangin sekarang. Siap untuk improvisasi."

"Gue akan siap."

Dan Elang percaya itu. Ia harus percaya. Karena jika ia tidak percaya, jika ia kehilangan fokus walau sedetik, kegelapan akan menelannya lagi. Dan kali ini, ia tahu ia tidak akan bisa keluar.

Suatu siang di minggu ketujuh tahun kedua—Elang ingat tanggalnya persis: 15 Maret—seorang sipir mendatangi selnya dengan amplop cokelat kusam di tangan.

"Surat buat loe, Alghifari."

Elang bangkit dari kasur, jantung tiba-tiba berdetak lebih cepat. Surat? Dari siapa? Selama dua tahun di sini, tidak ada yang pernah mengiriminya surat. Tidak keluarga—karena ia tidak punya. Tidak teman—karena mereka semua menghilang ketika skandal pecah. Tidak kekasih—karena kekasihnya sekarang tidur di ranjang sahabatnya.

Ia menerima amplop dengan tangan yang sedikit gemetar—emosi pertama yang lolos dari benteng dingin yang ia bangun.

Tidak ada nama pengirim. Hanya alamat penjara dan namanya: Elang Alghifari, Sel 12B, Cipinang.

Ia merobek amplop dengan hati-hati. Di dalam, selembar kertas putih dilipat rapi. Tulisan tangan—feminin, rapi, dengan tinta biru.

*Pak Elang,*

*Saya Stella Febriani. Asisten marketing Garuda Investama. Mungkin Bapak tidak ingat saya—saya hanya salah satu dari puluhan karyawan yang sering melewati ruang Bapak tanpa sempat menyapa.*

Elang berhenti membaca. Mencari di memori. Stella Febriani. Stella... Ah. Gadis muda. Umur awal dua puluhan. Sering membawa file untuk meeting. Pendiam. Selalu menunduk saat berpapasan. Mata besar di balik kacamata, seperti rusa yang takut.

Kenapa dia menulis?

*Malam ketika Bapak ditangkap, saya ada di hotel itu. Saya melihat semuanya. Saya melihat bagaimana mereka menatap Bapak—Pak Brian dan Bu Zara—dengan tatapan yang bukan tatapan terkejut, tapi tatapan menunggu. Seperti orang yang sudah tahu akan ada pertunjukan dan mereka duduk di kursi terbaik.*

Napas Elang tertahan. Jari-jarinya mencengkeram kertas sampai sedikit berkerut.

*Saya tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Saya hanya asisten kecil. Siapa yang akan percaya saya? Tapi setelah Bapak dipenjara, saya mulai memperhatikan. Bertanya-tanya. Menggali.*

*Dan Pak... saya menemukan sesuatu.*

Jantung Elang berdebar seperti drum perang. Ia membaca lebih cepat, mata melahap setiap kata dengan kelaparan orang yang sudah terlalu lama tidak makan.

*Saya simpan semua bukti asli. Email antara Pak Brian dan investor palsu. Rekaman CCTV yang menunjukkan Pak Brian keluar dari kantor malam-malam membawa dokumen. Transaksi bank yang tidak masuk akal. Saya download semuanya sebelum mereka menghapus server lama. Saya simpan di flash drive yang saya sembunyikan.*

*Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan ini. Saya takut. Pak Brian sekarang CEO. Dia punya koneksi. Dia punya uang. Kalau saya bicara, saya bisa hilang. Tapi kalau saya diam... Bapak akan mati di penjara untuk kejahatan yang tidak Bapak lakukan.*

*Jadi saya memutuskan: saya akan menunggu. Menunggu sampai waktunya tepat. Menunggu sampai Bapak keluar. Dan sampai saat itu, saya akan terus mengumpulkan bukti. Terus memantau mereka. Terus mencatat setiap kesalahan mereka.*

*Pak, tolong jangan menyerah. Tolong bertahan. Karena kebenaran masih ada. Keadilan mungkin terlambat, tapi tidak pernah hilang.*

*Saya tidak bisa mencantumkan alamat saya di surat ini—terlalu berbahaya. Tapi saya akan menulis lagi. Dan suatu hari, ketika Bapak keluar, saya akan ada di sana. Dengan semua bukti. Dengan semua yang Bapak butuhkan untuk melawan.*

*Bertahanlah, Pak. Jangan mati di sana. Dunia masih membutuhkan Bapak untuk bangkit dan menunjukkan siapa yang sebenarnya jahat.*

*Stella Febriani*

Kertas itu gemetar di tangan Elang. Atau bukan kertas yang gemetar—tangannya. Seluruh tubuhnya. Sesuatu yang sudah lama mati di dadanya tiba-tiba bergerak lagi. Bukan harapan—ia sudah terlalu rusak untuk harapan naif. Tapi sesuatu yang lebih berbahaya: keyakinan bahwa ia tidak sendirian. Bahwa ada seseorang di luar sana yang percaya padanya. Yang melihat kebenaran ketika semua orang memilih buta.

Ia membaca surat itu lagi. Dan lagi. Sampai hafal setiap kata. Sampai tinta biru itu tercetak di retina.

Lalu ia membakarnya.

Tidak ada pilihan lain. Surat itu terlalu berbahaya untuk disimpan. Jika sipir menemukannya, Stella bisa dalam bahaya. Dan Elang tidak akan membiarkan orang yang berani membantunya—orang asing yang tidak berutang apa-apa padanya—terluka karena kebodohannya.

Ia membakar kertas itu dengan korek api selundupan, menyaksikan api melahap kata-kata yang memberinya alasan pertama untuk benar-benar percaya bahwa ia bisa bangkit. Abu jatuh ke lantai beton. Ia menginjaknya sampai tidak ada yang tersisa.

Tapi kata-katanya tetap hidup. Di kepala. Di hati. Di setiap detak jantung.

*Jangan menyerah.*

*Bertahanlah.*

*Saya akan ada di sana.*

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam dua tahun, Elang tersenyum. Senyum kecil, nyaris tidak terlihat, tapi nyata. Senyum yang bukan dari kebahagiaan, tapi dari sesuatu yang lebih gelap dan lebih kuat: tekad yang sudah berubah menjadi kepastian.

Di luar sana, kehidupan berlanjut tanpa menunggunya.

Brian Mahendra dan Zara Anastasya menikah dalam upacara yang membuat media nasional berbicara selama seminggu. Hotel Ritz-Carlton. Seribu tamu. Gaun pengantin seharga mobil mewah. Cincin berlian sebesar kacang. Bulan madu di Santorini.

Garuda Investama—perusahaan yang Elang bangun dari nol dengan keringat dan mimpi—berganti nama menjadi Hartavira Group. Logo baru. Kantor baru di SCBD. Valuasi baru yang lebih tinggi. Brian di sampul majalah Forbes Indonesia dengan senyum menawan dan judul: *"Raja Muda Investasi: Bangkit dari Skandal"*.

Skandal. Seolah-olah Brian adalah korban, bukan dalang.

Artikel itu menjelaskan bagaimana Brian "dengan brilian menyelamatkan perusahaan dari kehancuran yang disebabkan oleh mantan CEO korup". Bagaimana ia "membersihkan nama Garuda Investama dan membangun kembali kepercayaan investor". Bagaimana ia adalah "contoh kepemimpinan yang beretika di tengah krisis".

Nama Elang disebut sekali. Hanya sekali. Di paragraf ketiga, sebagai catatan kaki: *"Elang Alghifari, pendiri sekaligus mantan CEO, kini menjalani hukuman 7 tahun penjara atas kasus korupsi dan penggelapan dana."*

Begitu saja. Tujuh tahun kerja keras, tujuh tahun membangun, tujuh tahun mimpi—dirangkum dalam satu kalimat yang membuatnya terdengar seperti penjahat kelas teri.

Media melupakan Elang. Atau lebih tepatnya, media dipaksa melupakan. Brian punya uang sekarang—banyak uang. Cukup untuk membayar redaksi agar tidak menyebut nama "Elang Alghifari" lagi. Cukup untuk mengubur kebenaran di bawah lapisan demi lapisan narasi yang sudah diatur.

Tapi Stella tidak lupa.

Dari balik layar, gadis muda itu bekerja dengan hati-hati seperti ahli bedah yang mengoperasi bom. Ia masih bekerja di Hartavira Group—dipindahkan dari marketing ke administrasi, posisi yang lebih rendah, gaji yang lebih kecil, tapi akses yang lebih luas ke dokumen internal.

Setiap malam, setelah kantor kosong, ia menyalin file. Email. Transaksi. Kontrak. Rekaman meeting. Ia menggunakan laptop lama yang tidak terhubung ke server perusahaan. Menyimpan semuanya di flash drive yang ia bawa dalam kalung—flash drive kecil menyamar sebagai liontin berbentuk hati.

Ia mencatat setiap pertemuan mencurigakan Brian. Setiap makan malam dengan pejabat yang seharusnya tidak berhubungan bisnis dengan Hartavira. Setiap transfer dana ke rekening offshore. Setiap jejak yang suatu hari bisa menjadi tali untuk menggantung orang yang ia tahu bersalah.

Dan ia menulis lagi.

Surat kedua datang tiga bulan kemudian. Lebih pendek. Lebih hati-hati.

*Pak,*

*Mereka menikah. Media memuji mereka. Tapi saya lihat retakan. Zara selingkuh dengan investor baru. Brian minum lebih banyak setiap minggu. Mereka tidak bahagia—mereka cuma menang.*

*Tapi menang tanpa kebahagiaan itu neraka versi lain, kan?*

*Dendam yang hidup lebih menakutkan dari yang mati. Jadi tetaplah hidup, Pak.*

*S.*

Elang membaca surat itu di hadapan Farrel. Pria tua itu mengangguk perlahan sambil menyedot rokok selundupan.

"Guardian angel," katanya, menepuk bahu Elang dengan tangan kasar yang penuh bekas luka. "Loe punya guardian angel, Elang. Nggak banyak orang se-beruntung itu. Manfaatkan."

"Gimana caranya?" Elang bertanya, meskipun ia sudah punya beberapa ide. "Gue masih di sini. Dia di luar sana. Gue nggak bisa komunikasi langsung."

"Belum," Farrel mengoreksi. "Loe belum bisa. Tapi loe punya waktu. Waktu untuk bersiap. Waktu untuk memastikan pas loe keluar, loe nggak keluar sebagai Elang lama yang naif dan lemah. Loe keluar sebagai... sesuatu yang lain."

"Sesuatu yang lain?"

Farrel menatapnya dengan mata tajam yang sudah melihat terlalu banyak kehancuran dan kebangkitan. "Monster yang mereka ciptakan. Tapi monster yang punya kontrol. Punya tujuan. Punya keadilan di satu tangan dan dendam di tangan lain. Dan di tengah-tengah... tetap punya hati yang cukup untuk mengingat kenapa loe berjuang."

Kata-kata itu mengendap seperti sedimen di dasar danau. Elang tidak langsung mengerti, tapi ia merasakannya. Di tulang. Di sumsum.

Tahun ketiga berjalan lebih cepat. Atau mungkin Elang yang berhenti merasakan waktu dengan cara normal. Hari-hari menjadi blur—latihan, belajar, bekerja, berencana. Surat dari Stella datang sporadis. Kadang sebulan sekali. Kadang tiga bulan. Tapi selalu datang. Selalu dengan informasi baru. Selalu dengan pengingat bahwa ia tidak sendirian.

Dan kemudian, tanpa peringatan, datang berita yang mengubah segalanya.

Sidang banding terakhir.

Elang tidak mengerti kenapa ada sidang banding—pengacaranya yang lama sudah berhenti menangani kasusnya (atau lebih tepatnya, diberhentikan oleh Brian dengan bayaran diam-diam). Tapi entah bagaimana, ada sidang. Ada hakim baru. Ada pengacara baru yang diklaim "dari lembaga bantuan hukum", meskipun Elang tidak pernah meminta.

Ia dibawa ke ruang sidang dengan borgol di tangan. Ruangan yang sama di mana ia dihukum tiga tahun lalu. Tapi kali ini, ia bukan orang yang sama. Pria yang berdiri di sana—berambut lebih panjang, lebih kurus tapi lebih keras, dengan mata yang pernah melihat dasar kegelapan dan memutuskan untuk tidak tenggelam—adalah versi berbeda dari Elang Alghifari yang masuk penjara.

Hakim membaca dengan suara monoton. Elang hampir tidak mendengar. Ia menatap langit-langit ruang sidang, memikirkan Stella, memikirkan Farrel, memikirkan semua yang ia pelajari.

"...dengan pertimbangan kelakuan baik dan masa tahanan yang sudah dijalani, kami memutuskan untuk mengurangi hukuman menjadi 3 tahun."

Dunia berhenti.

Tiga tahun. Bukan tujuh. Tiga. Yang berarti... ia sudah menjalani dua tahun setengah. Yang berarti...

"Terdakwa akan dibebaskan dalam 6 bulan."

Enam bulan.

Angka itu bergema di kepala Elang seperti lonceng katedral. Enam bulan. Setengah tahun. Seratus delapan puluh hari.

Ia tidak merasakan kebahagiaan. Bukan seperti yang orang mungkin bayangkan—bukan lompatan, bukan teriakan, bukan air mata syukur. Ia hanya merasakan... klik. Seperti puzzle terakhir yang jatuh ke tempatnya. Seperti senjata yang selesai dirakit. Seperti predator yang akhirnya diberi tahu bahwa kandang akan dibuka.

Ia tersenyum.

Senyum tipis. Nyaris tidak terlihat. Tapi siapa pun yang memperhatikan—sipir, pengacara, bahkan hakim—akan merasa dingin menyusur tulang belakang jika mereka melihatnya. Karena itu bukan senyum kelegaan. Itu senyum orang yang punya rencana. Senyum orang yang sudah menunggu terlalu lama dan akhirnya diberi izin untuk bertindak.

Malam itu, di sel 12B, Elang berbaring di kasur tipis yang sudah ia hafal setiap gumpalan kapuknya. Ia menatap langit-langit berjamur—teman lamanya—dengan senyum yang sama.

Bibirnya bergerak, membentuk kata-kata tanpa suara:

*Tunggu aku, Brian.*

*Tunggu aku, Zara.*

*Enam bulan lagi.*

*Dan kalian akan belajar bahwa mengubur orang hidup-hidup itu kesalahan terbesar.*

*Karena yang terkubur bisa menggali jalan keluar.*

*Dan ketika mereka keluar... mereka membawa tanah kubur untuk kuburan baru.*

Di sudut sel, bayangan Farrel muncul—pria tua itu sudah mendapat kabar.

"Enam bulan," katanya pelan.

"Enam bulan," Elang mengulang.

"Loe siap?"

Elang menoleh. Mata mereka bertemu. Di mata Elang, Farrel melihat sesuatu yang membuatnya—pria yang sudah lima belas tahun di penjara, yang sudah melihat segala macam kegelapan manusia—merinding.

Api. Tapi bukan api yang membakar sembarangan. Api yang terkontrol. Api yang tahu persis apa yang ingin ia konsumsi.

"Gue lebih dari siap," jawab Elang. "Gue sudah mati sekali. Sekarang waktunya mereka yang merasakan kematian."

---

**[Bersambung ke Bab 4]**

1
Dessy Lisberita
aku kok suka nya elang sama. stella ya thoor
Dri Andri: sayangnya elang udah jatuh cinta sama anya
total 1 replies
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: oke simak terus yaa
total 1 replies
Rizky Fathur
hancurkan Brian Thor sehancur hancur Thor bongkar semua kebusukannya Brian Thor jangan bikin elang naif memaafkan Brian pas Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang berbisik kepada Brian Brian keluargamu bagiamana bikin di sini Brian sampai memohon jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli Dan tertawa jahat Thor hahahaha
Dri Andri: perlahan aja ya😁k
total 2 replies
Rizky Fathur
Thor cepat bongkar kebusukan Brian Thor bikin elang kejam kepada musuhnya musuhnya bantai Sampai ke akar akarnya bersihkan nama baiknya elang Thor bikin di sini sifatnya jangan naif Thor
Rizky Fathur
cepat bantai Brian dengan kejam Thor bongkar semua kebusukannya ke media Thor bikin elang bersihkan namanya Dan Ambil lagi semua hartanya bikin elang tuntut balik orang yang melaporkannya dulu Dan yang memfitnahnya dulu dengan tuntutan puluhan milyar bikin elang kejam kepada musuhnya Thor kalau perlu tertawa jahat dan kejam berbicara akan membantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya kepada elang bikin elang tertawa jahat hahahaha Brian aku tidak perduli habis itu pukulin Brian sampai pingsan
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: gaskeun
total 1 replies
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya seru cepat buat elang Ambil kembali asetnya bongkar kebusukan Brian bikin elang kejam Thor sama Brian bilang akan bantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang tertawa jahat Thor
Rizky Fathur: bikin elang kejam Thor bongkar kebusukan Brian ke media bersihkan nama baiknya elang Thor bikin elang tuntut balik yang memfitnahnya Dan menjebaknya itu dengan tuntutan berapa ratus Milyar Thor
total 2 replies
Dessy Lisberita
bangkit lah elang
Dessy Lisberita
jngan terlalu percaya sama saudara ap lagi sama orang asing itu fakta
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya bikin elang menang bikin Jefri kalah Thor kalau perlu Hajar Jefri sampai luka parah
Dri Andri: gas bro siap lah perlahan aja ya makasih udah hadir
total 1 replies
Kisaragi Chika
bentar, cepat banget tau2 20 chapter. apa datanya disimpan dulu lalu up bersamaan
Dri Andri: hehehe iyaa
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!