NovelToon NovelToon
Faded Lust

Faded Lust

Status: sedang berlangsung
Genre:Slice of Life / Penyesalan Suami / Selingkuh / Cintapertama / Tamat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.

Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.

Lukisan itu baru. Sangat baru.

Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.

Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.

Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Awal Kehidupan Baru

Beberapa minggu setelah perceraian, Luna mulai menata hidupnya kembali. Ia pindah ke apartemen kecil, lebih dekat dengan rumah sakit tempat ia bekerja. Setiap pagi, Nathan selalu menelpon atau mengirim pesan untuk memastikan Luna makan dengan baik dan istirahat cukup.

Luna menemukan kekuatan baru. Ia belajar tersenyum lagi, meski hati kecilnya masih menyimpan bekas luka dari Halden. Setiap kali ia merasa rapuh, Nathan selalu ada—menjadi sandaran yang stabil, bukan pengganti cinta yang hilang, tapi sahabat sejati yang selalu siap menahan dirinya saat dunia terasa berat.

Suatu sore, ketika matahari mulai redup, Luna duduk di balkon, Nathan di sampingnya. Mereka menikmati teh hangat, membiarkan angin malam menerpa wajah mereka.

“Kalau kamu nggak ada di sini…” ucap Luna, suaranya lirih. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi padaku.”

Nathan tersenyum. “Kamu nggak perlu memikirkan itu. Aku nggak akan pergi. Kamu tidak perlu kuat sendiri.”

Luna tersenyum tipis. Ada rasa lega yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kehidupannya tidak sempurna, tapi setidaknya sekarang ia bisa bernapas tanpa kebohongan dan pengkhianatan yang menekan.

-------------------

Beberapa bulan kemudian, Halden mencoba menemui Luna di rumah sakit. Ia tampak hancur, lelah, dan penuh penyesalan.

“Luna…” suaranya rapuh. “Aku tahu aku kehilanganmu… tapi aku ingin anak kita… aku ingin melihat dia tumbuh.”

Luna menatapnya dingin. “Jangan mencoba menebus dengan kata-kata, Halden. Semua yang kamu lakukan punya konsekuensi. Aku sudah menata hidupku sendiri sekarang.”

Nathan berdiri di samping Luna, menatap Halden dengan tegas. “Kamu tidak berhak mengganggu hidupnya lagi. Setiap langkah kamu harus diperhitungkan. Jangan harap Luna akan kembali ke masa lalu yang penuh kebohonganmu.”

Halden menunduk, tahu bahwa kata-kata Nathan benar. Tidak ada jalan untuk kembali. Ia hanya bisa menerima kenyataan pahit bahwa cinta yang dulu ia abaikan kini sudah hilang.

------

Hari-hari Luna kini dipenuhi rutinitas yang menenangkan: bekerja, menjaga kesehatan, dan mempersiapkan kelahiran anaknya. Nathan selalu hadir—mengantarkan sarapan, menemaninya ke dokter, bahkan menemaninya menatap langit saat malam tiba.

Kehidupan Luna tidak lagi tentang kebohongan atau pengkhianatan. Ia belajar tersenyum, tertawa, dan memandang masa depan dengan mata yang lebih jernih. Nathan tetap di sisinya, tidak pernah menuntut lebih, hanya memberikan keberadaan yang membuat Luna merasa aman.

Pada suatu malam, ketika perutnya mulai bergerak lembut, Luna merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sejak awal kehamilan. Ia menatap Nathan, yang duduk di sisi tempat tidurnya, menatapnya penuh perhatian.

“Terima kasih,” ucapnya. “Aku merasa… aku bisa melahirkan bukan hanya seorang anak, tapi juga kehidupan baru untukku sendiri.”

Nathan tersenyum. “Dan aku akan ada setiap langkah. Kamu nggak perlu takut. Kamu nggak sendiri lagi.”

Luna menutup mata, membiarkan rasa syukur dan kedamaian meresap. Ia tahu, masa lalu mungkin menghancurkan, tapi masa depan… bisa dibangun dari keberanian, kejujuran, dan cinta yang tulus.

Dan malam itu, di balkon apartemen kecilnya, Luna merasakan satu hal yang sederhana namun mendalam: meski dunia pernah hancur, hidup tetap berjalan. Dan kali ini, ia tidak akan pernah lagi kehilangan diri sendiri.

Kehamilan Luna memasuki bulan-bulan terakhir. Tubuhnya semakin mudah lelah, tapi hatinya jauh lebih tenang dibandingkan masa-masa awal ia meninggalkan Halden. Setiap perubahan kecil—tendangan bayi di tengah malam, napas yang terasa lebih pendek saat berjalan—selalu ada Nathan yang memperhatikan tanpa membuatnya merasa lemah.

Ia hafal kebiasaan Luna sekarang. Teh jahe di pagi hari. Buah potong yang selalu ia siapkan di kulkas. Musik lembut yang diputar Nathan setiap kali Luna sulit tidur. Semua dilakukan tanpa kata-kata besar, tanpa janji yang berlebihan. Kehadirannya seperti udara—tidak terlihat, tapi mutlak dibutuhkan.

Suatu pagi, Luna terbangun dengan punggung yang terasa nyeri. Ia belum sempat bangkit ketika Nathan sudah muncul di ambang pintu kamar.

“Aku dengar kamu gelisah semalaman,” katanya pelan sambil membawa bantal tambahan. “Coba pakai ini buat sandaran.”

Luna tersenyum kecil. “Kamu ini kayak alarm hidup.”

Nathan terkekeh. “Tugas penting.”

Mereka duduk berdampingan di tepi ranjang. Luna menghela napas panjang, menatap jendela yang diterpa cahaya pagi. Ada kalanya rasa takut masih datang—takut akan masa depan, takut tak cukup kuat menjadi ibu. Tapi setiap kali perasaan itu muncul, ia hanya perlu menoleh, dan Nathan selalu ada di sana.

---

Di tempat lain, Halden mencoba menjalani hidup yang katanya “baru”.

Ia tinggal bersama Karina di sebuah rumah yang jauh dari lingkungan lamanya. Karina berusaha keras menciptakan kehidupan yang stabil—mengatur rumah, memasak, dan mencoba menjadi pasangan yang pengertian. Dari luar, mereka tampak seperti keluarga yang akhirnya menemukan jalannya.

Namun hanya Halden yang tahu betapa sunyinya malam-malamnya.

Ia sering terbangun dini hari, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang kembali pada Luna. Pada tawa kecilnya. Pada caranya memandang dunia dengan jujur. Pada kehamilan yang seharusnya ia jaga, bukan ia hancurkan dengan pengkhianatan.

Karina pernah menyadari jarak itu.

“Kamu masih memikirkannya, ya?” tanya Karina suatu malam, suaranya datar namun lelah.

Halden terdiam lama sebelum menjawab. “Aku menyesal,” katanya akhirnya. “Bukan karena aku kehilangan Luna… tapi karena aku menyadari terlalu terlambat siapa yang sebenarnya kucederai.”

Karina menoleh, menatapnya dengan mata yang menyimpan luka sendiri. Ia memilih tetap tinggal, tapi ada sesuatu yang retak dan tak bisa disangkal. Cinta yang dibangun di atas kehancuran orang lain tidak pernah benar-benar kokoh.

---

Sementara itu, dunia Luna terus bergerak perlahan, tapi pasti.

Nathan menemani setiap kontrol ke dokter, mencatat jadwal, bertanya detail yang bahkan Luna sendiri lupa. Saat dokter menyebut bahwa kondisi bayi sehat, Nathan tersenyum lebih lebar dari Luna sendiri.

“Kamu dengar?” katanya sambil berjalan keluar ruang periksa. “Dia baik-baik saja.”

Luna mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu… aku bisa merasakannya.”

Suatu sore, hujan turun deras. Listrik sempat padam, dan apartemen kecil itu hanya diterangi cahaya lilin. Luna duduk di sofa, selimut menutupi bahunya. Nathan duduk di lantai, bersandar di sofa, membacakan buku dengan suara pelan—bukan untuk bayi, tapi untuk menenangkan Luna.

“Aneh ya,” kata Luna tiba-tiba. “Aku nggak pernah menyangka hidupku akan seperti ini.”

Nathan menoleh. “Dan kamu menyesal?”

Luna menggeleng. “Tidak. Aku terluka… tapi aku utuh. Itu hal yang berbeda.”

Nathan tersenyum, matanya penuh ketenangan. Ia tidak pernah meminta tempat lebih dalam dari yang Luna izinkan. Tidak pernah memaksa masa depan. Ia hanya berdiri di sana, setia, konsisten.

Dan bagi Luna, itu lebih dari cukup.

Ia belum melahirkan. Jalan di depannya masih panjang. Tapi untuk pertama kalinya, Luna tidak merasa sendirian menghadapi apa pun. Masa lalu mungkin masih menyisakan bayangan, namun kini ia berjalan dengan kepala tegak—ditemani seseorang yang memilih tinggal, bukan karena kewajiban, melainkan karena ketulusan.

Dan itu, bagi Luna, adalah awal kehidupan baru yang sesungguhnya.

1
Telurgulung
lanjut atau end disini aja?
Yunie
akhirnya bisa bahagia... lanjut thor
Yunie
sedihnya jadi Luna
Yunie
alurnya menarik
Yunie
makin menarik
Siti M Akil
lanjut Thor
ayu cantik
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!