NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:958
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3: Keluarga Steel

Setelah memacu kendaraannya cukup lama meninggalkan gedung apartemennya, akhirnya Zevian tiba di kediaman orang tuanya. Sebuah rumah megah berdiri dengan anggun di tengah kawasan elit, didesain modern dengan dominasi warna putih bersih yang menonjolkan kesan elegan dan mewah. Pilar-pilar besar menjulang kokoh di bagian depan, seolah menjadi lambang kekuasaan dan kestabilan keluarga Steel. Kaca-kaca berukuran besar menghiasi beberapa sisi bangunan, memantulkan cahaya matahari siang yang hangat, sementara air mancur berbentuk klasik mengalir pelan di halaman depan, menambah kesan kemewahan dan keanggunan rumah itu.

Zevian turun dari mobilnya dengan gerakan lambat, kemudian berjalan santai menuju pintu utama. Setiap langkahnya terlihat malas, tak terburu-buru. Ia menghela napas pelan, menatap rumah itu dengan tatapan datar. Meskipun ia tumbuh besar di sana, tempat itu tak pernah benar-benar terasa seperti rumah baginya. Ia lebih menyukai tinggal di penthouse miliknya sendiri, jauh dari segala aturan ketat dan ekspektasi tinggi yang selalu datang dari sang ayah—Vicenzo Alessandro Steel.

Pria yang kini tak lagi muda itu masih mempertahankan wibawa dan ketegasan yang tak pernah luntur. Ia adalah cerminan dari Zevian dalam versi lebih dewasa: keras kepala, penuh kendali, dan sulit untuk ditentang. Ketampanan dan kecantikan seolah menjadi warisan turun-temurun dalam keluarga Steel—anugerah yang tampak jelas dari setiap anggota keluarga mereka. Namun di balik wajah rupawan itu, tersembunyi karakter-karakter yang tajam dan sulit dijinakkan.

Zevian membuka pintu besar itu menggunakan kartu akses yang selalu ia bawa. Begitu kartu ditempelkan, suara klik terdengar dan smart door terbuka otomatis, menampakkan interior mewah rumah itu yang seolah berasal dari dunia lain. Dua tangga spiral megah berdiri anggun di tengah ruangan, melingkar naik ke lantai atas dengan ornamen ukiran detail berlapis emas. Di atasnya, sebuah lampu gantung kristal raksasa menjuntai dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya lembut ke seluruh penjuru ruangan.

Furniture bergaya Eropa klasik tertata rapi, lengkap dengan detail ukiran halus dan bahan beludru mewah. Sebuah foto keluarga besar Steel tergantung megah di tengah ruangan, dipajang dengan bingkai emas tebal—mewakili kekuasaan dan kebanggaan yang mereka wariskan. Di sisi lain, layar proyektor raksasa menampilkan wallpaper digital berupa pemandangan kota di malam hari, lengkap dengan kelap-kelip cahaya gedung tinggi yang menyilaukan, menciptakan ilusi seolah rumah itu terbuka langsung pada langit metropolis.

Beberapa pelayan terlihat masih sibuk berlalu-lalang, menjalankan tugas mereka dengan cekatan dan nyaris tanpa suara. Namun Zevian tidak memedulikan itu semua. Ia melangkah masuk dengan wajah kesal dan lelah, sorot matanya penuh kejengahan terhadap tempat yang semestinya disebut rumah.

"Mommy… aku datang," ucapnya datar, suaranya terdengar seperti gumaman malas. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa di ruang tamu, bersandar dengan lemah, lalu melepaskan jas dari tubuhnya dan melemparkannya ke samping. Kunci mobil serta ponsel dilemparkannya ke atas meja kaca tanpa peduli, menimbulkan bunyi denting pelan saat menyentuh permukaan meja yang licin dan dingin.

“Kamu pulang juga?” ucap sang ibu, lalu langsung menghambur ke pelukan putranya. Dira baru saja datang dari arah dapur, tampaknya baru selesai memberikan instruksi kepada pelayan mengenai menu makan siang.

“Mom, ayolah… jangan selalu mengancam ingin menjodohkanku dan memaksaku untuk menikah. Aku tidak mau,” keluh Zevian, berusaha melepaskan diri dari pelukan sang ibu.

“Hei, kamu ini kenapa? Apa salah kalau Mommy ingin menimang cucu?” ucap Dira dengan nada setengah kesal.

“Bukan seperti itu, Mom. Aku tahu Mom ingin jadi nenek, tapi bisakah minta cucu dari Valen saja? Aku lelah terus-menerus diteror pertanyaan ‘kapan nikah’ seperti ini,” ujarnya dengan ekspresi jengkel.

“Valen?” sang ibu mengulang dengan nada bingung, alisnya terangkat sebelah.

“Iya, dia juga putri Mommy dan Daddy, kan? Kenapa tidak minta dari dia saja, coba?” sahut Zevian santai, wajahnya tenang tanpa beban.

“Valen kamu bilang? Valen itu masih sangat muda! Ingat, Zevian, dia itu adik kamu! Usianya masih dua puluh tahun. Dia masih anak-anak, sedangkan kamu sudah tiga puluh dua! Apa kata orang-orang di luar sana kalau mereka bilang kamu menyimpang? Itu tidak benar, kan?” ucap Dira penuh selidik dia menarik telinga putra nya itu, nada suaranya meninggi, matanya berkaca-kaca.

“Auwhh… sakit, Mom! Menyimpang apa pula,” gerutu Zevian sambil meringis, tangannya memegangi telinga yang memerah karena dijewer.

“Jawab!! Dan apa iya kamu menyimpang? Sebab itu kamu tak menyukai wanita? Jawab Mommy, Zevian!!” seru sang ibu dengan air mata yang kini menetes deras di pipinya. Ia tampak panik, seolah beban sebagai ibu gagal menampar perasaannya habis-habisan. Zevian menghela napas berat. Ia tahu rumor itu sudah menyebar terlalu jauh, tapi melihat ibunya benar-benar terluka karenanya membuat dadanya ikut sesak.

“Mom, aku tidak begitu. Aku normal. Rumor di luar sana yang mengatakan aku pacaran dengan Aditya itu bohong. Aku hanya belum siap untuk menikah. Lagi pula… Daddy saja menikah di usia empat puluh lima. Lalu kenapa aku harus menikah muda-muda?” jelas Zevian, menatap ibunya dengan serius, berharap kejujurannya bisa menenangkan kekhawatiran itu. Ia tahu betul siapa Aditya. Pria itu punya reputasi buruk, dijuluki Casanova karena kebiasaannya menggoda perempuan-perempuan tak benar. Bagaimana bisa orang percaya ia punya hubungan khusus dengan seseorang seperti Adit?

“Oh, jadi kamu ingin mengikuti jejak Daddy-mu?” ucap Dira dengan nada tinggi, tampak makin geram karena anaknya terus saja membalas.

“Mom, tolong jangan bandingkan aku terus dengan Daddy,” ujar Zevian, nada suaranya mulai meninggi. Dira menyilangkan tangan di dada, wajahnya masih memerah karena amarah.

“Lalu siapa lagi yang bisa Mommy jadikan patokan? Kamu itu penerus keluarga ini, Zevian! Kamu punya tanggung jawab, bukan cuma pada perusahaan, tapi juga pada garis keturunan keluarga Steel!” Ujar Dira yang membuat Zevian berdiri dari sofa, jasnya tergeletak begitu saja, tatapannya mulai tajam.

“Apa aku ini cuma mesin pencetak keturunan untuk Mommy? Semua keputusan hidupku selalu dikendalikan—termasuk urusan pribadi seperti menikah.” jawab nya yang membuat Dira tertegun sesaat, tapi tidak menyerah.

“Mom tidak mengendalikanmu. Mom hanya ingin yang terbaik untukmu. Kamu pikir Mommy tidak tahu kamu kesepian, Zevian?” balas nya yang membuat Zevian tertawa pendek, sinis.

“Kesepian? Justru aku paling tenang saat sendiri. Paling jujur pada diri sendiri saat jauh dari semua tekanan ini.” Jawab zevian tegas yang membuat Dira melangkah lebih dekat, matanya kini tak hanya berisi kemarahan, tapi juga kepedihan yang dalam.

“Tapi kamu ini anak sulung, Ze. Mommy hanya ingin melihat kamu bahagia… punya keluarga sendiri… ada seseorang yang menunggu kamu pulang.” jawab Dira.

“Bahagia versi Mommy, bukan versiku, kalau menikah hanya karena tuntutan, aku tidak akan bahagia. Dan perempuan mana yang mau hidup dengan pria seperti aku yang dingin dan keras kepala, ha?” Balas Zevian cepat, rahangnya mengeras. Dira terdiam. Ada jeda sunyi, hanya suara detak jam besar yang menggema di ruangan itu.

“Kamu tahu, Ze… Mommy kadang berharap kamu tidak tumbuh terlalu cepat. Karena saat kamu kecil, kamu masih mau peluk Mommy tanpa merasa risih seperti sekarang.” ujar nya yang membuat Zevian menunduk, rahangnya masih mengeras, tapi matanya mulai melembut. Ada sesuatu dalam ucapan ibunya yang menusuknya dalam diam.

"Aku tidak risih dipeluk Mommy, hanya saja Mom... aku terkadang kesal jika kalian terus mempertanyakan kapan aku menikah. Aku juga belum siap untuk itu," ujar Zevian, suaranya mulai melembut, sadar bahwa ibunya mungkin salah paham atas sikap dinginnya selama ini. Namun Dira justru terdiam beberapa detik, lalu memalingkan wajah, menutup mulutnya dengan tangan seolah menahan tangis. Bahunya berguncang pelan Zevian menghela napas, mendekat.

“Mom…”Ujar zevian yang langsung di sela Dira.

"Mommy ini... apa sejahat itu ya di matamu, Zevian? Apa Mommy terlalu menekanmu sampai kamu merasa tidak punya pilihan selain menjauh dari keluarga sendiri?" ucap Dira lirih, namun penuh luka.

“Mom, bukan begitu maksudku..” ucapan zevian langsung di potong cepat.

"Aku ini ibumu, Ze. Perempuan yang melahirkanmu. Tapi sekarang, bahkan untuk duduk bersamamu lebih dari lima menit saja rasanya seperti menahan nafas dalam air—karena kamu selalu bersikap dingin… menjauh…" Dira akhirnya tak menahan tangisnya lagi. “Mommy hanya ingin kamu bahagia, Zevian. Mommy hanya ingin kamu tidak merasa sendiri saat usia Mommy tak lagi cukup untuk berdiri di sampingmu.” lanjut nya yang membuat Zevian tercekat. Kata-kata ibunya seperti tamparan yang tidak ia harapkan.

"Mom tahu... mungkin Mommy cerewet, mungkin terlalu banyak ikut campur. Tapi tahukah kamu kenapa Mommy tidak pernah berhenti bicara tentang menikah? Karena Mommy takut... saat Mommy tiada nanti, kamu tidak punya siapa-siapa," lanjutnya sambil mengusap air mata dengan punggung tangan.

Zevian menatap ibunya yang kini terlihat rapuh. Seolah waktu telah menggerogoti sosok tangguh itu perlahan tanpa ia sadari. Ia melangkah pelan, lalu meraih bahu ibunya dan menariknya ke dalam pelukan.

"Maaf, Mom… Aku bukan ingin membuat Mom sedih… Aku hanya belum siap. Tapi aku janji, aku tidak akan pergi jauh. Aku tetap anak Mommy." bisiknya lirih, Zevian menarik napas sejenak, lalu menatap ibunya yang masih tersedu.

“Tapi apa yang aku katakan memang benar, kan, Mom? Tidak seharusnya kita menyia-nyiakan masa muda kita untuk hal yang... menurutku tidak berguna seperti pernikahan. Menikah ataupun tidak, itu tidak akan mengubah banyak hal,” lanjutnya, nada suaranya datar namun jenuh. Ia sudah terlalu lelah berusaha menjelaskan sudut pandangnya—dan lebih lelah lagi menghadapi tekanan yang terus menerus datang dari kedua orang tuanya. Baginya, tuntutan itu terdengar kolot, usang, dan tak masuk akal.

Namun tampaknya Dira sudah habis kesabaran. Ia mengusap air matanya kasar, lalu bangkit dengan emosi yang belum sepenuhnya reda. Tanpa pikir panjang, ia berteriak memanggil sang suami.

"Vince!" serunya lantang, hingga suara itu menggema di ruangan besar itu.

Tak lama, terdengar langkah kaki menuruni tangga. Seorang pria paruh baya, berpenampilan rapi dengan kemeja lengan panjang berwarna krem dan celana bahan abu-abu, muncul dari arah lantai atas. Wajahnya masih menyimpan ketampanan masa muda, karismanya terpancar dari sorot mata tajam dan rahangnya yang tegas.

“Ada apa, honey?” tanya Vincenzo sambil mempercepat langkahnya dan segera duduk di samping putranya. Dira menunjuk Zevian dengan nada penuh emosi.

"Lihatlah sifat anakmu itu! Menjiplak jelas dari dirimu! Coba saja kalau dulu kamu menikah di usia muda, mungkin anakmu ini tak akan mengulangi jejakmu... Sekarang? Anakmu keras kepala, tidak mau menikah, dan itu semua salahmu!" Ujar Dira yang membuat Vince menatap Zevian sebentar, lalu menepuk pelan pundak putranya.

"What’s the matter, son? Kenapa selalu masalah ini yang dibahas? Apa kamu tidak lelah membuat ibumu uring-uringan setiap waktu?" ucapnya lembut, berbeda dengan nada tinggi sang istri. Vince selalu memilih pendekatan tenang saat menghadapi anaknya.

"I'm just not ready to get married yet..." jawab Zevian, kali ini dengan suara pelan. Ia memang tidak berani banyak membantah sang ayah. Jika dengan Dira ia bisa saling adu argumen, maka tidak demikian dengan Vince. Wibawa ayahnya selalu cukup untuk membuatnya diam.

“Oke. Daddy paham. Dengarkan Daddy. Apa alasan kamu tak ingin menikah? Apa yang sebenarnya kamu rasakan?” Vince mengangguk pelan, lalu menghela napas panjang. Ia menatap Zevian tajam tapi penuh pengertian. Zevian mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ia bersandar lebih dalam ke sofa, lalu bergumam pelan dengan nada kesal.

“All woman is troublesome…” Jawab nya yang membuat Dira yang masih berdiri langsung menyela dengan cepat.

“Termasuk Mommy?” Ujar Dira tajam yang membuat Zevian buru-buru menoleh.

“Mommy beda,” jawabnya cepat, namun cukup membuat Dira sedikit melunak—meski matanya masih menyiratkan amarah. Vince kembali bicara, nada suaranya datar namun mengandung tekanan.

“Itu berarti tidak semua wanita menyusahkan, bukan? Kamu hanya belum menemukan yang cocok. Temukan sendiri, atau kami yang akan mencarikannya untukmu.” ujar Vince, tatapan pria itu kini sulit ditebak. Campuran dari seorang ayah yang khawatir, namun tetap tegas pada pendiriannya sebagai kepala keluarga.

“Aku tidak mau,” jawab Zevian tanpa basa-basi. Seolah tak peduli pada perubahan ekspresi ayahnya yang mulai mengeras.

“Daddy lelah, Ze!” bentak Vince, nadanya meninggi dan disertai geraman tertahan. Nada suara yang biasanya tenang itu kini berubah tajam—cukup untuk membuat ruangan mendadak senyap.

Zevian sontak tertegun. Sorot matanya membeku. Seumur hidupnya, tak pernah sekalipun sang ayah membentaknya. Kedua orang tuanya selalu menggunakan pendekatan lembut, penuh diskusi dan pengertian. Tapi kali ini... berbeda. Ia perlahan menoleh ke arah Dira yang masih berdiri, menatapnya dengan pandangan kecewa bercampur luka.

“Daddy…” gumam Zevian lirih, hampir tak terdengar. Suaranya pecah, seperti tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Vince menatapnya dengan mata tajam, penuh determinasi. Kali ini ia bicara perlahan, tapi setiap katanya terasa seperti pukulan keras ke dada Zevian.

“Dengarkan Daddy baik-baik, Zevian. Ini kesempatan pertama dan terakhir bagimu. Carilah gadis mana pun yang kamu inginkan, dan nikahi dia dalam waktu dua minggu ke depan. Mau tidak mau. Jika tidak...” Ia menundukkan sedikit wajahnya ke arah Zevian, menekankan kalimat selanjutnya. “... kamu akan menikah dengan pilihan Daddy. Dan kalau kamu terus menolak… maka tinggalkan Emily Steel Corporation. Keluar dari perusahaan ini. Lupakan posisi, jabatan, semuanya.” ujar Vince yang membuat suasana berubah tegang. Nafas Zevian tercekat. Pandangannya bergeser, tak tahu harus menatap siapa. Ancaman itu lebih dari sekadar ultimatum. Itu adalah batas akhir—garis keras yang belum pernah diberikan ayahnya sebelumnya.

Vince berdiri, merapikan kemeja, dan berjalan menjauh dengan langkah berat. Ia lelah. Lelah dengan perdebatan yang selalu berakhir tanpa arah. Ia tahu putranya sudah dewasa, dan memang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Tapi ia juga tahu bahwa keluarga ini butuh kesinambungan. Emily Steel corporation butuh pemimpin masa depan. Dan istrinya, Indira, sudah terlalu lama menggantungkan harapan pada seorang cucu.

“Daddy…” Zevian bangkit pelan, mengikuti ayahnya dengan langkah ragu.

“Apa!?” bentak Vince tanpa menoleh, suaranya kembali keras. “Tidak ada penawaran. Tidak ada negosiasi. Dua minggu, Zevian. Putuskan.” Lanjut nya tanpa memberi ruang untuk penjelasan, Vince melangkah keluar rumah. Pintu besar itu tertutup dengan dentuman halus, meninggalkan keheningan yang menyiksa. Zevian memutar tubuhnya ke arah Dira.

“Mommy, dengarkan aku dulu… Aku tidak mungkin mencari wanita dalam waktu sesingkat itu.” ujar nya namun Dira hanya menatapnya sekilas. Tatapannya bukan lagi marah, tapi dingin dan putus asa.

“Terserah,” ucapnya pelan, sebelum ikut berlalu meninggalkan Zevian sendiri di ruang tamu yang kini terasa terlalu luas… dan terlalu sunyi. Zevian mengerang frustrasi, lalu menjambak rambutnya sendiri.

“Akhhh! Selalu saja!” pekiknya, menggertakkan gigi. Ia terduduk kembali di sofa, menunduk dalam-dalam, napasnya memburu, dadanya terasa berat. Semuanya kini terasa seperti perang yang tak ia pilih, tapi dipaksa untuk dimenangkan.

Zevian mengepalkan kedua tangan di atas pahanya. Matanya kosong menatap lantai marmer yang berkilau, seolah ingin menemukan jawaban dari kekosongan itu. Tapi tidak ada apa-apa. Tidak ada ketenangan. Tidak ada pemahaman. Hanya tekanan.

Dengan langkah berat dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia bangkit. Kakinya membawanya menaiki tangga besar yang melingkar itu, menuju kamar pribadinya. Pintu ditutup dengan satu dorongan pelan, namun bunyinya terasa begitu keras di telinga sendiri—seolah itu adalah simbol bahwa ia menutup dirinya dari dunia.

Zevian menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang king-size berseprai putih. Matanya menatap langit-langit kamar, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.

“Dua minggu…” gumamnya lirih, seperti tak percaya.

Bagaimana mungkin seseorang bisa menemukan wanita yang pantas dijadikan istri hanya dalam dua minggu? Bahkan untuk sekadar percaya pada orang baru pun ia kesulitan. Lalu bagaimana bisa ia membangun sebuah ikatan seumur hidup hanya karena desakan orang tua?

“Ini tidak masuk akal,” katanya sambil menutupi wajahnya dengan telapak tangan.

Tekanan itu semakin nyata. Dan untuk pertama kalinya, Zevian merasa kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.

...

Sementara itu, di penthouse milik Zevian yang berdiri megah di pusat kota, Nayara tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Ia telah dikurung sejak siang tanpa makanan, tanpa air. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat, napasnya tak beraturan. Tak ada yang tahu keadaannya—meski biasanya ada pelayan yang datang untuk merapikan penthouse, namun hari itu bukan jadwal mereka berkunjung. Keheningan mewah dalam ruangan itu justru berubah menjadi ancaman yang sunyi, mengurung Nayara dalam gelap dan sepi yang menyesakkan.

Berbeda jauh dengan suasana yang terjadi di tempat lain.

Di sebuah bar mewah bertema industrial vintage di jantung Jakarta, lampu neon temaram menyinari meja-meja marmer, dentuman musik EDM memecah udara malam, dan tawa para sosialita memenuhi ruangan. Zevian duduk di salah satu VIP lounge, dikelilingi oleh Aditya dan beberapa teman karibnya. Gelas-gelas cocktail dan botol wine berserakan di meja, sementara asap rokok dan aroma alkohol memenuhi udara.

Malam itu mereka berpesta—bukan sekadar untuk bersenang-senang, melainkan merayakan sesuatu yang mengejutkan: kabar bahwa Zevian akan menikah dalam dua minggu ke depan.

"Apa-apaan ini, Ze? Lo serius nikah?" tanya salah satu temannya sambil terkekeh, setengah tak percaya.

Namun, Zevian hanya meneguk minumannya tanpa menjawab. Wajahnya datar, matanya kosong. Ia tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, seolah berpesta bukan atas keinginannya, melainkan pelarian dari tekanan yang menyesakkan.

Kabar pernikahannya memang telah menyebar cepat, disebarkan langsung oleh keluarganya tanpa persetujuannya. Ia bahkan tak diberi waktu untuk memilih, karena jika ia menolak, maka perjodohan akan dijadikan jalan terakhir—jalan yang paling ia hindari.

Ironis, pikir Zevian. Di zaman seperti ini, perjodohan masih jadi ancaman yang nyata baginya. Namun yang lebih menakutkan bukan perjodohannya, melainkan kenyataan bahwa hidupnya mulai dikendalikan, bahkan dalam hal paling pribadi sekalipun.

“Hei, bro! Kau jangan terlalu banyak mabuk. Bagaimana jika kau mati?” seru salah satu teman Zevian sembari meneguk minumannya. Matanya mengamati Zevian yang duduk menyandar lesu di sofa panjang, dengan gelas berisi alkohol yang nyaris kosong di tangannya. Wajahnya memerah, napasnya berat, dan tatapannya kosong—jauh dari biasanya yang tenang dan penuh wibawa.

“Iya, masa mati sebelum malam pertama sih,” sahut teman lainnya sambil tertawa renyah. Tawa mereka pecah, ringan dan penuh candaan, namun Zevian sama sekali tak menggubris. Ia hanya meneguk kembali isi gelasnya, seolah tak peduli pada lelucon murahan yang mereka lontarkan.

“Dit, siapa wanita yang sudah bisa menghancurkan gunung es ini, hah?” tanya Alvin, salah satu dari mereka, sembari mengisap vape-nya dan menghembuskan asap perlahan. Pandangannya menelusuri wajah Zevian yang tetap tak berekspresi.

“Gue pun nggak tahu. Emangnya gue cenayang bisa baca pikiran orang?” sahut Aditya dengan santai, meneguk minuman bersoda di tangannya. Ia duduk agak menjauh dari Zevian, sengaja tidak ikut menenggak alkohol malam itu—karena dialah yang bertanggung jawab menyetir dan menjaga sahabatnya yang kini nyaris tenggelam dalam mabuk berat.

“Iya, aneh sekali. Kenapa coba keluarga Steel tidak membongkar siapa mempelai wanitanya?” timpal Jason sambil memainkan es batu dalam gelasnya, terdengar gemerincing di tengah bising musik bar yang mewah.

“Sudahlah, nanti kita datang saja ke pernikahannya. Kita lihat langsung siapa wanita hebat itu,” ucap Angga, tersenyum miring sembari melempar pandangan sekilas ke arah Zevian yang sejak tadi hanya diam, seperti tak mendengar atau tak ingin peduli.

“Hem, betul juga,” Alvin mengangguk pelan lalu menyeringai, “Tapi berarti, dengan adanya pernikahan ini, kalian berdua terbebas dari tuduhan menyimpang.” Ujarnya sambil menatap Zevian dan Aditya bergantian, nada suaranya menggoda, meledek.

Tawa kecil kembali meledak dari mulut mereka, bercampur dengan denting gelas dan alunan musik EDM yang berdentum. Tapi di tengah hiruk pikuk itu, Zevian tetap diam. Pikirannya kosong, tubuhnya lelah, dan jiwanya seakan jauh dari tempat ia duduk sekarang. Tak ada tawa. Tak ada senyum. Hanya kepasrahan yang mengendap dalam tatapannya yang mulai buram.

“Gue pengen tahu, sebenernya siapa yang bikin rumor nggak masuk akal kayak gitu,” ujar Angga sambil tertawa kecil, bahunya terangkat ringan. Suaranya nyaris tenggelam oleh dentuman musik bar yang semakin keras.

Tawa Angga disambut oleh Alvin dan Jason. Mereka tampak sangat menikmati suasana malam itu. Beberapa botol alkohol telah kosong berserakan di meja kaca bundar di depan mereka. Gelas-gelas penuh es batu dan sisa minuman terlihat mengembun di bawah cahaya neon kebiruan yang berpendar dari langit-langit.

Dua orang wanita yang dibawa Jason dan Angga juga sudah terlihat setengah mabuk. Salah satunya bersandar malas di bahu Angga, dengan rambut acak-acakan dan pandangan mengambang. Sementara yang lain tertawa sendiri, meski tak ada yang benar-benar lucu. Wajah mereka merah, bibirnya basah oleh alkohol, dan tangan mereka terus menepis gelas baru yang masih dipaksa Jason sodorkan.

“Eh, sumpah ya, rumor itu aneh sekali, masa Zevian dan Aditya? Mereka memang dekat, tapi bukan berarti...” ujar Alvin sambil menyender ke sofa, menenggak lagi minumannya.

“Ya, orang cuma lihat dari luar. Katanya terlalu akrab, terlalu protektif, bla bla bla… langsung dicap nyimpang, padahal mereka nggak tahu apa-apa." Jason menyelutuk, memutar matanya malas. Namun Zevian tak mengeluarkan sepatah kata pun. Tubuhnya tertenggelam di sofa kulit hitam yang empuk, kepala bersandar ke belakang, mata terpejam. Napasnya berat dan lambat. Wajahnya memucat, keringat dingin mulai muncul di pelipis. Ia benar-benar mabuk berat.

Aditya, yang duduk di sampingnya, meliriknya sekilas dengan cemas. Ia tahu batas Zevian, dan malam ini, temannya itu jelas sudah melewatinya. Tapi Aditya juga tahu, ini bukan hanya karena alkohol—melainkan karena beban pikiran yang disembunyikan Zevian. Tentang pernikahan. Tentang tekanan keluarga. Dan tentang kenyataan bahwa hidupnya bukan lagi miliknya sendiri. Aditya mendesah pelan, lalu meraih botol minuman dan menyembunyikannya di balik meja.

“Ini pasti berat,” gumamnya lirih, lebih pada dirinya sendiri. Jason bersandar ke belakang sambil menggeleng-gelengkan kepala, lalu menatap ke arah Alvin dan Angga.

“Lo bayangin aja, berita itu udah nyebar ke mana-mana. Sampai tante gue yang di Surabaya aja sempat nanya beneran nggak sih Zevian sama Adit itu... ya, lo tahulah.”ujar nya yang membuat Alvin langsung menimpali.

“Gue yakin itu semua karena keluarga Steel terlalu tertutup soal urusan pribadi anaknya, lo pikir gampang jadi pewaris keluarga yang punya nama segede itu? Semua gerak-geriknya diawasi.” timpal Alvin sambil memainkan cincin di jarinya.

“Iya sih. Tapi tetep aja, masa karena mereka akrab langsung dicap nyimpang? Padahal mereka cuma sahabatan dari kecil, ‘kan?” Ujar Angga sembari terkekeh pelan.

Aditya hanya diam. Tatapannya kosong, namun matanya menyorotkan rasa jenuh dan dingin. Dia tak terlalu peduli pada omongan orang, tapi menyangkut nama baik, terutama Zevian yang tengah mabuk parah di sebelahnya—Aditya tak bisa sepenuhnya membiarkan begitu saja.

“Kalau Zevian denger, mungkin dia bakal ketawa... Atau mungkin malah muntah, kayak sekarang.” ujar Aditya akhirnya, suaranya datar namun mengandung ironi. Tawa mereka kembali pecah, namun ada satu jeda hening yang terasa menggantung setelahnya.

“Ya… tapi sebenernya ada benarnya juga sih,” ucap Jason tiba-tiba, kali ini lebih pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri.

Angga dan Alvin menoleh bersamaan, penasaran.

“Maksud gue… seberapa banyak sih kalian pernah lihat Zevian dekat sama cewek? Dia dingin banget sama perempuan. Nggak pernah pacaran, nggak pernah kelihatan deket. Gue aja kadang heran.” ujar Jason mengangkat bahu, hal itu membuat Alvin mendesah, mengangkat gelas terakhirnya dan meneguknya pelan.

“Mungkin itu juga alasan keluarga Steel buru-buru jodohin dia. Mereka butuh bukti kalo pewaris mereka bukan... lo tau lah.” ujar nya yang membuat Angga mencibir.

“Kuno banget mikir kayak gitu, padahal aunty Dira dan uncle Vince orang berpendidikan.” ujar nya .

“Tapi nyata, dan itu juga alasan kenapa malam ini kita di sini. Untuk merayakan ‘kebebasan’ yang katanya harus dia raih. Padahal kenyataannya... dia malah makin dikekang.” Aditya menimpali pendek. Tatapannya menusuk, tegas. Semua diam. Musik di bar masih menggelegar, tawa dan obrolan pengunjung lain masih ramai, tapi di antara mereka, ketegangan itu seperti menyelinap diam-diam—bahwa di balik pesta dan candaan, ada realita getir yang tak bisa mereka hindari.

Zevian mengerang pelan, tubuhnya bergerak sedikit, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya hanya membenamkan wajahnya ke lengan sendiri, kehilangan kesadaran.

"Aku mau pulang," gumam Zevian tiba-tiba, suaranya parau dan nyaris tak terdengar jelas. Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya, membuat semua orang yang tengah larut dalam tawa dan gelas mereka, spontan menoleh padanya. Mereka menatap Zevian dengan pandangan buram—mabuk, lesu, dan bingung. Namun ucapannya cukup membuat keheningan kecil mengisi sela riuhnya bar mewah itu.

"Why? What's wrong?" tanya Angga sambil bersandar di sofa, alisnya bertaut heran. Mereka sudah biasa berkumpul seperti ini—sekadar minum, melepas penat, atau berpura-pura tak memiliki masalah. Tapi tidak biasanya Zevian ingin pulang lebih awal, apalagi saat malam belum menyentuh pukul dua belas.

"Ada apa, Ray?" Aditya kini bertanya, tubuhnya sedikit condong ke depan. Wajahnya tampak lebih serius dari sebelumnya. Namun Zevian tak menjawab. Ia hanya bergumam pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri.

“Gadis itu belum makan,” lirihnya, nyaris tak terdengar—sebelum tubuhnya limbung dan jatuh ke sisi sofa, pingsan seketika. Bau vodka tajam menyeruak dari napasnya, menyiratkan betapa tinggi kadar alkohol yang sudah meracuni tubuhnya malam itu.

"Gadis siapa?" tanya Alvin cepat, memecah keheningan yang sempat menggantung. Aditya yang masih duduk tertegun, mengulang lirih.

"Gadis?" Ulang nya bingung dahi Adit mengernyit. Pikirannya berputar cepat, mencoba menyusun potongan-potongan ingatan yang berantakan. Lalu seketika matanya membelalak. Lalu tiba tiba suaranya melengking, lantang dan terburu-buru,

"APA LAGI YANG KAU LAKUKAN, ZEVIAN?!" Geram nya kesal yang membuat Alvin dan Angga sontak menutup telinga mereka. Teriakan itu terlalu nyaring untuk telinga yang sudah setengah dikuasai alkohol. Aditya menatap tubuh Zevian yang terkulai lemas, wajahnya menyiratkan kecemasan dan rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap.

“Gadis siapa?” ulang Alvin lagi, kali ini lebih pelan, tak yakin apakah ia sedang menyelidik atau hanya mengulang karena penasaran.

Aditya tak menjawab. Matanya sudah penuh kekhawatiran. Ia merasa yakin pada satu hal—Zevian sedang bicara tentang gadis yang mereka selamatkan semalam. Dan jika dugaannya benar, maka kemungkinan besar... gadis itu sekarang sendirian di penthouse Zevian.

"Alvin, bantu gue bawa dia ke mobil. Gue harus buru-buru. Nanti gue ceritain," ucap Adit cepat. Ia bangkit dari duduknya dan segera meraih lengan Zevian, tak punya waktu untuk penjelasan panjang.

"Yaudah, oke. Ayo." Alvin ikut bangkit. Bersama-sama, mereka membopong tubuh Zevian yang sudah nyaris tak sadar, keluar dari bar yang masih riuh dengan dentuman musik dan gelak tawa orang-orang yang tak tahu bahwa sebuah rahasia baru saja mulai terkuak.

Mobil Aditya melaju membelah malam, meninggalkan kilau lampu kota yang semakin samar—sementara sebuah ketidaktahuan yang membahayakan, menunggu dalam diam di penthouse megah itu.

Aditya langsung melajukan mobilnya meninggalkan bar tersebut. Di balik tatapan fokusnya pada jalanan malam yang sepi, pikirannya melayang jauh, menebak-nebak apa yang sebenarnya tengah terjadi. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa asing terhadap sosok yang paling ia kenal—Zevian Aldric Rayford Steel.

Sebagai sahabat terdekat, Aditya bisa dibilang mengetahui hampir seluruh rahasia hidup Zevian. Bahkan mungkin, sembilan puluh persen isi kepala pria itu sudah terbaca olehnya. Namun kali ini, dia benar-benar tidak tahu siapa wanita yang akan dinikahi oleh sahabatnya. Sebuah pernikahan yang seharusnya jadi hal besar... malah terasa seperti teka-teki.

Tanpa terasa, perjalanan yang penuh tanda tanya itu pun berakhir.

Aditya turun dari mobil, lalu dengan susah payah membopong tubuh Zevian yang masih terkulai lemas. Ia meminta bantuan petugas keamanan untuk membantunya membawa pria itu naik ke lantai paling atas—lantai di mana penthouse Zevian berada. Bangunan mewah itu sunyi, hanya terdengar suara langkah mereka yang bergema di lorong.

Sesampainya di depan pintu, Aditya menempelkan kartu akses. Lampu kecil di panel menyala hijau, dan pintu otomatis terbuka perlahan. Udara dingin khas ruangan luas menyambut mereka, disertai aroma ruangan mahal yang hening tak berpenghuni.

Namun tak butuh waktu lama sebelum keheningan itu pecah oleh detakan jantung Aditya sendiri. Begitu memasuki ruangan, matanya langsung tertumbuk pada sosok tubuh mungil yang terbujur diam di atas lantai marmer mengilap—seorang gadis, tergeletak tanpa daya.

“Steel System, activate lighting.” Cahaya lampu yang otomatis menyala saat ia memanggil sistem rumah pintar, membuat kulit pucat gadis itu terlihat semakin kontras dengan dinginnya lantai.

"Astaga..." gumamnya, napasnya tercekat sejenak.

Dengan sigap, Aditya segera menurunkan Zevian di atas sofa yang besar dan empuk, membiarkannya terbaring untuk sementara. Lalu tanpa membuang waktu, ia mengangkat tubuh mungil gadis itu—tubuh yang dingin dan tampak rapuh dalam pelukannya. Hatinya mencelos. Ada sesuatu yang tidak benar di sini. Ada hal besar yang terjadi, dan Zevian tidak memberitahunya sedikit pun.

Dengan langkah cepat, Aditya membawa gadis itu menuju kamar utama milik Zevian. Setelah meletakkannya dengan hati-hati di atas ranjang, ia mengeluarkan ponsel dan menghubungi dokter pribadi keluarga Steel—dokter yang juga bersahabat lama dengan Zevian dan sering menangani kondisi darurat seperti ini.

Setelah memastikan dokter dalam perjalanan, Aditya kembali ke ruang tengah. Ia mengangkat tubuh Zevian sekali lagi, lalu membawanya masuk ke kamar yang sama.

Tanpa berkata sepatah kata pun, ia membaringkan Zevian di sisi ranjang, tepat di sebelah gadis yang kini ia tahu pasti bukan orang sembarangan. Entah siapa dia, tapi cukup penting hingga Zevian yang bahkan tak peduli pada siapa pun—bisa sampai semabuk ini hanya karena dia.

Aditya menarik selimut tebal dan menutup tubuh keduanya perlahan.

Dia berdiri sejenak di tepi ranjang, menatap dua orang itu—terbaring berdampingan dalam diam yang terasa asing. Satu mabuk, satu tak sadarkan diri. Dan ia, satu-satunya orang yang tersisa dengan sejuta pertanyaan yang belum punya jawaban.

Malam itu, untuk pertama kalinya... Aditya merasa seperti sedang menjaga dua jiwa yang ditakdirkan bertemu, tapi belum tahu kenapa mereka harus saling melindungi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!