Athaya, seorang gadis mungil yang tinggal di pelosok desa. Berlari tunggang langgang kala ketahuan mencuri mangga tetangganya.
"Huuu dasar tua bangka pelit! Minta dikit aja gaboleh!" sungutnya sambil menatap jalanan yang ia tapaki tadi—menjauhi massa penduduk yang mengejarnya.
Athaya adalah gadis desa yang hidup sebatang kara di tengah masyarakat yang menganut budaya nepotisme.
Dimana, mereka lebih memikirkan kerabatnya, daripada orang susah yang ada di sekitarnya. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat Athaya untuk bertahan hidup.
Sampai akhirnya, ia mengalami hal di luar nalar saat masuk ke hutan. Ia masuk ke dalam portal misterius dan berakhir masuk ke dalam tubuh seorang selir yang sedang di siksa di tengah aula paviliun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mur Diyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3 Semakin kau menolak. Semakin aku ingin menjeratmu, Selir Elise
Malamnya. Putra mahkota Elios Feng berjalan dengan tergesa ke arah paviliun anggrek plum. Dimana, disitu tempat Selir Elise Yunyi berada.
Langkahnya bergema, menghempaskan debu-debu yang menempel di atas paving paviliun.
Satu belokan lagi. Ia akan sampai di gerbang utama paviliun tempat Selir Elise berada. Entah mengapa, hatinya terus berkecamuk.
Dulunya, ia paling anti untuk datang. Selalu Elise yang berinisiatif sendiri mendatangi dirinya di Istana Timur. Namun sekarang, seolah seluruh gengsi di dalam hatinya meluruh. Seolah perubahan Elise, sangat mengganggu dirinya.
Baru saja ia memasuki gerbang paviliun anggrek plum, ia melihat Selir Elise sedang mengobrol dengan seorang laki-laki diatas jembatan melengkung dekat danau.
Terdengar tawa mereka sangat nyaring. Seolah mereka berdua sudah dekat dari lama.
"Apa-apaan dia, setelah mengacuhkanku, sekarang dia mengobrol sambil tertawa dengan Pangeran Leon Feng?!" geramnya emosi.
Sementara Selir Elise dan Pangeran Leon sama sekali tak mendengar langkah Elios mendekat. Seolah pembicaraan mereka jauh lebih penting daripada memperdulikan orang lewat.
"Hahh beneran? Besok malam ada festival bulan merah?!" pekik Elise membulat tak percaya.
Pangeran Leon mengangguk antusias. "Tentu saja, jadi...apakah Selir Elise mau pergi bersamaku?" tanyanya—mengulas senyum tipis.
"Tentu sa—"
"Mengobrol berdua dengan adik suami di malam-malam begini, dimana letak harga dirimu, Selir Elise?!" pekik Elios menggebu.
Tangannya mengepal erat dengan dada membusung menahan diri. Menatap selir dan adiknya berduaan di dalam paviliun. Itu benar-benar membuatnya merasa terhina.
Leon Feng sudah pucat pasi sekarang. Berbeda dengan Selir Elis yang memilih acuh. Boro-boro mendengarkan, menatap pun enggak.
"Udah malam, pangeran. Sebaiknya anda pulang ke tempat anda. Tentang tadi, kita obrolin besok lagi aja." ucap Elise menghiraukan Elios.
Leon yang semula gagap pun mengangguk. "Ba-baiklah, aku pergi dulu, Selir Elise." ucap Leon mengangguk hormat. Lalu berjalan melewati sang kakak dengan perasaan gugup.
Andai ia bukanlah seorang putra mahkota, mungkin sudah Ia hajar Leon sedari tadi.
Merasa sudah tak ada hal yang penting. Selir Elise pun segera beranjak pergi berlawanan dengan Elios.
Namun langkahnya terhenti kala tiba-tiba Elios mencengkram lengan kirinya. Membuatnya refleks menoleh dan menatap benci lelaki yang menyandang status sebagai suaminya itu.
"Apalagi?!" serunya—langsung menepis tangan Elios kasar.
Lelaki itu membatu di tempat. Menatap nanar selir yang dulu selalu menatapnya dengan kasih sayang. Namun kini, tatapan itu kian menghilang. Berganti dengan tatapan benci dan penuh dendam.
"Kenapa kamu berubah?" tanya Elios lirih.
Elise terdiam beberapa saat. Perasaan sang pemilik tubuh asli satu demi satu mulai kembali menyusup ke dalam otaknya. Ia menatap Elios dingin. Fikirannya seolah memutar kembali memori saat Elise asli memohon cinta Elios.
*
"Elioss, aku mohon cintai aku sekali.....aja!" seru Elise. Dimana saat itu mereka sedang berlatih kuda bersama atas permintaannya kepada sang kaisar.
Elios menatap Elise penuh kesal. "Apa kamu tidak dengar?! Berapa kali aku bilang, yang aku cintai hanyalah Elara, Elise! Elara! Jadi kamu harusnya sadar diri tempatmu dimana!" teriaknya—setelah sekian lama menahan muak dengan tingkah Elise yang selalu caper padanya.
Tatapan Elise yang semula penuh harap kian berubah nanar. Bibirnya mengulum senyum pahit, mengangguk lemah sambil meremat ujung baju berkuda miliknya.
Ia merunduk dengan air mata yang menitik. Lalu mendongak penuh semangat. "Aku tidak perduli, Elios!! Apa kamu tak memikirkan sedikitpun tentang perasaanku?! Apa kamu tak melihat pengorbananku selama ini?! Padahal aku sudah berkorban menyelamatkanmu dari serangan begal gunung! Apa kamu—!!!"
"Apa aku memintanya, Elise?! Jelas-jelas disitu aku ingin menyelamatkan Elara. Kamu sendiri yang memilih melukai dirimu sendiri! Aku tidak menyuruhmu, bukan?!" pekiknya—melempar pedang yang sedari tadi ia genggam saking kesalnya.
Elise merunduk lagi. Tangannya mengepal erat mendengar fakta yang keluar dari bibir Elios.
"Ja-jadi, waktu itu kamu ingin menolong Elara, tap-tapi aku justru mengorbankan diriku sendiri demi kalian, dan—"
"Udah sadar sekarang? Otakmu udah ngga bodoh lagi buat mencerna situasi kan, Elise?!" serunya. Menatap benci Elise yang merunduk di depannya. "Kamu tak lebih seperti lalat yang terus menggangguku, Elise." imbuhnya—berbalik meninggalkan Elise yang berdiri mematung, dengan air mata yang kian mengalir menatap tanah.
"Harus dengan cara apa lagi agar kamu melirik ke arahku, Elios? Aku hanya ingin kau menghargai ku sekali....saja. Aku cuma ingin merasakan rasanya dicintai olehmu." lirihnya dengan suara yang tercekat.
Ia perlahan mendongak. Dan matanya semakin membulat kala melihat Elios. Membawa Elara ke dalam pangkuannya, dan mencium pipi wanita itu penuh mesra.
Ia hanya bisa berdiri terdiam, menatap nanar kedua pasangan disana dengan air mata yang kian deras berlinang. Sementara Elara yang melihat Elise menyedihkan seperti itu, membuat senyumnya semakin merekah—puas.
Elios sama sekali tak merasa bersalah. Dengan teganya ia melakukan hal seperti itu di depan Elise. Jangankan menoleh. Menatapnya pun ia enggan.
*
"Elise." panggilan lirih dari Elios sontak membuat lamunan Elise memudar.
Matanya mengerjap lirih untuk menetralkan suasana. Dan betapa bencinya ia kala yang dilihatnya pertama kali justru sosok orang yang selama ini paling ia benci.
Elios. Sama seperti ayah Athaya yang membiarkan dirinya hidup sebatang kara di tengah masyarakat yang toxic.
Ibunya yang meninggal karena kangker. Membuat Athaya semakin membenci lelaki karena saat itu, bukannya ayahnya membawa ibunya ke klinik terdekat. Justru malah sibuk dugem dan pesta miras bersama wanita obralan.
Elise meludah ke samping. Membuat para pengawal Elios mengeluarkan pedang dari sarungnya. Bagaimanapun, tindakan Selir Elise sangat tidak patut untuk diperlihatkan.
"Jangan pernah muncul di depanku lagi, Elios! Aku akan meminta perpisahan kita kepada Yang Mulia Kaisar. Lagian, aku juga sudah muak dan tak ingin lagi diperlakukan seperti budak olehmu!" Teriaknya, menunjuk wajah Elios dengan jari telunjuknya.
Bukannya menyesal dan merasa bersalah. Elios justru emosi melihat perlawanan Elise. Selama ini, tidak pernah tidak ada yang berhasil ia dapatkan.
Wanita manapun pasti akan memujanya. Bahkan pendaftaran selir masih mengantri hingga ke ujung gerbang.
Lalu sekarang? Ia di tolak bahkan dihina habis-habisan oleh orang yang dulu sangat gemar mengejarnya? Jangan ditanya seberapa merasa terhinanya ia sekarang.
Ia kembali mencengkram lengan Elise—kali ini lebih kuat. Hingga Selir Elise meringis kesakitan kala mencoba untuk melepaskan cengkraman Elios.
"Lepasin aku, Elios!!" Teriaknya, berusaha melepaskan cengkraman Elios dengan tangan satunya.
Namun bukannya melepaskan. Lelaki itu justru langsung meraih pinggang Elise dan mengangkat tubuh gadis itu hingga bertengger di bahunya.
"Kau ingin tidur denganku bukan? Jadi jangan banyak drama pakai menjauh segala. Trikmu kali ini tidak akan mempan padaku!" ucapnya dingin. Berbalik membawa Elise menuju kamar miliknya.
"Lepasin aku, siapa yang ingin tidur denganmu siapa, dasar bajingan!!" teriak Elise berusaha untuk turun dari bahu Elios.
"Malam ini, aku turuti permintaanmu kemarin-kemarin. Jadi diam dan nikmatilah!"
"permintaan apa, sialan!! Dasar Elios brengsek!! Lepasin!!"