sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hal yang Akhirnya Terucap
Bintang baru saja menutup laptop ketika ponselnya bergetar.
Nama Bio muncul di layar.
Ia terdiam sejenak sebelum menjawab. Sudah beberapa hari ini Bio terasa berbeda—lebih pendiam, lebih sering tersenyum singkat lalu mengalihkan pandangan. Bintang tidak tahu persis apa yang berubah, hanya merasa ada jarak tipis yang perlahan tumbuh di antara mereka.
“Halo?” suara Bintang lembut.
“Aku bisa ketemu sebentar?” tanya Bio di seberang sana. Nadanya tenang, tapi Bintang bisa menangkap sesuatu yang lebih berat di baliknya.
“Sekarang?”
“Iya… kalau kamu nggak capek.”
Bintang melirik jam. Sudah hampir malam. Tubuhnya lelah, pikirannya penuh, tapi ada sesuatu dalam suara Bio yang membuatnya langsung mengangguk.
“Aku mau,” jawabnya. “Di mana?”
Mereka bertemu di taman kecil tak jauh dari rumah Oma. Lampu-lampu taman menyala temaram, angin malam berembus pelan membawa aroma tanah basah sisa hujan sore tadi.
Bio sudah duduk di bangku kayu ketika Bintang datang.
“Kamu nunggu lama?” tanya Bintang sambil duduk di sampingnya.
Bio menggeleng. “Baru juga.”
Hening menyusup di antara mereka. Bukan hening yang canggung, tapi hening yang penuh kata-kata tertahan.
Bio menautkan jemarinya sendiri, menatap ke depan. “Bintang… aku mau jujur.”
Bintang menoleh, menatap wajah pria yang ia cintai itu. “Aku dengerin.”
Bio menghela napas panjang, seolah sedang mengumpulkan keberanian. “Aku cemburu.”
Kalimat itu keluar sederhana, tanpa nada tinggi, tanpa tuduhan.
Bintang terdiam.
“Bukan karena aku nggak percaya kamu,” lanjut Bio cepat, seolah takut disalahpahami. “Aku percaya. Sama kamu. Selalu.”
Ia menoleh, menatap Bintang langsung. Matanya jujur, rapuh.
“Tapi aku ngerasa… aku tertinggal. Kamu sekarang ada di dunia yang beda. Kerjaanmu berat, lingkunganmu berubah. Dan Satya…”
Ia berhenti sejenak, menelan ludah. “Dia selalu ada di sana. Ngerti ritme kerjamu. Sementara aku cuma bisa nunggu cerita kamu pulang dengan wajah capek.”
Bintang merasakan dadanya menghangat, bercampur perih.
“Kenapa kamu nggak ngomong dari awal?” tanyanya pelan.
Bio tersenyum kecil, getir. “Karena aku takut. Takut kamu mikir aku posesif. Takut kamu ngerasa aku nggak percaya.”
Bintang menggeleng pelan.
Ia meraih tangan Bio.
Sentuhan itu membuat Bio menegang sesaat sebelum akhirnya membiarkan jari-jari mereka saling menggenggam.
“Aku nggak pernah mikir gitu,” kata Bintang lembut. “Aku cuma… nggak nyadar kamu ngerasa sejauh itu.”
Bio menunduk. “Aku salah karena milih diam.”
“Iya,” Bintang mengangguk kecil. “Tapi aku juga salah karena terlalu sibuk sampai lupa nanya perasaan kamu.”
Ia menggeser tubuhnya sedikit lebih dekat. “Satya itu temanku. Partner kerja. Nggak lebih.”
Bio mengangkat wajahnya.
“Yang aku pulangin itu kamu,” lanjut Bintang. “Yang aku cari pas capek itu kamu. Kalau aku cerita soal dia, itu karena aku nganggep kamu rumah. Tempat aku cerita apa aja.”
Bio menatapnya lama, seolah sedang mencerna setiap kata.
“Maaf kalau aku bikin kamu ngerasa nggak cukup,” ucap Bintang lirih. “Padahal dari awal… kamu selalu cukup buat aku.”
Bio merasakan sesuatu mengencang di dadanya—emosi yang selama ini ia tahan akhirnya runtuh.
Ia menarik Bintang ke dalam pelukannya.
Pelukan itu erat, hangat, seperti jawaban dari semua ketakutan yang sempat tumbuh di kepalanya.
“Aku cinta kamu,” bisik Bio di rambut Bintang.
Bintang memejamkan mata. “Aku juga. Dan aku butuh kamu bilang kalau kamu ngerasa sakit. Jangan dipendem sendiri.”
Bio mengangguk, dagunya masih bersandar di kepala Bintang.
Ia menggeser sedikit, lalu mengangkat wajah Bintang dengan lembut. Jempolnya mengusap pipi gadis itu, gerakan yang penuh kehati-hatian.
“Boleh aku cium?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.
Bintang tersenyum kecil. “Kamu nggak perlu nanya.”
Bio tertawa pelan sebelum akhirnya mendekat.
Ciuman itu lembut, tidak terburu-buru. Seperti janji diam-diam bahwa mereka masih memilih satu sama lain, meski dunia di sekitar terus berubah.
Saat mereka berpisah, Bio menyandarkan keningnya di kening Bintang.
“Aku bakal belajar ngomong,” katanya. “Walaupun takut.”
Bintang tersenyum. “Aku bakal belajar lebih peka. Walaupun capek.”
Mereka tertawa kecil bersama.
Malam itu, di bawah lampu taman yang redup, tidak ada lagi rasa tertinggal. Hanya dua orang yang memilih bertahan—dengan kejujuran, dan cinta yang masih sama.
...****************...