Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 CEMBURU BUTA.
Malam itu, lampu-lampu neon berkelap-kelip menerangi salah satu klab malam paling elit di pusat kota. Musik menghentak, suara dentingan gelas bercampur dengan tawa para pengunjung. Di salah satu area VIP, Alya duduk anggun dengan gaun hitam berpotongan sederhana namun memikat. Di sampingnya, Dinda setia menemani sambil sesekali memantau suasana.
Di hadapan Alya, seorang pria berusia awal 30-an duduk dengan sikap penuh wibawa. Dialah salah satu rekan bisnis potensial yang akan melakukan kerja sama dengan perusahaan Alya. Percakapan mereka serius, penuh strategi, namun sesekali pria itu melemparkan pujian terselubung.
Alya tersenyum kecil, tetap menjaga batas. Ia paham betul bagaimana menjaga citra dirinya di hadapan rekan bisnis, apalagi di tempat yang penuh godaan seperti ini.
Namun tanpa mereka sadari, sepasang mata tajam memperhatikan dari kejauhan.
Arga.
Langkahnya terhenti ketika melihat Alya tertawa kecil mendengar candaan pria itu. Hatinya langsung tersulut api cemburu. Ia tak bisa menerima pemandangan itu Alya, wanita yang baru saja mengisi kembali hidupnya, kini tampak begitu akrab dengan pria lain.
Tanpa pikir panjang, Arga melangkah cepat mendekati meja. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras, matanya penuh amarah.
“Alya.” Suaranya terdengar tajam menusuk, membuat pria di depan Alya ikut menoleh dengan heran.
Alya terkejut, tapi cepat menguasai diri. “Arga? Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya tenang.
Arga tidak menjawab. Dengan kasar, ia menarik tangan Alya hingga membuat kursinya bergeser sedikit.
“Kita perlu bicara. Sekarang,” ucapnya dingin.
“Astaga, Arga! Kamu tidak sopan.” Alya mencoba melepaskan tangannya, namun genggaman Arga terlalu kuat.
Pria rekan bisnis itu ikut berdiri, mencoba menengahi. “Tuan, ini tidak pantas. Kami sedang membicarakan kerja sama penting.” Tegurnya.
Namun Arga menatapnya dengan tajam, seolah memberi peringatan agar tak ikut campur.
“Kerja sama penting, ya? Atau kau hanya mencoba mendekati wanita yang bukan untukmu?” tuduh Arga sinis.
Alya sontak menoleh dengan mata membesar. “Arga! Jangan lancang. Ini urusan profesional, bukan seperti yang kau pikirkan.” Sanggah Alya.
Tapi Arga sudah terbakar cemburu. Di matanya, apa pun yang ia lihat malam itu hanya menyulut satu kesimpulan Alya sedang bermain-main dengan pria lain.
Dengan wajah menahan amarah, Arga menarik Alya menjauh dari meja, tak peduli tatapan para tamu klab yang kini memperhatikan mereka. Dinda, yang kaget melihat kejadian itu, segera berdiri dan mencoba mengejar, tapi langkah Arga terlalu cepat.
Alya menahan perih di pergelangan tangannya yang digenggam kuat. “Lepaskan aku, Arga! Kau tidak punya hak memperlakukanku seperti ini!”
Arga menoleh, wajahnya begitu dekat hingga Alya bisa merasakan hembusan napasnya. “Tidak punya hak? Aku yang semalam bersamamu, tidur bersama, mandi bersama bahkan kita saling berbagi keringat, Alya. Kau pikir aku bisa diam melihatmu duduk manis dengan pria lain?”
Plak..
Satu tamparan mendarat di pipi Arga. Alya menatap balik dengan mata penuh amarah bercampur dingin. Senyum tipisnya muncul, namun kali ini bukan senyum manis melainkan senyum penuh peringatan.
“Hati-hati dengan ucapanmu, Arga. Jangan sampai kau menyesal karena sudah salah menilai aku.”
Untuk sesaat, Arga terdiam. Tatapan itu tajam, penuh misteri membuat hatinya bimbang. Namun rasa cemburu masih menguasai logika.
Di lorong menuju parkiran klab, Arga masih menahan tangan Alya dengan kuat. Musik bising dari dalam perlahan meredup, berganti dengan suara langkah mereka yang terburu-buru.
“Alya, katakan padaku. Siapa pria itu?” tanya Arga dengan nada menekan. Rahangnya mengeras, matanya menatap penuh kecurigaan.
Alya menarik napas dalam, lalu menoleh dengan tatapan menusuk. “Dia rekan bisnisku. Dan seharusnya, seorang pria dewasa seperti kamu tahu cara membedakan urusan profesional dengan urusan pribadi.”
“Profesional?” Arga mendengus sinis. “Aku melihat cara dia menatapmu, Alya. Itu bukan tatapan rekan kerja. Dan kau… kau tampak terlalu nyaman duduk di depannya.”
Alya menahan senyum dingin. Di satu sisi, ia kesal karena Arga menuduh tanpa dasar. Tapi di sisi lain, ia tahu cemburu Arga adalah celah besar untuk memainkan perannya.
“Apa itu artinya… kau peduli padaku, Arga?” bisiknya lirih, namun penuh tantangan.
Arga terdiam sejenak. Sorot matanya yang penuh amarah berubah lebih dalam, seperti ada sesuatu yang bergejolak di baliknya. “Tentu aku peduli. Terlalu peduli sampai aku tak bisa diam melihatmu dengan laki-laki lain.”
Alya menahan napas. Kata-kata itu seakan panah yang tepat mengenai sasarannya. Tapi ia tidak boleh larut, tidak sekarang. Dengan senyum tipis, ia mendekat, jaraknya hanya sejengkal dari wajah Arga.
“Kalau begitu… buktikan. Jangan hanya dengan amarah, tapi dengan tindakan nyata.”
Arga terperangah. Jantungnya berdentum kencang.Namun saat kata-kata nyaris meluncur, Alya justru tersenyum dan berbalik, meninggalkan Arga tertegun.
“Aku harus kembali. Urusan bisnis tidak bisa menunggu hanya karena kau cemburu buta,” ucap Alya datar, lalu melangkah pergi.
Arga hanya berdiri di tempat, tangannya mengepal, hatinya berkecamuk. Antara ingin mengejar Alya atau membiarkannya pergi, tapi satu hal pasti malam itu membuatnya semakin yakin, ia tidak bisa lagi membiarkan Alya menjauh darinya.
Di kejauhan, Alya melangkah dengan senyum samar.
Bagus, Arga… teruslah terjerat. Semakin kau cemburu, semakin mudah bagiku memainkan permainan ini.