NovelToon NovelToon
Cinta Dibalik Heroin 2

Cinta Dibalik Heroin 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Obsesi / Mata-mata/Agen / Agen Wanita
Popularitas:280
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam dan Bayangan

​Malam sudah merangkak jauh. Pukul menunjukkan pukul 01.15 dini hari, tetapi lampu di gedung perkantoran tempat Rima bekerja masih menyala, menjadi satu-satunya titik terang di antara bangunan-bangunan yang sudah terlelap.

​Rima menatap tumpukan berkas setinggi gunung di mejanya. Sejak pukul delapan malam, keheninganlah yang menjadi teman kerjanya. Suara yang ada hanyalah desisan dingin dari pendingin udara sentral dan gesekan kertas yang ia bolak-balik di bawah sorot lampu meja yang menyilaukan. Udara di sekitarnya terasa tebal dan stagnan.

​“Hhh….”

​Rima menghela napas panjang, kuat, hingga bahunya merosot. Ia menyandarkan punggung ke kursi putar yang terasa keras. Matanya terpejam, mencoba mengusir kabut lelah yang mulai menariknya jatuh.

​Kring!

​Bunyi notifikasi dari ponselnya yang tergeletak di samping laptop sukses menyentaknya. Rasa kantuk itu langsung hilang, digantikan rasa bersalah yang menusuk.

​Andre (Suami): Sayang, udah pulang? Ini udah jam berapa. Apa gak dilanjut besok aja kerjaannya? Jangan sampai sakit.

​Rima menatap pesan itu. Wajah suaminya, yang pasti sedang menunggunya dengan mata setengah terpejam di rumah, langsung terbayang. Ia merasa seperti seorang istri yang gagal; mengkhianati waktu istirahat dan kebersamaan mereka demi lembaran kertas tak berujung ini.

​Tanpa pikir panjang lagi, Rima menutup cepat berkasnya. Menekan tombol shutdown pada laptopnya dan merasakan layar itu meredup, seolah menarik energi terakhir dari ruangan.

​Jari-jarinya menari di atas layar ponsel, membalas cepat:

​Rima: Aku bersiap-siap pulang, sayang. Tunggu aku ya.

​Ia bangkit, meraih tas kerjanya, dan meninggalkan ruangan hening itu.

......................

​Jalanan protokol utama sudah seperti urat nadi yang berhenti berdenyut. Kendaraan yang melintas hanya hitungan jari. Di dalam mobilnya, Rima memutar musik upbeat dengan volume cukup keras. Ia berusaha melawan sisa-sisa kantuk yang masih menempel dengan ikut bergumam, sesekali memukul pelan setir mobilnya.

​Saat melewati sebuah persimpangan sepi, mata Rima tak sengaja melirik ke spion tengah. Sebuah sepeda motor sport hitam, dengan dua pengendara berjaket dan helm gelap, tampak melaju konstan di belakangnya.

​"Mungkin searah," gumamnya, mencoba berpikir positif.

​Namun, setelah beberapa blok dan beberapa kali belokan, motor itu tetap di posisi yang sama: tepat di belakangnya, menjaga jarak yang ganjil. Sebuah firasat dingin mulai merayapi tengkuknya. Ini bukan sekadar searah.

​Rima memutuskan untuk menguji. Ia menekan pedal gas, mobilnya melaju kencang, menembus batas kecepatan. Motor itu? Mereka juga menambah kecepatan, tetap menjadi bayangan setia di kaca spion.

​Mereka mengikutiku.

​Jantung Rima berdebar lebih cepat. Ia seharusnya mengambil jalan lurus yang langsung menuju kompleks perumahannya. Tapi ia segera memutar setir, berbelok tajam ke kanan, menuju kawasan komersial yang lebih ramai – atau setidaknya, seharusnya lebih ramai.

​Motor itu segera menyusul, berbelok di tikungan yang sama. Dugaan Rima terkonfirmasi.

​Ia mencari titik aman. Matanya tertuju pada sebuah mini market 24 jam yang lampunya masih terang benderang. Rima membanting setir, mobilnya berhenti mendadak di depan minimarket tersebut.

​Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga ekspresi wajahnya agar terlihat normal. Saat ia melirik spion samping, motor hitam itu berhenti, sekitar 50 meter di belakangnya, terselip di balik gerobak penjual nasi goreng yang sudah tutup.

​Rima turun dari mobil, mengunci pintu dengan tenang, dan berjalan cepat masuk ke minimarket seolah hanya ingin membeli sebotol air.

​Di dalam, ia mengambil sebotol minuman energi dan pura-pura memeriksa rak camilan. Namun, pandangannya tertuju pada jendela kaca depan. Dua pria itu—masih di atas motor, helm mereka sedikit menunduk. Mereka tidak masuk. Mereka hanya menunggu.

​Di balik rak keripik, Rima merogoh ponselnya. Ia mengaktifkan mode kamera dan dengan cepat membidik dua sosok mencurigakan itu, mengambil dua jepretan buram sebelum buru-buru menyembunyikannya.

​Tiba-tiba, salah satu dari mereka, yang duduk di belakang, menoleh ke arah kaca minimarket. Pandangan Rima dan pria itu bertemu, meskipun terhalang kaca dan helm.

​Ketegangan itu pecah. Pengendara motor segera menyalakan mesin. Dengan raungan keras, mereka melesat pergi, menghilang di tikungan jalan.

​Rima berdiri membeku di balik rak, sebotol minuman di tangannya terasa sangat dingin. Siapa mereka? Dan kenapa mereka mengikutiku?

......................

​Rima memasuki kamarnya. Lampu tidur di nakas memberikan cahaya remang-remang yang lembut, menyambutnya dengan suasana damai yang kontras dengan kejadian di jalan. Ia yakin Andre sudah tidur nyenyak. Ia menatap siluet suaminya yang meringkuk di bawah selimut tebal, sejenak rasa lega menyelimuti dirinya. Setelah membersihkan diri dengan cepat, Rima naik ke tempat tidur, berusaha sehalus mungkin.

​Namun, Andre adalah tipe yang selalu peka.

​Ia merasakan pergerakan di sisi tempat tidur, dan perlahan kelopak matanya terbuka. Tepat di hadapannya, Rima sudah berbaring sambil menatapnya.

​“Sayang…” panggil Andre dengan suara serak khas bangun tidur. Ia segera merapatkan tubuhnya, menarik Rima ke dalam pelukan hangat yang erat.

​“Aku mengganggu tidurmu,” bisik Rima.

​Andre menggelengkan kepalanya, menghirup aroma sabun segar dari rambut istrinya. “Nggak. Senang kamu udah di sini.” Ia mengeratkan pelukan. “Selamat tidur, Sayang.”

​Rima membalas pelukannya, merasakan kehangatan yang mendamaikan. Namun, saat memejamkan mata, bayangan dua helm gelap dan raungan motor itu kembali muncul. Ia tidak menceritakan apapun. Malam ini, ia hanya ingin menikmati rasa aman ini.

......................

​Beberapa menit setelah berpapasan dengan kakak iparnya di tangga bawah, Feni baru saja naik ke kamarnya. Wajah Rima tampak sangat pucat dan lelah.

​Feni berbaring di tempat tidurnya, namun pikirannya tak tenang. Ia teringat pada artikel-artikel sensitif yang pernah ia lihat di laptop Rima beberapa minggu lalu, tentang sindikat besar yang Rima coba bongkar. Meskipun Rima sudah melarangnya untuk ikut campur atau khawatir, Feni tidak bisa mengabaikan perasaannya. Firasatnya tidak enak.

​Ia meraih ponselnya.

​Feni: Erlang.

​Pesan itu ia kirim pada tunangannya, berharap pemuda itu belum tidur.

​Erlang: Ya sayang, kamu belum tidur? Kenapa?

​Feni: Kak Rima baru pulang. Jam segini.

​Erlang: Rima mungkin lembur, jangan khawatir. Pekerjaan dia memang terkadang sangat sibuk. Kamu tahu kan, dia sering mengurus kasus-kasus sensitif.

​Feni: Tau…

​Erlang: Sekarang tidur ya, jangan overthinking. I love you.

​Feni: Love u too.

​Feni tahu, baik Erlang maupun Rima memang sibuk. Tapi Feni juga tahu bagaimana perasaannya bekerja. Ini lebih dari sekadar kekhawatiran biasa. Ia yakin, kali ini, Rima sedang dalam bahaya.

​Tiba-tiba, di meja nakas kamar Rima—tepat di samping ponsel Rima yang sedang diisi dayanya—terdapat sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal. Layar ponsel menyala, memancarkan cahaya biru dingin.

​+62 811 XXXX XXXX: Saya punya file-nya

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!