Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB: Neraka yang Dikenal Baik
Sore itu, langit di pelabuhan berwarna tembaga.
Kapal megah tempat Shannara bekerja perlahan merapat, disambut angin asin dan teriakan para buruh yang menurunkan barang. Orang-orang bergegas turun, sebagian tersenyum, sebagian membawa letih tapi tidak satu pun wajah yang semuram milik Shannara.
Tas kecil di pundaknya terasa berat, bukan karena isinya, tapi karena kenangan yang ingin ia tinggalkan di sana.
Sergio berjalan beberapa langkah di belakangnya, diam tapi mengikuti. Shannara tahu. Ia mendengar langkah itu sejak dari dek atas, tapi memilih untuk tidak menoleh.
"Kamu nggak harus ngikutin aku terus." katanya datar tanpa menoleh. "Aku udah selesai. Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan."
"Aku cuma mau pastikan kamu sampai rumah dengan aman," jawab Sergio pelan, tapi tegas.
Shannara menarik napas dalam. Ia tidak memandang Sergio, memilih untuk menatap lurus ke lorong kapal yang ramai.
"Saya sudah bilang, Tuan Sergio," balas Shannara dingin. "Saya nggak mau Anda. Urus urusan Anda. Urus istri Anda."
"Urusanku sekarang adalah memastikan kamu tidak membawa anakku,” potong Sergio tajam. "Dan mengungkap kebenaran delapan tahun lalu."
Tanpa menunggu persetujuan, Sergio meraih lengan Shannara, cengkeramannya lembut namun tak terhindarkan. Mereka turun dari kapal, berjalan melalui gangway dan lorong pelabuhan yang penuh sesak.
Shannara menarik tangannya, tetapi Sergio hanya menatapnya, matanya seperti memperingatkan 'Jangan buat keributan'. Shannara memutuskan untuk mengabaikannya, mempercepat langkahnya, seolah keberadaan Sergio adalah ilusi yang bisa ia tinggalkan.
Di pintu keluar, mobil mewah hitam Sergio sudah menunggu. Shannara langsung melambaikan tangan, memanggil taksi daring.
"Aku sudah membatalkan semua transportasi pribadimu," kata Sergio, nadanya mutlak. "Kamu ikut aku."
"Saya mau pulang ke rumah saya!" Shannara membantah, akhirnya menatap Sergio dengan tatapan mata yang keras. "Saya nggak butuh Anda antar. Ini adalah perpisahan, Tuan. Anda nggak punya hak."
Sergio tidak menjawab. Ia hanya memberi isyarat pada sopir dan Davin yang berdiri di samping mobil. Shannara menyadari ia tidak punya kekuatan untuk melawan mesin kekuasaan Sergio di tempat umum.
"Baik," kata Shannara pahit. "Antar saya. Tapi Anda hanya sampai di pagar rumah saya. Setelah itu, saya minta Anda menghilang."
...----------------...
Empat jam kemudian, mobil Sergio berhenti di depan sebuah rumah sederhana di pinggiran kota Jakarta. Sergio turun dan membukakan pintu untuk Shannara.
"Ingat perjanjian kita," bisik Sergio saat Shannara keluar dari mobil. "Aku akan menelepon untuk memastikan kamu baik-baik saja dan tidak lari. Aku serius, Nara."
Shannara hanya mengangguk tanpa minat.
Shannara keluar dari mobil itu, ia bahkan tidak menoleh saat mobil mewah Sergio pergi.
Shannara melangkah masuk ke rumah itu, meninggalkan dinginnya pelabuhan. Ia memasuki kehangatan yang menyesakkan, kehangatan semu dari neraka yang dikenalnya dengan baik.
Langkah Shannara terasa berat saat menapaki halaman kecil yang dulu sering ia sapu setiap pagi. Di balik pintu kayu itu, ada sosok yang selalu membuat dadanya sesak—Hilda, ibunya sendiri.
Rumah itu masih sama. Dindingnya masih berwarna krem pucat, catnya mulai mengelupas di beberapa sudut, dan aroma masakan dari dapur masih menusuk hidung seperti dulu, namun tidak pernah sekalipun membuat Shannara merasa rindu.
Begitu pintu terbuka, suara sendok beradu dengan piring terdengar dari ruang makan. Meja bundar di tengah ruangan tampak penuh dengan makanan hangat. Di sana, ibunya, Hilda, duduk berdampingan dengan suami barunya dan anak kesayangan mereka, Aldi.
Dan ketika Shannara muncul di ambang pintu,
tidak satu pun yang berhenti makan. Tidak ada yang menoleh. Tidak ada sapaan.
Bahkan tidak ada kata “selamat datang.” Tak ada senyum.
Hilda hanya mendongak sekilas, matanya dingin seperti baja. Tatapan itu menusuk hati Shannara lebih tajam dari kata apa pun.
"Sudah datang?" ucapnya datar. "Kalau udah dapat gaji bulan ini, jangan lupa kirim ke Ibu. Air hampir mati bulan kemarin."
Shannara membeku. Tenggorokannya terasa kering dan tercekat. Ia menunggu sebentar, berharap Ibunya akan mengakhiri kebekuan ini dengan kata basa-basi.
"Taruh tasmu dulu," potong Hilda, mengusir. "Dan jangan ganggu kami makan. Bau asing dari laut itu mengganggu selera makan."
Tidak ada pelukan. Tidak ada tanya kabar. Hanya uang. Selalu uang.
Shannara berdiri kaku di ambang pintu. Matanya menatap piring-piring di meja makan yang penuh lauk, namun tak satu pun kursi kosong ditarik untuknya. Mereka melanjutkan makan, seolah kehadirannya hanyalah angin lalu.
Namun bukan itu yang paling mengejutkannya.
Tatapannya jatuh pada sosok laki-laki di ujung meja—Aldi.
Napas Shannara tercekat. Bukankah Aldi... sedang dipenjara?
Ia masih ingat betul kabar itu: Aldi terlibat kasus penganiayaan di klub malam, mabuk, dan hampir membunuh seseorang. Lima tahun penjara, begitu katanya. Tapi kini dia duduk di sana, makan santai, tertawa kecil dengan ayah tirinya.
"Bagaimana bisa...?" gumam Shannara tanpa sadar.
"Jangan lihat adikmu begitu. Ibu usahakan semuanya."
Tawa Aldi langsung pecah, sinis. "Haha, kaget, ya? Nggak nyangka aku udah pulang?" Dia menatap Shannara dengan mata penuh ejekan. "Ibu yang urus semua. Kakak pikir gampang bebas dari kasus kayak aku? Tapi Ibu kan hebat."
Hilda menatap anak laki-lakinya itu dengan tatapan lembut, tatapan yang tak pernah sekalipun diberikan pada Shannara.
Ia tahu, ibunya membencinya sejak lahir. Karena setiap kali Hilda menatap wajahnya, yang ia lihat bukan anak, tapi pengingat dari lelaki yang menghancurkan hidupnya. Pria beristri yang dulu menjanjikan cinta, lalu menendangnya saat tahu ia hamil. Dan sejak saat itu, Shannara menjadi lambang dari aib. Anak dari dosa. Wajah dari kenangan yang tak ingin diingat.