Zoe Aldenia, seorang siswi berprestasi dan populer dengan sikap dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba terjebak ke dalam sebuah novel romantis yang sedang populer. Dalam novel ini, Zoe menemukan dirinya menjadi peran antagonis dengan nama yang sama, yaitu Zoe Aldenia, seorang putri palsu yang tidak tahu diri dan sering mencelakai protagonis wanita yang lemah lembut, sang putri asli.
Dalam cerita asli, Zoe adalah seorang gadis yang dibesarkan dalam kemewahan oleh keluarga kaya, tetapi ternyata bukan anak kandung mereka. Zoe asli sering melakukan tindakan jahat dan kejam terhadap putri asli, membuat hidupnya menjadi menderita.
Karena tak ingin berakhir tragis, Zoe memilih mengubah alur ceritanya dan mencari orang tua kandungnya.
Yuk simak kisahnya!
Yang gak suka silahkan skip! Dosa ditanggung masing-masing, yang kasih rate buruk 👊👊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jenius Yang Menggemparkan
Setelah olahraga usai...
Siswa-siswi mulai bubar dari lapangan, sebagian kembali ke kelas dan sebagian lagi menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Zoe mengeringkan keringat di wajahnya dengan handuk kecil, lalu melipat jaket olahraga dan bersiap kembali ke kelas.
Tiba-tiba, seorang staf kesiswaan mendekat ke arahnya.
“Zoe Aldenia?” panggil seorang wanita paruh baya mengenakan seragam batik dan name tag bertuliskan Ibu Ranti.
Zoe menoleh dan mengangguk sopan.
“Iya, Bu. Ada apa ya?”
“Kamu diminta datang ke ruang kesiswaan sekarang juga. Tes beasiswanya diadakan hari ini,” jawab Bu Ranti dengan senyum singkat.
Zoe mengerutkan kening. Ia menoleh sekilas ke arah Valen yang sedang meneguk air mineral dari botolnya, lalu kembali menatap Bu Ranti.
“Bukannya tesnya minggu depan, Bu?”
Bu Ranti tersenyum samar, lalu berkata pelan, seolah sudah menyiapkan jawabannya.
“Ada perubahan jadwal. Jadi tes itu dipercepat.”
Zoe terdiam sejenak, mempertimbangkan sesuatu di dalam pikirannya. Namun, ia akhirnya mengangguk pelan.
“Baik, Bu. Saya ikut.”
Saat Zoe mulai berjalan mengikuti arah yang ditunjukkan, Valen memanggilnya.
“Zoe, lo mau kemana?”
“Dipanggil kesiswaan,” jawab Zoe singkat tanpa menoleh.
Valen mengangkat alis, namun tak mengejar.
***
Saat jam istirahat, sebuah kelas khusus telah disiapkan untuk tes beasiswa. Beberapa siswa dari berbagai kelas berkumpul, duduk dengan wajah tegang di bangku masing-masing.
Di depan mereka, tumpukan soal dan lembar jawaban menanti untuk diselesaikan. Zoe duduk di salah satu bangku dekat jendela, terlihat tenang, bahkan cenderung santai. Beberapa siswa memandangnya dengan sinis.
Seorang gadis berkacamata melirik ke arah Zoe, lalu berbisik ke temannya,
"Aku yakin dia nggak akan bisa ngerjain. Paling juga nyerah di soal nomor dua."
Teman satunya yang duduk dua baris di belakang tertawa kecil, ikut menimpali,
"Anak baru sok jenius. Lihat aja nanti."
Sementara itu, Ibu Lisa, guru Matematika yang menjadi salah satu pengawas, berdiri di depan kelas bersama dua guru lainnya, Bu Tania dan Pak Genta. Ia membagikan soal sambil memperhatikan Zoe dengan ekspresi sulit ditebak.
"Waktu kalian seratus menit. Fokus dan kerjakan dengan baik," ucap Bu Tania sambil berjalan pelan di antara bangku.
Begitu waktu dimulai, suara kertas dibalik, pensil digoreskan, dan bisikan napas gugup memenuhi ruangan. Namun Zoe langsung menunduk dan mulai mengerjakan, jemarinya lincah, gerakannya tenang. Tak butuh waktu lama, sekitar tiga puluh menit kemudian, Zoe berdiri.
"Saya sudah selesai, Bu," ucapnya sopan.
Mata Bu Tania membulat. Pak Genta mengangkat alisnya.
"Sudah selesai semua?" tanya Bu Lisa ragu.
Zoe mengangguk dengan tenang. "Sudah. Termasuk esainya."
Ia berjalan ke depan dan menyerahkan lembar jawabannya. Tiga guru itu saling pandang, lalu mulai memeriksa sepintas. Ekspresi mereka perlahan berubah.
Tak lama kemudian, pintu kelas terbuka. Ryder masuk sambil membawa dua botol minum. Pandangannya langsung tertuju pada Zoe.
"Gimana tesnya?" tanyanya begitu berada di dekatnya.
"Lancar," jawab Zoe ringan.
Ryder menyerahkan salah satu botol. "Tumben cepet banget."
Zoe hanya tersenyum. Namun sebelum Ryder bisa bicara lagi, suara Ibu Lisa terdengar dari depan kelas.
"Zoe. ..."
Semua siswa menoleh. Bu Lisa menatap lembar jawaban Zoe, lalu berkata dengan nada datar,
"Kamu salah kerjakan soal."
Seketika suasana kelas riuh. Levi bersama gengnya yang kebetulan lewat ikut tertawa.
Jayden tertawa paling keras. "Hah! Bener kan? Sok banget tadi gayanya."
"Udah dikasih kesempatan, malah salah soal. Aduh, memalukan!" cibir Arya sambil menepuk pundak Dwiki
Levi dan Arvan tertawa mengejek, Alicia hanya menunduk diam-diam tapi ikut tersenyum.
"Itu tuh, sok-sokan mau ambil beasiswa. Jenius katanya? Jenius ngasal, kali!" ejek Jayden.
Suasana semakin ramai, derai tawa seperti badai menghantam Zoe. Tapi Zoe tetap berdiri di tempatnya, ekspresinya datar.
Bu Lisa mengangkat tangan, membuat semua suara perlahan mereda. Ia memandangi mereka semua, lalu berkata pelan namun jelas.
"Memang benar Zoe mengerjakan soal yang berbeda."
Murid-murid saling pandang. Alicia menyeringai, merasa menang. Tapi Ibu Lisa melanjutkan,
"Soal yang Zoe kerjakan tadi ... adalah soal olimpiade tingkat nasional tahun lalu. Soal itu belum pernah dijawab benar oleh siapapun."
Seisi ruangan mendadak hening. Bahkan siswa dari luar ikut terdiam.
Bu Tania menambahkan, suaranya penuh kekaguman, "Tapi Zoe menjawab semuanya dengan benar. Termasuk esainya. Sangat logis dan tajam."
Mata Arya membelalak. Arvan melongo. Levi tak bisa berkata-kata. Bahkan Alicia kehilangan warna di wajahnya.
Ryder hanya tersenyum kecil, menatap Zoe dengan bangga.
"Gue sih nggak heran," gumamnya pelan.
Zoe tetap diam. Ia menatap ke depan, lalu menoleh sebentar ke arah mereka yang tadi menertawakannya.
Ruangan itu masih dipenuhi keheningan yang menggantung berat usai pernyataan Ibu Lisa. Namun tak berlangsung lama, suara berat Arya memecahnya.
"Enggak mungkin," desisnya sambil melipat tangan di dada. "Pasti ada yang nggak beres."
Arvan mengangguk setuju. "Iya, masa sih dia bisa ngerjain soal olimpiade sendirian? Kita aja yang sering ikut pelatihan butuh waktu berminggu-minggu buat paham semua materinya."
Beberapa siswa lain yang juga ikut seleksi mulai bersuara.
"Kita juga belajar keras, tapi kok tiba-tiba dia bisa jawab semua soal kayak gitu?"
"Jangan-jangan ... dia dapet kunci jawabannya, ya?"
Satu per satu mulai bergumam, menuduh. Sorotan mata berubah, bukan lagi penasaran, tapi curiga dan sinis. Zoe berdiri tenang, tak bereaksi, hanya memandangi mereka satu per satu.
Ryder yang sejak tadi menahan amarah, akhirnya melangkah maju. Suaranya keras dan tajam.
"Apa kalian punya bukti hah? Atau kalian cuma iri karena kalian gak sepintar itu?"
Levi mendengus dan menyilangkan tangan. "Jangan salahin mereka. Wajar kok mereka curiga."
Dia menatap Ryder dengan pandangan merendahkan, lalu beralih pada Zoe.
"Soalnya selama ini kita semua tahu … Zoe itu emang bodoh. Bahkan kalo bukan karena nama keluarga Wiratmaja, dia nggak akan naik kelas."
Beberapa orang tertawa kecil. Alicia menunduk, memasang wajah polos, tapi bibirnya tersungging senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Senyum kemenangan.
"Ya, ampun ... Kak Zoe, sampai segitunya kamu mau dapet beasiswa," kata Alicia mengangkat wajahnya dengan polos.
Cukup sudah.
Ryder melangkah cepat, langsung menarik kerah baju Levi hingga tubuh Levi terdorong ke belakang. Suasana jadi ricuh.
"Ulangi kalau berani!" bentak Ryder dengan rahang mengeras.
"Heh! Lo siapa berani—"
"Ryder, cukup!" suara Zoe memotong tegas.
Ryder menoleh. Zoe sudah berdiri di belakangnya, tatapannya dingin tapi tenang. Ia meletakkan tangan di lengan Ryder, mendorongnya pelan untuk melepaskan kerah baju Levi.
Zoe menatap semua orang yang kini diam memperhatikannya.
"Gue bersedia dites ulang," katanya lantang. "Kalau perlu, di tempat terbuka. Di aula sekolah, disaksikan semua orang. Bahkan boleh ditayangkan live. Terserah."
Semua siswa saling pandang. Ruangan mendadak ramai lagi.
"Oke! Setuju!" ujar Arvan keras.
"Awas aja lo kalau ketahuan nyontek atau bawa kunci jawaban," tambah Arya dengan nada menantang.
Jayden ikut mengangguk. "Gue ikut nonton. Seru banget ini."
Dwiki berseru, "Besok siang, pas jam kosong kita ya!"
Zoe hanya mengangguk. Matanya tajam, penuh keteguhan.
"Gue nggak perlu bukti buat buktiin siapa gue. Kalian yang harus buktikan tuduhan kalian. Dan setelah ini … jangan harap kalian bisa menertawakan gue lagi."
Arya langsung berbicara menggebu-gebu. "Gak perlu besok. Sekarang aja, kita gak tahu kalau besok dia curang lagi."
Semua orang langsung bersorak. "Setuju."
ayo Thor lebih semangat lagi up-nya 💪 pokoknya aq padamu Thor 🤭