Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Tidak Akan Pergi
Begitu sampai di rumah, suasana mendadak hening. Leon hanya diam, matanya tajam, wajahnya menegang menahan emosi yang nyaris meledak. Tangan Nayla yang mendorong kursi rodanya sedikit gemetar menyadari perubahan drastis dalam ekspresi tuannya.
Tanpa sepatah kata pun, Leon langsung memerintahkan, “Bawa aku ke atas.”
Nayla menurut, mendorong kursi roda Leon menuju lift. Tangannya terasa dingin, perasaan waswas tak kunjung reda sejak mereka meninggalkan restoran tadi.
Sesampainya di depan kamar, Leon dengan kasar membuka pintu. Bahkan pegangan pintu nyaris lepas karena dorongan keras dari tangannya.
“Keluar,” ucap Leon tajam, suaranya dalam dan dingin.
Nayla menelan ludah, merasa ragu. Namun ketika tidak ada gerakan dari tubuhnya, Leon berteriak lebih keras, “Keluar!!”
Dengan langkah berat, Nayla melangkah ke luar kamar. Tapi ia tidak langsung pergi. Ia tetap berdiri di depan pintu, menunggu... berjaga... kalau-kalau sesuatu terjadi. Ada firasat aneh dalam hatinya.
Dari dalam kamar, suara kemarahan Leon mulai terdengar. Ia menggeram, melampiaskan emosi yang selama ini dipendam.
“Kenapa, Risa?! Kenapa semudah itu kau melupakanku?! Apa aku tak berarti sama sekali bagimu?!” Suaranya pecah.
Nayla terdiam di depan pintu, kini menyadari satu hal: wanita yang tadi dilihat bergandengan mesra dengan seorang pria... adalah mantan kekasih tuan Leon.
“Orang yang menggantikan posisiku... orang itu Davin! Musuhku sendiri! Kau tahu itu, Risa!” Leon berteriak penuh luka dan marah.
Terdengar suara benda-benda yang dilempar dan dibanting. Sebuah lampu meja jatuh, kemudian bingkai foto hancur berkeping. Bahkan kursi di dekat meja Leon ikut terguling, meski tubuhnya tak bisa berdiri, ia melemparnya dengan kekuatan lengan yang tersisa.
Tak berhenti sampai di situ, Leon mendorong kursi rodanya mendekati kaca besar di ujung ruangan. Dengan tangan penuh amarah, ia menghantamkan tinjunya ke kaca itu. Berkali-kali.
Prang!
Prang!
Suara kaca pecah mengiris telinga. Tangan Leon mulai berdarah, namun ia tak peduli. Justru darah itu seperti pelampiasan kesakitannya.
Nayla yang mendengar kekacauan di dalam, tidak tahan lagi. Ia mendorong pintu yang hanya tertutup sebagian dan masuk.
“Tuan! Berhenti! Tangan Tuan berdarah!” serunya panik.
Leon tidak menggubris.
“Tuan! Hentikan! Jangan sakiti diri Tuan!” Nayla memohon, kini sudah berdiri di samping kursi roda Leon, mencoba menghentikan gerakan tangannya yang terus menghantam kaca yang sudah retak.
“Kenapa kau masuk?! Aku bilang keluar!! Aku tidak butuh siapa pun!!” teriak Leon, matanya merah, napasnya memburu seperti binatang buas yang terluka parah.
“Tapi Tuan menyakiti diri Tuan sendiri,” ucap Nayla lirih, matanya berkaca-kaca. “Tangan Tuan sudah berdarah, Tuan...”
Nayla nekat mendekat, menggenggam tangan Leon yang berlumur darah. Namun seketika itu juga Leon menyentaknya dengan kasar.
Dorongan dari kursi roda membuat Nayla kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai, tepat di hadapan Leon.
Dengan napas memburu dan mata penuh amarah, Leon menatap Nayla. Tanpa kendali, ia mencengkeram leher Nayla. Emosi yang meledak membuatnya tak sadar lagi.
“Tuan...” Nayla berkata dengan suara tercekat. Matanya mulai berair karena sesak napas, tapi ia tetap berusaha menatap Leon. Tidak dengan marah, tidak dengan takut, tapi dengan penuh iba dan harap.
“Tuan... sadarlah...,” ucap Nayla pelan di antara napas yang tersendat. “Jika Tuan ingin melampiaskan amarah... biarlah saya jadi tempatnya... saya ikhlas... Tapi jangan... jangan sakiti diri Tuan sendiri...”
Cengkeraman Leon melemah sedikit, tapi belum lepas.
“Dengan begini... Tuan tidak akan bisa mengembalikan keadaan... Tidak akan bisa membalas siapa pun... justru mereka akan bahagia melihat Tuan hancur...”
Air mata mengalir di pipi Nayla. Lehernya mulai terasa nyeri dan panas, tetapi ia tak berhenti.
“Risa yang meninggalkan Tuan... Davin yang mengkhianati Tuan... mereka semua... akan tertawa jika melihat Tuan kalah melawan diri sendiri... Tapi di sini, Tuan masih punya orang-orang yang mencintai dan percaya pada Tuan...”
Suara Nayla kian pelan, hampir berbisik. “Nyonya Gaby... beliau menangis tiap malam karena merindukan putranya yang dulu hangat... kuat... penuh semangat... Apakah Tuan ingin membuat beliau terus menangis?”
Cengkraman Leon semakin melemah. Tangannya perlahan terlepas dari leher Nayla, seperti tersadar dari mimpi buruk.
Nayla langsung menarik napas panjang, tubuhnya gemetar dan dadanya naik turun karena sesak. Ia terbatuk pelan, lehernya memerah bekas tekanan. Tapi ia tetap menatap Leon, mencoba tersenyum meski nyeri.
Leon masih terdiam. Tatapannya kosong. Tapi di ujung matanya mulai terlihat kilau air bening yang siap jatuh.
Nayla mendekat, kini duduk di lantai tepat di depan Leon, dan memegang tangannya yang berdarah dengan lembut.
“Saya tidak akan pergi, Tuan. Bahkan kalau Tuan ingin marah lagi... saya akan tetap di sini,” ucap Nayla lirih. “Tapi mohon... jangan hukum diri Tuan sendiri atas luka yang ditinggalkan orang lain...”
Untuk pertama kalinya, Leon menunduk. Tubuhnya gemetar, bukan karena amarah... tapi karena tangis yang tak bisa lagi ia tahan.
---
Di saat Nayla masih sibuk membersihkan luka di tangan Leon, dari arah luar kamar terdengar suara langkah tergesa. Tak lama kemudian pintu kamar terbuka, menampilkan sosok wanita paruh baya yang wajahnya terlihat cemas
Begitu menerima kabar dari rumah bahwa Leon mengamuk dan Nayla berada di kamar yang sama dengannya, Gaby langsung meninggalkan kantor tanpa pikir panjang. Kekhawatirannya bukan hanya soal Leon yang tak mampu mengendalikan emosi, tapi juga tentang Nayla. Gaby takut jika amukan anaknya kali ini sampai menyakiti gadis itu.
Begitu memasuki kamar, Gaby langsung menelusuri pandangannya ke seluruh ruangan. Kamar Leon berantakan—pecahan kaca berserakan, meja dan kursi terguling, tirai hampir lepas dari gantungannya.
Namun, apa yang dilihatnya membuatnya terdiam sejenak.
Di depan jendela besar yang menghadap ke taman belakang, Leon duduk di kursi rodanya. Ia menatap kosong ke luar, sementara Nayla duduk bersimpuh di hadapannya. Dengan lembut, Nayla membersihkan luka di tangan Leon menggunakan kapas dan larutan antiseptik. Tangannya begitu hati-hati, seolah tak ingin membuat Leon semakin kesakitan.
Gaby langsung tahu—Leon pasti melukai dirinya lagi. Itu biasa terjadi ketika amarah anaknya sudah tak terkendali.
“Leon...” panggil Gaby dengan suara pelan namun penuh kekhawatiran.
Leon menoleh. Matanya langsung tertumbuk pada wajah wanita yang selama ini selalu berdiri di belakangnya. Mamanya.
Tatapan Leon meredup. Ada rasa bersalah yang menyesakkan di dadanya. Ia teringat ucapan Nayla saat dirinya nyaris mencekik gadis itu—tentang Mama Gaby yang selalu menangis karena kehilangan sosok Leon yang dulu.
Dan kini, di hadapannya, wanita itu berdiri dengan wajah lelah dan mata berkaca-kaca.
“Mama...,” panggil Leon pelan, hampir seperti bisikan.
Gaby tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Leon, lalu setetes demi setetes air mata mengalir membasahi pipinya. Ia terlalu lama menahan rindu, terlalu lama berharap anaknya kembali seperti dulu—dan kini suara lirih itu menghancurkan benteng air matanya.
Tanpa diduga, Leon menggerakkan kursi rodanya dan mendekat. Kemudian, tanpa berkata apa-apa, ia meraih tubuh mamanya dan memeluk erat.
Gaby terkejut. Ia hampir tak percaya bahwa Leon, anaknya yang dingin dan tertutup sejak kecelakaan itu, kini memeluknya. Hangat... dan penuh perasaan.
“Maafkan aku, Ma...,” ucap Leon lirih, suaranya serak menahan emosi. “Aku sudah menyakiti hati Mama... Aku sudah jadi orang yang bahkan aku sendiri benci...”
Gaby tak menjawab. Ia membalas pelukan anaknya sambil menangis di pundaknya. Air mata haru mengalir deras. Ini adalah pelukan pertama setelah sekian lama. Pelukan yang selama ini hanya bisa ia mimpikan.
Nayla, yang sedari tadi hanya diam di tempat, ikut terharu. Air matanya kembali jatuh, namun kali ini bukan karena ketakutan... melainkan kebahagiaan. Melihat Leon akhirnya memeluk mamanya, mengucap maaf, membuka kembali hatinya yang selama ini terkunci rapat.
Setelah beberapa menit, Leon melepaskan pelukan itu perlahan. Wajahnya masih basah oleh air mata, tapi sorot matanya kini berbeda. Ada tekad dan semangat yang mulai muncul kembali.
“Kamu harus kuat, Leon. Kamu harus bangkit. Kamu tidak sendiri,” ucap Mama Gaby sambil mengelus kepala anaknya penuh kasih sayang.
Leon mengangguk. “Aku akan mencoba, Ma...”
Senyum tipis muncul di wajah Gaby. Namun kemudian, pandangannya terarah pada Nayla yang masih duduk di lantai. Matanya menyipit saat melihat leher gadis itu memerah—bekas cengkeraman.
“Nayla... lehermu... Astaga...” Gaby segera berjalan ke arah Nayla. “Leon... apakah kamu—?”
Belum sempat Gaby menyelesaikan kalimatnya, Nayla langsung menjawab cepat, “Saya tidak apa-apa, Nyonya. Benar-benar tidak apa-apa..."
Leon menatap Nayla. Matanya kembali memancarkan penyesalan. Ia tahu, kata “maaf” tak cukup untuk membayar luka yang ia torehkan—baik secara fisik maupun perasaan. Namun ia terlalu malu untuk mengucapkannya langsung.
Sebagai upaya mencairkan suasana, Nayla tersenyum lembut, meski lehernya masih memerah. “Tangan Tuan Leon sudah selesai saya bersihkan. Saya juga sudah mengoleskan salep... Tapi nanti sebaiknya tetap diperiksa dokter,” ucapnya sambil membereskan peralatan medis kecil yang tadi digunakan.
Gaby menatap Nayla penuh haru, lalu mengusap kepala gadis itu. “Terima kasih, Nay... Kamu benar-benar... malaikat yang dikirim Tuhan untuk anakku.”
Nayla hanya tersenyum dan menggeleng pelan.
Tak ingin membiarkan kamar terus berantakan, Gaby segera memanggil Bibi Eli dan Paman Juan. Tak lama, keduanya datang membawa peralatan kebersihan.
“Bibi Eli, tolong bersihkan semua pecahan kaca dan bereskan kamar Leon, ya,” ucap Gaby.
“Iya, Nyonya,” jawab Bibi Eli sambil segera bekerja bersama Paman Juan.
Sementara itu, Nayla membantu Gaby menuntun Leon kembali ke tempat tidurnya. Leon tidak berkata banyak, tapi kali ini tatapannya pada Nayla lebih lembut—dan penuh rasa terima kasih yang tulus.
Di balik luka, ada harapan yang mulai tumbuh. Pelan-pelan, hati yang terluka bisa kembali disatukan.
Dan dari sudut kamar itu, Nayla tahu... perjuangannya untuk berada di sisi Leon belum selesai. Tapi ia tidak akan pergi. Ia akan tetap bertahan.